Leherku begitu sakit. Gadis ini benar-benar ingin membunuhku. Wajah menawan itu semakin lama semakin mendekati wajahku. Sepasang mataku yang kelam bertatapan dengan sepasang mata besar yang indah, tapi penuh api amarah. Aku bisa merasakan hembusan napas hangat dari hidungnya yang mungil. Aku menatap bibirnya yang begitu tipis hingga seperti garis pink. Ia sungguh-sungguh tipe idealku. Aku sudah gila. Dalam keadaan kritis begini pun, hatiku malah tertawan seraut wajah jelita.
Aduh! Ia menggigitku ketika aku lengah. Dengan susah payah, aku balik memitingnya. Dengan bantuan Pak Rangga, kedua tangan gadis itu berhasil diikat. Aku berdiri dan menatap nanar gadis yang masih berusaha memberontak tersebut. Penampilanku sekacau badai. Kemejaku robek. Bahkan, kancing kemejaku lepas dua buah.
"Duduklah, Nak. Kau begitu muda. Apa kau yakin dapat mengatasi gangguan mistis yang menimpa Ranko, anak gadisku?" Tegas Tuan Kamizawa. "Kau sudah mengalaminya sendiri."
"Haik! Aku siap, Tuan Kamizawa."
"Siap apa?"
"Siap digigit...eh ...siap mengusir roh halus," gagapku. "Tapi, bagaimana awalnya gangguan mistis di rumah ini?"
Tuan Kamizawa terdiam sejenak. Ia menghela napas dengan berat. "Aib ini sungguh memalukan. Demi kekayaan, Fira, istriku melakukan pemujaan buta ijo. Bahkan, ia sendiri tewas mengenaskan tahun lalu."
"Maaf, seperti apa kejadiannya?"
Tuan Kamizawa tertawa merintih. "Istriku tewas dalam keadaan sakit jiwa. Ia minum obat penenang dosis tinggi karena tidak tahan dengan gangguan buta ijo yang meminta tumbal. Fira berjanji untuk menumbalkan Ranko. Ia sungguh berpikiran picik. Tak mengapa menumbalkan Ranko, nanti kan dapat membuat anak lagi. Ternyata setelah lahirnya Ranko, Fira tidak bisa memiliki anak. Ia menyesal dan mengingkari perjanjian terkutuk itu."
"Baiklah, Pak. Mari kita mulai ritual pengusiran buta ijo."
***