"Hantu kucing bawel. Tukang mengadu," gerutuku. "Hantu kucing yang tidak mengerti perasaanku. Kau kan tidak merasakan kantuk."
"Berhentilah menggerutu. Memangnya kau ingin menjadi hantu kucing?"
Aku menelengkan kepala. "Boleh juga. Kulihat kau bermalas-malasan selama bersamaku. Kau meringkuk santai di dekatku. Bahagia sekali jika aku menjadi kaum hantu rebahan sepertimu."
"Omong kosong. Kapan aku bermalas-malasan?" Damprat Tama sembari menjitak dahiku.
"Kucing jahat. Tak perlu kau menjitak dahiku."
"Siapa suruh kau berhalusinasi. Aku tidak berdiam diri seperti yang kau sangka. Walaupun rebahan, otakku yang sudah mati ini selalu bekerja. Tak seperti otak makhluk hidup di hadapanku yang hanya senang main game dan tergila-gila pada makhluk 2D."
Aku langsung manyun. Apa salahnya bermain game dan memuja anime? Hantu kucing ini begitu kolot. Tak salah sih. Jika dihitung dari kelahiran Tama hingga ia mati dalam ritual sesat demi Bersama Nona Missy, majikannya tersayang, dan kemudian ia menjadi hantu kucing, maka usia Tama sudah menginjak 90 tahun. Ia hantu kucing yang uzur dengan alis dan jenggot putih yang panjang. Tawaku menyembur keluar Ketika membayangkan Tama di usia senja.
Tama mendelik karena aku tak kunjung siap. Ia menjentikkan telapak kaki kanan depannya. Sekonyong-konyong seember air melayang di udara penuh ancaman. Ember tersebut berputar-putar seperti tornado dan memercikkan air ke wajahku. Dan kemudian, ember tersebut beringsut kikuk menghampiri kepalaku.
"Hey, jangan main curang. Mentang-mentang aku tak menguasai ilmu sihir."
Tama mencibir. "Ray, jangan menganggap remeh musuh yang harus kita hadapi sekarang. Kita akan berhadapan dengan buta ijo yang ganas."
"Ya, ya. Aku sudah jenuh mendengar kau terus-menerus mengingatkanku akan kehebatan si buta ijo. Sudah sepuluh kali kau terus mengulang peringatanmu hingga aku hapal sekali satu per satu kalimatmu," keluhku. "Aku tidak dungu."