***
BRAK! BRAK! BRAK!
BRAK! BRAK! BRAK!
BRAK! BRAK! BRAK!
Waduh! Apa yang terjadi dengan rumah itu? Aku saling berpandangan dengan Tama yang bertengger manis di bahu kananku. Hantu kucing ini merasa dirinya burung hantu yang imut sejak ia menonton film-film Harry Potter.
"Kita tetap masuk ke dalam rumah?" Bisikku.
Tama menganggukkan kepalanya dengan anggun. Hantu kucing yang satu ini memang mentalnya sekeras baja. Dengan percaya diri, ia memijit keras bel rumah dengan kaki kanan depannya. Dentangan bel rumah langsung disambut dengan raungan yang membahana. Tanpa mempedulikan suara mengerikan tersebut, Tama kembali memencet bel rumah. Tak lama kemudian, seorang pria tua tergopoh-gopoh membuka pintu depan rumah. Ia begitu uzur dan pucat hingga aku sangat khawatir ia akan meninggal dunia dalam keadaan berdiri. Napasnya megap-megap. Tapi, kebalikan dari tubuhnya yang serapuh ranting, sepasang matanya begitu indah dan berbinar penuh semangat. Pipinya bersemu dadu. Warna pupilnya seperti bauran cokelat hangat dibubuhi bercak-bercak keemasan. Sungguh unik.
"Den Ray? Mari masuk. Tuan Kamizawa sudah gelisah menunggu Den Ray."
"Maafkan aku, Pak Rangga. Tadi macet di jalan," ujarku berbohong. Aku malu jika beralasan telat bangun. Terkesan tidak professional.
Rumah minimalis itu begitu rapi dan bersih. Di sofa kulit hitam itu duduklah seorang pria Jepang setengah baya. Raut wajahnya tampan layaknya pahatan. Alis abu-abunya begitu tebal seperti ulat bulu. Ia berdeham hingga aku langsung berdiri lebih tegak dan memberi salam dengan membungkukkan tubuhku ala budaya Jepang. Ia tipe pria yang dapat membuat orang segan dengan sekilas lirikan mata.
Bunyi tumbukan tidak lagi terdengar. Namun, tiba-tiba sekelebat bayangan putih menuruni tangga dan menghampiri kami. Tepatnya, menabrak diriku hingga terjerembab ke lantai. Leherku dicengkeram kuat-kuat hingga sepasang mataku mendelik ke atas. Sekuat tenaga aku memutar pergelangan tangan makhluk yang menyiksaku. Dibantu Tuan Kamizawa dan Pak Rangga, aku berhasil melepaskan diri dan duduk di lantai. Aku sungguh terpukau. Gadis sebaya diriku itu begitu jelita layaknya porselen. Wajahnya ceper khas Jepang. Ia meraung-raung. Dengan kasar, ia memukul Tuan Kamizawa dan mendorong Pak Rangga hingga terpelanting. Ia pun menyerang dan mendudukiku. Sungguh mustahil! Gadis semungil itu memiliki tenaga yang begitu besar. Ia pasti kerasukan buta ijo.