Mohon tunggu...
sisca wiryawan
sisca wiryawan Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer

just ordinary person

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jurnal Hantu, Bab 7 - Buta Ijo

16 September 2024   21:06 Diperbarui: 20 September 2024   10:22 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com.

PEKERJAAN KELIMA

Nama klien : Pak Kamizawa

Alamat: Jl Cempaka No. 1, Bogor

Waktu bertemu: Jam 10.00.

Hantu: Buta ijo

Keahlian: Pesugihan dan membunuh manusia

Aku menatap pesan di layar handphoneku. Ah, Kakek mengirim tugas baru. Tapi, aku masih mengantuk...

"Ray, bangun! Ayo bangun!"

"Berisik. Aku masih mengantuk karena tidak bisa tidur semalaman," ujarku.

"RAY! Sudah saatnya kita berangkat ke rumah Pak Yos. Kau mau aku melapor pada Kakek dan honormu dipotong?" Ancam Tama sembari mendesis. Kumisnya yang panjang sekaku kawat besi. "Lima menit lagi kau tak siap, maka aku akan menyiram wajahmu dengan seember air. Susah sekali membangunkanmu yang tidur seperti orang mati."

"Hantu kucing bawel. Tukang mengadu," gerutuku. "Hantu kucing yang tidak mengerti perasaanku. Kau kan tidak merasakan kantuk."

"Berhentilah menggerutu. Memangnya kau ingin menjadi hantu kucing?"

Aku menelengkan kepala. "Boleh juga. Kulihat kau bermalas-malasan selama bersamaku. Kau meringkuk santai di dekatku. Bahagia sekali jika aku menjadi kaum hantu rebahan sepertimu."

"Omong kosong. Kapan aku bermalas-malasan?" Damprat Tama sembari menjitak dahiku.

"Kucing jahat. Tak perlu kau menjitak dahiku."

"Siapa suruh kau berhalusinasi. Aku tidak berdiam diri seperti yang kau sangka. Walaupun rebahan, otakku yang sudah mati ini selalu bekerja. Tak seperti otak makhluk hidup di hadapanku yang hanya senang main game dan tergila-gila pada makhluk 2D."

Aku langsung manyun. Apa salahnya bermain game dan memuja anime? Hantu kucing ini begitu kolot. Tak salah sih. Jika dihitung dari kelahiran Tama hingga ia mati dalam ritual sesat demi Bersama Nona Missy, majikannya tersayang, dan kemudian ia menjadi hantu kucing, maka usia Tama sudah menginjak 90 tahun. Ia hantu kucing yang uzur dengan alis dan jenggot putih yang panjang. Tawaku menyembur keluar Ketika membayangkan Tama di usia senja.

Tama mendelik karena aku tak kunjung siap. Ia menjentikkan telapak kaki kanan depannya. Sekonyong-konyong seember air melayang di udara penuh ancaman. Ember tersebut berputar-putar seperti tornado dan memercikkan air ke wajahku. Dan kemudian, ember tersebut beringsut kikuk menghampiri kepalaku.

"Hey, jangan main curang. Mentang-mentang aku tak menguasai ilmu sihir."

Tama mencibir. "Ray, jangan menganggap remeh musuh yang harus kita hadapi sekarang. Kita akan berhadapan dengan buta ijo yang ganas."

"Ya, ya. Aku sudah jenuh mendengar kau terus-menerus mengingatkanku akan kehebatan si buta ijo. Sudah sepuluh kali kau terus mengulang peringatanmu hingga aku hapal sekali satu per satu kalimatmu," keluhku. "Aku tidak dungu."

"Ray tak mengerti. Buta ijo bukan makhluk halus yang mudah dihadapi. Selain karakternya yang pemarah, ia pun keras kepala. Aku sangat khawatir."

"Hooo...Sejak kapan genre kisah kita berubah menjadi melankolis ala sinetron seperti ini?" Aku mengedipkan mata kiriku dengan jenaka dan menggoda Tama, "My dearest, honey sweety kitten Tama, apakah kau mulai menyayangiku seperti kau memuja Nona Missy, mantan majikan tercintamu? Apakah aku sudah menempati area istimewa di hatimu?"

"Sinting! Diajak bicara sungguh-sungguh malah bercanda. Aku ingin melihat apa Ray akan tetap santai Ketika berhadapan dengan buta ijo? Dan aku harus memperingatkanmu. Nona Missy bukan mantan majikanku."

"Mantan terin...dah."

Belum selesai ucapanku, aku merasakan diriku melayang di udara dalam keadaan terbalik. Aku bisa merasakan adrenalinku berpacu deras karena kepalaku berada di bawah. Tubuhku mulai menggasing. Kepalaku mulai terasa pusing.

"Tama, hantu kucing pengecut," ujarku kesal. "Kau hanya berani padaku yang lemah. Aku tak takut."

Tama menggeram. Tubuhku mulai bersalto secara otomatis di udara. Nyaliku pun ciut.

"Ampun. Aku menyesal. Perutku mual. Kau harus bertanggung jawab jika aku muntah."

Tama mematung tanpa reaksi. Bayangkan saja poker face pada wajah seekor kucing hitam.

"Tama, hantu kucingku yang manis. Aku sangat menyesal. Maafkan aku yang lancang ini."

Tama melenggang pergi. Buntutnya yang panjang menjuntai, melambai pelan ke kiri dan kanan. Kemudian, ia berbalik tepat di depan pintu kamarku hanya untuk melihatku jatuh berdebam ke atas lantai. Huh! Kekehannya begitu menyebalkan melihatku meringis kesakitan.

***

BRAK! BRAK! BRAK!

BRAK! BRAK! BRAK!

BRAK! BRAK! BRAK!

Waduh! Apa yang terjadi dengan rumah itu? Aku saling berpandangan dengan Tama yang bertengger manis di bahu kananku. Hantu kucing ini merasa dirinya burung hantu yang imut sejak ia menonton film-film Harry Potter.

"Kita tetap masuk ke dalam rumah?" Bisikku.

Tama menganggukkan kepalanya dengan anggun. Hantu kucing yang satu ini memang mentalnya sekeras baja. Dengan percaya diri, ia memijit keras bel rumah dengan kaki kanan depannya. Dentangan bel rumah langsung disambut dengan raungan yang membahana. Tanpa mempedulikan suara mengerikan tersebut, Tama kembali memencet bel rumah. Tak lama kemudian, seorang pria tua tergopoh-gopoh membuka pintu depan rumah. Ia begitu uzur dan pucat hingga aku sangat khawatir ia akan meninggal dunia dalam keadaan berdiri. Napasnya megap-megap. Tapi, kebalikan dari tubuhnya yang serapuh ranting, sepasang matanya begitu indah dan berbinar penuh semangat. Pipinya bersemu dadu. Warna pupilnya seperti bauran cokelat hangat dibubuhi bercak-bercak keemasan. Sungguh unik.

"Den Ray? Mari masuk. Tuan Kamizawa sudah gelisah menunggu Den Ray."

"Maafkan aku, Pak Rangga. Tadi macet di jalan," ujarku berbohong. Aku malu jika beralasan telat bangun. Terkesan tidak professional.

Rumah minimalis itu begitu rapi dan bersih. Di sofa kulit hitam itu duduklah seorang pria Jepang setengah baya. Raut wajahnya tampan layaknya pahatan. Alis abu-abunya begitu tebal seperti ulat bulu. Ia berdeham hingga aku langsung berdiri lebih tegak dan memberi salam dengan membungkukkan tubuhku ala budaya Jepang. Ia tipe pria yang dapat membuat orang segan dengan sekilas lirikan mata.

Bunyi tumbukan tidak lagi terdengar. Namun, tiba-tiba sekelebat bayangan putih menuruni tangga dan menghampiri kami. Tepatnya, menabrak diriku hingga terjerembab ke lantai. Leherku dicengkeram kuat-kuat hingga sepasang mataku mendelik ke atas. Sekuat tenaga aku memutar pergelangan tangan makhluk yang menyiksaku. Dibantu Tuan Kamizawa dan Pak Rangga, aku berhasil melepaskan diri dan duduk di lantai. Aku sungguh terpukau. Gadis sebaya diriku itu begitu jelita layaknya porselen. Wajahnya ceper khas Jepang. Ia meraung-raung. Dengan kasar, ia memukul Tuan Kamizawa dan mendorong Pak Rangga hingga terpelanting. Ia pun menyerang dan mendudukiku. Sungguh mustahil! Gadis semungil itu memiliki tenaga yang begitu besar. Ia pasti kerasukan buta ijo.

Leherku begitu sakit. Gadis ini benar-benar ingin membunuhku. Wajah menawan itu semakin lama semakin mendekati wajahku. Sepasang mataku yang kelam bertatapan dengan sepasang mata besar yang indah, tapi penuh api amarah. Aku bisa merasakan hembusan napas hangat dari hidungnya yang mungil. Aku menatap bibirnya yang begitu tipis hingga seperti garis pink. Ia sungguh-sungguh tipe idealku. Aku sudah gila. Dalam keadaan kritis begini pun, hatiku malah tertawan seraut wajah jelita.

Aduh! Ia menggigitku ketika aku lengah. Dengan susah payah, aku balik memitingnya. Dengan bantuan Pak Rangga, kedua tangan gadis itu berhasil diikat. Aku berdiri dan menatap nanar gadis yang masih berusaha memberontak tersebut. Penampilanku sekacau badai. Kemejaku robek. Bahkan, kancing kemejaku lepas dua buah.

"Duduklah, Nak. Kau begitu muda. Apa kau yakin dapat mengatasi gangguan mistis yang menimpa Ranko, anak gadisku?" Tegas Tuan Kamizawa. "Kau sudah mengalaminya sendiri."

"Haik! Aku siap, Tuan Kamizawa."

"Siap apa?"

"Siap digigit...eh ...siap mengusir roh halus," gagapku. "Tapi, bagaimana awalnya gangguan mistis di rumah ini?"

Tuan Kamizawa terdiam sejenak. Ia menghela napas dengan berat. "Aib ini sungguh memalukan. Demi kekayaan, Fira, istriku melakukan pemujaan buta ijo. Bahkan, ia sendiri tewas mengenaskan tahun lalu."

"Maaf, seperti apa kejadiannya?"

Tuan Kamizawa tertawa merintih. "Istriku tewas dalam keadaan sakit jiwa. Ia minum obat penenang dosis tinggi karena tidak tahan dengan gangguan buta ijo yang meminta tumbal. Fira berjanji untuk menumbalkan Ranko. Ia sungguh berpikiran picik. Tak mengapa menumbalkan Ranko, nanti kan dapat membuat anak lagi. Ternyata setelah lahirnya Ranko, Fira tidak bisa memiliki anak. Ia menyesal dan mengingkari perjanjian terkutuk itu."

"Baiklah, Pak. Mari kita mulai ritual pengusiran buta ijo."

***

Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.

Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.

Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.

Abadilah dalam keheningan.

Aku mendekatkan wajah Ranko ke Jurnal Hantu. Tapi, tidak terjadi apa pun. Wajah Ranko masih sehampa kertas.

Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.

Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.

Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.

Abadilah dalam keheningan.

Aku mengkerutkan kening. Ranko tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya begitu keras hingga gendang telingaku sakit. Tiba-tiba Ranko mulai membentur-benturkan kepalanya ke lantai walaupun posisi tangannya masih terikat. Pak Rangga dan Tuan Kamizawa langsung menahan tubuhnya.

Aku mulai panik dan menatap Tama. Sial! Hantu kucing itu malah melengos dan menghilang.

"Den Ray, apa masih lama ritualnya? Bapak sudah tak kuat menahan tenaga Non Ranko," keluh Pak Rangga.

"Ikat Ranko lebih kuat," perintah Tuan Kamizawa.

Ranko membanting dirinya ke samping. Dengan sekali sentakan, ia berhasil membebaskan diri dari jeratan tali rami. Kemudian, ia menghajar Tuan Kamizawa tanpa henti.

"MATI KAU. MATILAH KAU," kutuk Ranko. Pupil matanya tampak memutih. Ia seseram Sadako.

Dengan napas memburu, aku memeluk Ranko dari belakang. ADUH! Apa ini yang menimpa kepalaku? Aku melirik. Paku dari langit?

"Pakai paku itu, Ray," perintah Tama.

"Kau ini gila ya, Tam? Masa aku tusukkan paku pada kepala Ranko? Nanti ia mati," sungutku.

Tama menjitak kepalaku. "Cukup ditempel di dahi saja, manusia dungu!"

"Aku kan tak tahu. Dasar hantu kucing jutek," timpalku. Aku langsung menempelkan paku itu ke dahi Ranko sembari melafalkan mantera.

Makhluk kegelapan kembalilah ke asalmu.

Aku membebaskanmu dari perjanjian terkutuk.

Mahkluk kegelapan terkurunglah kau di sini.

Abadilah dalam keheningan.

Wajah Ranko langsung menekuk aneh. Ia berteriak kesakitan dan tergulai lemas.

Sang buta ijo pun menampakkan diri di samping Ranko. Tubuhnya yang berwarna hijau begitu besar. Mukanya khas raksasa dengan mata merah membara. Rambutnya yang hitam dan kusut masai, terjurai hingga punggungnya. Belum lagi hilang rasa terkejutku, ia meninju dadaku. Tak hilang akal, aku langsung menusukkan paku ke atas kepalanya. Huek! Darah berwarna hijau langsung muncrat membasahi wajahku. Ia mencengkeram kerah kemejaku hingga kakiku tak menapak lantai. Lidahku kelu, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi, aku tetap membaca mantera dalam hati. Berulang-ulang hingga semuanya menjadi gelap...

***

Apakah aku mati? Apakah aku berada di surga? Gadis jelita di hadapanku pasti malaikat. Aku ingin terus menikmati pemandangan indah ini, tapi aku mengantuk sekali. Mataku pun terpejam.

"RAY! RAY!" Suara Tama yang menyebalkan sungguh mengganggu.

Aku tak peduli.

"RAY! BANGUN!" Tama menggoyang-goyangkan kedua bahuku.

Aku membuka kedua mataku dengan kesal. "Apa?"

"Akhirnya, kau sadar juga. Kau tak sadarkan diri selama 2 jam."

"Oh, buta ijonya bagaimana?"

Tama menyodorkan Jurnal Hantu. Ah ya, buta ijo keparat itu sedang mengamuk di dalam Jurnal Hantu. Sebuah paku menancap di kepalanya.

Gadis cantik di hadapanku mendehem. "Terima kasih banyak, Ray. Kau sudah menyelamatkan jiwaku."

Aku tersipu malu. "Tak apa."

"Maaf aku sudah menggigit lehermu."

"Tak apa..."

"Apa ada yang kau inginkan? Aku ingin membalas kebaikanmu."

"Ah, tak ada."

"Jangan begitu. Aku benar-benar ingin berterimakasih padamu."

Tama berbisik pada telingaku, "Minta kecupan, Den Ray."

Aku mencubit pipi Tama.

"Mengapa kau cubit kucing imut itu?" Tanya Ranko.

Aku dan Tama terkesiap.

"Kau bisa melihat Tama?"

"Tentu saja. Aku indigo," ujar Ranko sembari menggendong dan membelai kepala Tama yang mendengkur senang. "Ayah berkata pekerjaanmu memburu hantu. Apa aku boleh bergabung?"

Aku menganggukkan kepala dengan antusias.

- - - - - 

Kisah buta ijo terinspirasi dari buta ijo yang berada di gudang rumah tua. Terkurung dan mengamuk saat tengah malam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun