disusun oleh :Â
nama : Susi Nurfadillah
kelas : XII MIPA 2
SMA NEGERI 1 PADALARANGÂ
SALAM TERAKHIR
Dirasa nikmat kopi yang diminum sembari memejamkan mata. Tampak kusut muka sesosok insan. Badan yang lemah letih serta otak yang terasa memikul beton karena dipenuhi oleh tekanan dan rasa kekhawatiran.
"Beristirahatlah, anda juga harus memperhatikan kesehatan tubuh", ucap seorang wanita paruh baya yang menjadi belahan jiwa saya, Fatmawati.
"Kurasa saya sudah cukup beristirahat saat melihat kamu membuat kopi ini tadi, rasanya pas"
Fatmawati hanya tersenyum. Terkejutnya saya saat dia memijat punggungku yang sembari tadi ingin merebahkan diri. Saat dia mulai melakukannya, terasa segala beban yang saya pikul selama ini hilang dalam sekejap mata.
"Sangat menenangkan", kata saya.
"Tidurlah, itu akan membuat anda lebih baik"
Pijatannya yang tak henti - henti selama setengah jam itu tanpa sadar membuat saya jatuh terlelap. Tertidur di bahunya yang tampak kuat, rasa senang bisa bersandar pada wanita yang saya kagumi. Dia adalah sesosok insan yang tak pernah menampakkan bahwa dirinya lelah. Dia selalu menampakkan senyum nya mesti sedang bersedih. Dia sosok wanita yang tangguh dan juga berani.
"Anda sudah bangun?", tanyanya saat saya menggerakkan kepala.
"Berhenti, saya sudah merasa baik. Giliran kamu lah yang beristirahat"
Fatmawati membalas dengan senyumnya. "Soekarno, nama yang gagah, perangai yang kuat", tentu saja ia berbicara tentang saya, tokoh utama dalam cerita ini.
***
Esok hari, 12 Agustus 1945
Kediaman Ir. Soekarno
Matahari mulai menyengat melalui sela - sela jendela. Saat terbangun, mata saya hanya terfokus pada satu wanita cantik, siapalagi kalau bukan Fatmawati dengan gulungan rambut yang tampak menyeringai di kepalanya.
"Kau sangat cantik", ucap saya sembari beranjak dari tempat tidur.
"Anda harus segera bersiap", balasnya.
Saya hanya diam melewatinya, mempersiapkan diri lalu mengucapkan salam perpisahan saat hendak menginjakkan kaki keluar dari rumah. "Saya pamit pergi, mungkin hanya 2 hari lalu saya akan kembali secepatnya", salam ku kepadanya yang hanya di tanggapi dengan tatapan.
Bukkk
Seketika saya terkejut melihatnya mengikatkan tangannya di badan. Saya sangat paham dan mengerti apa arti pelukan ini. Setelah ini dapat di pastikan dia akan sering tidur larut malam hanya karena memikirkan keadaan dan kondisi saya saat sedang jauh darinya.
"Berhati - hatilah, sehat selalu, saya hanya bisa mendoakan dan menitipkan anda pada Tuhan", ucapnya membuat salam perpisahan ini sedikit lebih terasa dari sebelum - sebelumnya.
"Maka segeralah berbicara dan menitipkan saya pada Tuhan. Maka saya akan baik - baik saja"
Pelukan itu semakin mengerat terlebih suasana disekitar hening membuat pelukan itu semakin berarti. Saya hanya bisa membalasa pelukan itu dan menunggunya yang melepas. Namun, tak perlu menunggu lama, ia melepaskan ikatan itu.
"Pergilah, selamat sampai tujuan anda", salamnya semakin membuat saya mengerti.
Sekilas saya usap lembut pucuk rambutnya, dan berlalu lintas meninggalkan wanita itu.
"Hei bung", terdengar suara serak seorang lelaki memanggil saya.
"Hei, mari berangkat", sahutku saat mengetahui lelaki tersebut adalah sosok Mohammad Hatta, teman seperjuangan saya.
Kami pergi meninggalkan kediaman, diiringi lambaian tangan wanita cantik yang sedari dari masih berada dalam pikiran saya.
***
Saat langkah yang hendak memasuki rumah tiba - tiba berhenti. Disanalah perpisahan yang baru beberapa menit itu terasa begitu lama. Wanita cantik paruh baya itu berjalan menuju keluar lagi untuk menyaksikan kepergian lelakinya.
Tanpa sadar air mata jauh menelusuri pipinya. Dia hanya bisa menitipkan kekasihnya pada Tuhan. Tak tahu apa yang akan terjadi dan menimpa kekasihnya tersebut, hanya bisa mendoakan yang terbaik dan mengharapkan Soekarno kembali dengan kabar baik.
"Soekarno, sosok yang cerdas, kuat, dan tak akan mau terlihat lemah di hadapan rakyatnya. Dia selalu mencoba segala cara untuk menghadirkan kemerdekaan bangsanya, mulai dari pemberontakan hingga pergerakan nasional. Dia sosok pemimpin dan kekasih yang hebat. Harapku Tuhan selalu menjaga dan membawa mu pulang dengan selamat", ucapan itu seketika terangkai dengan jelas saat Fatmawati menatap foto kekasihnya itu.
Hari berlalu terasa cepat dan seperti kata Soekarno, Fatmawati tidak bisa memejamkan matanya mengingat kepergian Soekarno.
Lagi - lagi Fatmawati keluar dan menuju halaman depan rumahnya untuk menyambut kapan saja kedatangan Soekarno. Angin malam membuatnya sekilas terlelap dan tidur di kursi tempat ia menunggu.
Srekk srekk
"Hahhh", Fatmawati terbangun saat terkejut mendengar ada suara yang muncul dibalik rerumahan. Tampak ada seseorang yang mengintainya dari kejauhan. Suara yang dibuat pun membuat seluruh bulu badannya berdiri tegak. Dia mulai cemas dan segera masuk ke dalam rumah. Dia mengunci semua pintu dan jendela lalu bersembunyi di bawah meja makan.Tubuh nya sudah dipenuhi keringat bercucuran.
Brakk.. suara pintu terdengar didobrak oleh lelaki perkasa, benar saja pihak Jepang tak tinggal diam saat kepergian Soekarno dari tanah air. Fatmawati terkejut lebih dengan suara dobrakan pintu itu dan berusaha membungkam mulutnya sendiri.
"FIND HER!", teriak lantang salah seorang pemimpin pasukan tersebut.
(Cari dia)
Ditelusuri lah seluruh isi rumah kediaman Ir. Soekarno, semua ruangan diperiksa dan dibuat berantakan. Sampai di penghujung lorong, yaitu dapur dengan letak meja makan di tengah ruangan.
"FIND UNTIL WE GET HER!"
(Cari sampai kita mendapatkannya)
Segala sudut ruangan di periksa dan pada akhirnya diakhir pencarian, salah seorang prajurit tahu bahwa Fatmawati bersembunyi di bawah meja makan.
"AHHH", teriakan Fatmawati saat dia di sekap segera setelah di temukan di tempat persembunyiannya.
"RELEASE ME! SOEKARNO WON'T STAY SILENT", suara Fatmawati mulai tidak terdengar dengan jelas saat mulutnya dibungkam.
(Lepaskan saya! Soekarno tidak akan tinggal diam)
Ucapannya tak dihiraukan, dirinya mulai lemas, air matanya menetes, yang dia ingat hanya Soekarno, lelakinya. Dia tetap berusaha melepaskan dirinya dari tangan prajurit Jepang itu namun apa daya dia tak lebih kuat. Dia hanya bisa menangis dan berusaha memukul perut prajurit itu dengan tangannya yang dipegang dan diikat di belakang badannya.
Malam itu, rencana penculikan Fatmawati setelah Ir. Soekarno pergi berjalan dengan lancar. Fatmawati di sekap dan dibawa prajurit - prajurit Jepang itu. Beberapa orang di sekitar tempat kejadian tahu namun tidak ingin berbuat lebih karena taruhannya adalah nyawa mereka sendiri.
***
13 Agustus 1945
Dalat, Vietnam
Suasana hening menyusuri satu ruangan. Di depan saya dan Mohammad Hatta, duduk seorang jenderal besar pemimpin Pasukan Angkatan Darat Jepang. Kami memang sudah bersepakat untuk bertemu dan membahas mengenai kemerdekaan Indonesia.
"Remember, whatever the decision I will still try to defend and take back my nation"
(Ingatlah, apapun keputusannya saya akan tetap berusaha untuk mempertahankan dan mengambil kembali bangsa saya)
"Good, Sukarno. Take your nation back", sahut jenderal tersebut dengan lantang.
(Bagus, Soekarno. Ambillah bangsa mu kembali)
"There's no need to feel good this time. We know Japan is having a hard time because of the attack from the allies", balas Bung Hatta yang semakin membuat panas suasana
(Tidak perlu merasa baik hati untuk kali ini. Kami tahu Jepang sedang mengalami kesusahan karena serangan dari sekutu)
"I just want to pay attention to my nation for now"
(Aku hanya ingin memperhatikan bangsa ku untuk saat ini)
"Your nation really needs attention"
(Bangsa mu memang perlu diperhatikan)
Tangan Bung Hatta seketika saya pegang untuk memberitahu bahwa perbincangan ini tak perlu di teruskan lagi. "Well, thanks for the invite but we can't stay too long", ucap saya mengakhiri perbincangan yang memuncak itu.
(Baiklah, terima kasih atas undangannya tapi kami tidak bisa terlalu lama)
"Of course, you're can come back"
(Tentu saja, kalian bisa kembali)
Ucapan itu seketika membuat saya dan Bung Hatta menahan tawa perihalnya tampak bahwa jenderal itu terasa di sindir. Namun benar Bung Hatta memang menyindirnya.
"Let's go back, Bung", ucap saya. Kami menuju ke rombongan dan bergegas kembali ke tanah air. Selama perjalanan saya hanya memikirkan wanita yang saya tinggalkan, Fatmawati. Saya hanya ingin bergegas menemuinya saat kembali.
"Do we need to repatriate the troops, Sir?", tanya salah satu prajurit kepada Jenderal tersebut.
(Apakah kita perlu memulangkan pasukan, Pak?"
"No need, let them clean up the remnants of their colonization."
(Tak perlu, biarkan mereka membersihkan sisa - sisa penjajahan mereka)
"Yes, Sir"...
(Baik pak)
"Lalu, apakah PPKI itu akan benar - benar membantu?", pertanyaan tersebut spontan dilontarkan Bung Hatta kepada saya.
"Ini memang pembuatan Jepang, tapi kita lihat saja nanti nya, apapun akan tetap saya lakukan demi bangsa ini"
"Jepang samgat kuat, sedikit ragu bahwa mereka mengakui kekalahannya tanpa syarat"
"Bangsa mereka sedang dilanda peperangan, banyak juga yang melakukan perlawanan. Justri ini kesempatan bagi kita Bung untuk merebut kemerdekaan kita juga! Bukankah begitu?", pernyataan itu hanya dibalas oleh Bung Hatta dengan sebuah senyuman. Kami bersama dengan rombongan dalam perjalanan sempat merebahkan dan beristirahat sejenak di Singapore sebelum kembali pulang ke Indonesia.
***
14 Agustus 1945
Kediaman Ir.Soekarno, Indonesia
"Fatmawati, aku pulang!", panggilan yang tak disahut sama sekali.
"Fatma! Dimana anda?"
"Fatmawati!!!"
Berkali - kali saya memanggilnya namun tidak ada balasan sama sekali. Saya mulai mencemaskan nya. Saya telusuri semua sudut yang ada di rumah, di kamar, di dapur, seisi rumah tampak berantakan. Firasat mulai mengusik isi kepala. Saya keluar untuk bertanya, dan benar saja wanita yang saya kagumi tersebut di culik oleh Jepang.
"Mereka membawa dia kemarin malam, tak ada yang bisa membantu karena mereka dalam jumlah banyak dan berbadan besar", ucap salah satu warga yang menjelaskan.
Saya jatuh, saya menangis, saya menyesal meninggalkannya hari itu. Saya kembali ke rumah, tampak secarik kertas terselipit di kursi. Saya ambil kertas itu dan benar saja, tulisan itu tampak tak asing bagi saya.
SOEKARNO
Malam ini saya menunggu kedatangan anda. Sangat dingin diluar namun masih terasa hangat bagi saya. Saya sedih, saya menangis setiap melihat anda pergi dan memperjuangkan sebuah kemerdekaan. Saya harap anda segera mendapatkan kemenangan itu. Saya sangat mencintai anda, perangai yang kuat dan berani...
Fatmawati
Air mata semakin deras, pikiran semakin sempit, saya hanya menyesali kepergian saya dan meninggalkan Fatmawati kala itu. Benar - benar menyesal. Saya hanya terus bertanya - tanya kemana dan bagaimana keadaan Fatmawati sekarang, berkali - kali ucapan doa dan salam untuk menitipkan Fatmawati kepada Tuhan selalu saya ucap.
Pagi itu hanya di isi dengan tangisan dan rasa kekecewaan. Hingga tampak seorang laki - laki datang menemui dan menghampiri saya. Lelaki itu terlihat mengenakan seragam prajurit dan tentu saja seragam itu hanya dimiliki oleh prajurit Jepang.
"You were given an invitation to meet the leader general", kata lelaki tersebut yang tepat berdiri di depan saya.
(Anda diberi undangan untuk menemui pemimpin jenderal)
"Did your troops kidnap Fatmawati?!", pertanyaan yang tak dibalas dengan sepatah kata pun.
(Apakah pasukan mu yang menculik Fatmawati?!)
"Hei, Bung!! You have ears? You can hear me right?", tanya saya sambil menarik kerah bajunya karena dia tak menjawab sepatah kata pun.
(Hai, Bung!! Anda punya telinga? Anda bisa mendengar saya kan?)
Bukk... satu kepalan tangan mendarat di wajah pria itu kala tak menjawab lagi pertanyaan dari saya. Kepalan itu membuat pelipis sang prajurit meneteskan darah namun nihil tidak ada jawaban sama sekali.
"I'm just delivering messages and invitations", sahutnya dan memberi hormat serta langsung berlalu meninggalkan saya.
(Saya hanya menyampaikan pesan dan undangan)
Saya hanya bisa menghela napas berat kala mengingat senyum Fatmawati yang masih ada dalam ingatan saya. "Saya akan membawa pulang Fatmawati!"
Hari berlalu dan malam hari itu saya pergi menuji markas Angkatan Darat Jepang. Saya bersama ditemani dengan beberapa masyarakat pula. Tiba saat saya menghadap kepada bangunan besar yang menjadi markas mereka tersebut. Palang dibuka dan pintu gerbang utama ikut terbuka. Seketika terpampang jelas di depan saya, pemimpin jenderal pasukan Angkatan Darat Jepang ini. Tanpa basa basi saya segera melontarkan pertanyaan kepada nya.
"Where's Fatmawati?"
(Dimana Fatmawati)
Lelaki itu hanya tersenyum dan menengok kea rah ujung sisi ruangan. Pandangan saya pun ikut tertuju kesana. Sungguh terkejut melihat wanita yang saya cintai diikat dan di sekap.
"FATMAWATIII!!!"
Saya berlari menuju ujung ruangan itu namun salah satu pistol dari mereka mendarat di kepala. Bukan kepala saya, melainkan kepala Fatmawati.
"You are crazy, you have no compassion, you are no longer human!!", umpatan itu membuat pistol semakin mendekat ke kepala Fatmawati.
(Kalian gila, kalian tidak punya rasa belas kasihan, kalian sudah bukan manusia)
Saya hanya melihat tangis dan rasa takut pada raut wajah nya yang tak henti - hentinya menangis. Air mata nya tampak semakin jelas dan deras saat melihat kedatangan saya ke markas itu.
"Did you forget, you came here because of my invitation, not her"
(Apakah anda lupa, kedatangan anda ke sini karena undangan saya, bukan undangannya)
"Japan has surrendered, independence will soon be recognized. So what do you expect?"
(Jepang sudah menyerah, kemerdekaan akan segera diakui. Lantas apalagi yang anda harapkan?)
"Declare independence by agreement with PPKI"
(Nyatakan kemerdekaan atas kesepakatan bersama PPKI)
"You mean?"
(Maksud anda?)
"Declare independence together with PPKI and under the knowledge of PPKI. Or..", ucapan jenderal itu seketika berhenti lali menengok kearah wanita diujung ruangan tersebut. Pistol semakin didekatkan, semakin mendekat, dan semakin siap menembus kepala.
(Nyatakan kemerdekaan bersama dengan PPKI dan dibawah pengetahuan PPKI. Atau..)
"I have an agreement with General Terauchi. Independence will be with the PPKI agreement"
(Saya sudah bersepakat dengan Jenderal Terauchi. Kemerdekaan akan dengan kesepakatan PPKI)
"Seriously?"
(Serius?)
"Of course", tanpa memperdulikan pistol yang menghadap ke arah saya, saya segera berlari dan menghampiri Fatmawati.
(Tentu saja)
 Saya melepas semua tali dan perban yang menyatu ditangan, kaki, juga wajahnya. Melihat tangisnya yang masih deras, segera memeluknya dan membantunya berdiri. Saya hanya menoleh kearah jenderal tinggi itu.
"I will discuss this with the other characters"
(Saya akan merundingkan ini bersama tokoh - tokoh yang lain)
Jenderal itu tak memberi jawaban sama sekali dan hanya menatap saya dengan diam. Saya segera berlalu melewati jenderal itu dan para pasukannya yang ada di dalam markas.
"Soekarno...", suara Fatmawati yang masih lemah itu sangat terdengar jelas di telinga saya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Fatma"
"Terima kasih, Soekarno", ucapan lembut diiringi senyuman cantik itu membuat air mata saya menetes. Sangat bahagia memiliki Fatmawati disisi saya.
***
15 Agustus 1945
Kediaman Soekarno tepatnya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.
Hari baru menyambut lagi dan lagi. Aku melihat Fatmawati yang masih lemah berbaring diatas kasur. Saya usap rambutnya sesekali menyisipkan ke belakang telinganya. Saya biarkan dia beristirahat karena melalui hari yang berat.
Rapat terselenggara di kediaman ini juga, tak lain adalah rapat membahas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Rapat tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh perjuangan bangsa. Ketegangan mengisi seluruh suasana rapat itu.
"Jepang menginginkan bahwa kemerdekaan harus dengan sepengetahuan PPKI", ucap saya membuka pertemuan itu.
"Kita tidak bisa menunggu lebih lama!"
"Kita harus segera memproklamasikan kemerdekaan tanah air!"
"Bukankah proklamasi harus dilakukan secepat mungkin? Mengingat Jepang sudah menyerah kepada sekutu dan sedang berada di titik lemahnya."
"Benar kita harus segera memproklamasikannya"
"Bung Karno! Kemerdekaan harus atas perjuangan bangsa Indonesia!"
Kericuhan dan saling ungkap rasa itu memenuhi suara kediaman. Banyak perlawanan yang tampak menolak putusan saya.
"Keputusan ini sudah bulat bagi saya dan sudah di rundingkan dengan Jepang, kita hanya perlu menunggu"
Seluruh orang yang ada di sana hanya terdiam dan saling bertatap, beberapa menundukkan kepala menunjukkan rasa kekecewaannya.
Rapat yang masih terasa panas itu akhirnya berhenti. Terlihat matahari yang sudah tak secerah sebelumnya, mulai menguning langit - lamgit diatas dan mulai gelap suasana di sekitar kediaman. Tokoh - tokoh dari golongan tua maupun muda kembali ke kediaman mereka masing - masing. Namun, masih tampak membingungkan bagi saya untuk memutuskan hal ini.
Angin malam membuat badan terasa lelah, sejenak saya merebahkan diri dan dengan tidak sadar memejamkan mata saya setelah melewati hari ini.
***
16 Agustus 1945
Hari penculikan Soekarno - Hatta (Dikenal dengan peristiwa Remgasdengklok)
Brakkk
Suara yang keras nan lantang itu membuat saya dan istri saya terbangun pada dini hari. Sungguh sangat keras. Begitu membuka mata, saya terkejut melihat sosok orang memakai pakaian berwarna hitam, memegang pisau serta pistol dan menyudutkan ujung pisau itu ke hadapan saya.
"Berganti bajulah Bung! Sudah saatnya Indonesia dimerdekakan!"
Suara yang terlontar dari mulut pemuda itu pun tampak tak asing bagi saya. Saya tidak menjawab pernyataan itu dan hanya menoleh memandang wajah istri saya yang sudah setengah sadar karena suara keras tadi.
"Pergilah, anda harus melakukan yang seharusnya anda lakukan", isaknya dengan suara lembut dan tetesan air mata yang jatuh mengenai bantalnya.
"Lalu? Bagaimana dengan anda?"
"Saya akan beristirahat dan baik - baik saja disini. Saya akan selalu mendukung keputusan anda, Soekarno"
Saya hanya tersenyum, menghampiri dan segera memeluk wanita paruh baya itu. Tak lupa memberi kecupan dan tanda perpisahan yang hangat. Saya menutup dia dengan kain guna melindunginya dari angin malam yang menusuk. Disaat itu saya hanya berdoa, tidak akan ada penyesalan meninggalkannya lagi, untuk kesekian kalinya.
Saya segera bergegas berganti pakaian, melangkahkan kaki keluar dari kediaman. Saya hanya diam karena tahu orang - orang yang membawa saya adalah orang yang saya kenal. Pemuda - pemuda itu awalnya membawa saya dengan mobil flat hitam lalu di tengah perjalanan berganti dengan truk. Saya sama sekali tidak mengerti apa maksud dan tujuan dari rencana penculikan ini. Truk terus berjalan dalam beberapa jam hingga berhenti tanda tiba di tujuan akhir.
Para pemuda itu segera menurunkan saya dan mengantarkan saya ke sebuah rumah kosong. Sungguh terkejut ketika mengetahui di sana saya justru di sambut hangat oleh pemuda - pemuda PETA. Dan benar saja para pemuda - pemuda golongan muda lah yang menculik dan mendesak saya untuk segera memproklamasikan kemeredekaan Republik Indonesia.
Saya tidak di desak seorang diri, teman karib saya, Bung Hatta juga turut di culik dan di desak kala itu.
"Ayoo segera proklamasikan kemerdekaan!!!"
"Indonesia sudah sepantasnya merdeka dan berdiri sendiri!"
"Ayo Bung Karno, segera proklamasikan sekarang juga!!"
"Tunggu apa lagii bung??"
"Segeralahh memproklamasikannya Bung Karno!!"
"Jangan tertipu lagi oleh Jepangg!!"
Seluruh suara para pemuda itu sahut - menyahut terdengar jelas usaha mereka dan derita mereka selama ini yang terungkap. Jelas mereka dengan lantang mengharap proklamasi kemerdekaan secepat mungkin. Waktu itu terlintas di benak saya mengenai pejuang - pejuang dan para pemberontak yang akhirnya gugur di medan perang.
Kabar saya di culik dengan cepat merambah dari telinga ke telinga kala itu. Pasukan - pasukan tentara Indonesia di panggil untuk melaksanakan pencarian dan menemukan saya kembali. Tak lama kemudian tentunya mereka dengan segera menemukan saya. Namun hal yang mengejutkan tiba - tiba datang. Para tentara Indonesia itu tidak mengetahui bahwa saya bersama pemuda - pemuda tanah air, mereka menghampiri seraya menembakkan berbagai peluru ke arah pemuda - pemuda itu. Seluruh orang panik dan berteriak.
Duarrr duarr duarrr, hanya suara itu yang terdengar jelas di telinga saya.
"BERHENTIII!!!"
"BERHENTIIIIII!"
"BERHENTIIII WAHAI PARA PRAJURIT KEBANGSAANKU!!!"
Ucap saya yang lantang membuat seluruh pistol dan senapan yang ada di sana terhenti seketika hanya dalam beberapa detik. Terdengar seluruh tangisan yang ada pada saat itu, beberapa sudah tidak bisa terselamatkan.
"MEREKA ADALAH PEMUDA TANAH AIR, PEMUDA BANGSA INI"
"MEREKA ADALAH PEJUANG KEMERDEKAAN!", sahut Bung Hatta meneruskan ucapan saya.
Di waktu yang sama seluruh prajurit - prajurit itu segera menjatuhkan senjata - senjata kebanggaan mereka dan berlari menuju para pemuda yang habis di bantai oleh mereka. Seluruh orang ketakutan dan mengalami luka parah akibat tembakan yang terus - menerus di luncurkan.
Sekejap saya memejamkan mata dan mengingat perjuangan - perjuangan dahulu yang dengan susah payah nya merintis kemerdekaan. Sekarang harus segera merdeka, sekarang harus segera di perangi, batin saya kala itu.
Peristiwa itu berakhir ketika saya dan Bung Hatta benar -- benar bersepakat dan menjanjikan bahwa proklamasi kemerdekaan akan di kumandangkan dengan segera. Malam hari saya bersama dengan rekan -- rekan saya kembali ke kediaman Bung Hatta dengan beberapa tokoh -- tokoh negara lainnya lalu membahas mengenai proklamasi yang akan langsung di nyatakan esok harinya. Perumusan naskah itu berlangsung dari malam hari menuju dini hari tepatnya tanggal 17 Agustus.
***
17 Agustus 1945
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia...
P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal -- hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., di -- selenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang se -- singkat -- singkatnja
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 45
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno / Hatta
Langsung saya baca dengan tegas dan lantang, memberontak, serta menghadirkan kemerdekaan yang selama ini menjadi angan -- angan bangsa Indonesia. Semua orang yang hadir saat itu meneteskan air mata mereka. Saling beradu kebahagiaan dan rasa kebanggaan akan proklamasi ini.
"MERDEKAA!!"
"MERDEKAA!!"
"MERDEKA!!"
Kebahagiaan itu tak datang terlalu lama untuk saya... Dengan sigap para prajurit Jepang mengetahui dan melacak keberadaan saya dan para tokoh -- tokoh lain. Kami segera pergi sebelum kedatangan Jepang dapat di prediksi. Di waktu yang sama saya tiba -- tiba membeku dan berpikir.
"FATMA", ucap dalam batin saya waktu itu.
"FATMAWATI!!"
Saya segera kembali ke kediaman...
Buukkk, lutut saya seketika lemas, tangan saya gemetaran, mata saya yang jelas -- jelas tidak bisa menahan air mata itu, mulai membasahi seluruh wajah. Saya masih berusaha mencerna keadaan dan melihat dengan betul apa yang ada di hadapan saya. Melihat dengan jelas apakah ini benar -- benar mimpi atau hanya mimpi belaka. Pipi saya tampar kala itu, semakin saya tampar semakin terasa, terasa bahwa ini kenyataan.
"Fatmaa.."
"Huks hukss fatmaaa..."
Di depan saya jelas terpampang seorang wanita dengan kepala yang di ikat pada tali tampar. Seluruh badannya bercucuran darah, dari wajah hingga ujung kaki cantiknya. Matanya yang masih meneteskan air mata itu membuat hati saya teriris waktu itu juga.
"Fatmaa..."
"FATMAAAAAAAAAAWATIIIIIII", teriakan saya mengundang kericuhan.
Saya menghampirinya, saya lepas tali tampar itu langsung, brukk...tubuhnya jatuh ke lantai yang sudah bergenang darah. Saya usap seluruh darah di wajahnya, saya yakin Fatma tidak akan menyakiti dirinya sendiri, ini pasti perbuatan seseorang terhadap Fatma.
Hanya tangis yang bisa saya lakukan, rasa bodoh dan penyesalan itu datang lagi kala melihat Fatma yang sudah tidak bernapas. Saya kehilangan belahan jiwa, saya kehilangan separuh hidup saya, saya kehilangan wanita cantik saya, saya kehilangan Fatmawati.
***
"Fatma, maafkan saya, lagi..."
***
SEMENTARA KITA SALING BERBISIK
sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal
pada debu, cinta yang tinggal berupa
bunga kertas dan lintasan angka-angka
ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa unggun api
sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi
(1996)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H