"Menurutku, hitam melambangkan kegelapan, duka".
"Mungkin itu sudah takdirmu. Kelak kamu menjadi lambang duka. Sekalipun begitu, hidupmu tidak segelap wawrna bajumu."
Gagak tidak menjawab lagi. Wajahnya murung. Lalu pergi meninggalkan kodok sendirian. Kodok memandangi sahabatnya itu dengan keraguan.
Dalam kegelisahannya, gagak tidak pernah bernyanyi lagi. Tidurnya pun tak nynyak. Makan tak selera. Sehari-harinya lebih banyak merenung. Akhirya, pada suatu hari gagak sedang bertengger di pucuk pohon mahoni di tepi jalan. Tiba-tiba dilihatnya ada tukang wenter lewat di jalan itu. Kebetulan sekali. Di dalam tungku itu berisi wenter yang sudah siap. Seketika muncul hasrat di hatinya untuk mandi di dalam tungku itu. Dengan begitu, bulunya yang putih akan bisa berubah menjadi hitam.Â
Dan, tanpa diketahui si tukang wenter, gagak menceburkan dirinya ke dalam tungku. Untuk beberapa saat lamanya ia merendam diri. Bahkan, sampai badannya terasa kedinginan. Karena tidak tahan dingin, maka segera ia keluar dari dalam tungku. Hitamlah sudah seluruh bulu gagak. Bahkan kaki, paruh, wajah, dan matanya pun menjadi hitam pekat. Dan, sejak saat itu gagak tidak lagi berbulu putih, tetapi hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H