Siapa saja bisa mempunyai masalah. Sebab, hidup ini tidak lebih dari sekedar bermain-main dengan masalah. Siapa yang berhasil menyelesaikan masalah dengan baik, pasti merasa puas.
Tidak jarang hal demikian dikatakan hidupnya berhasil. Tetapi ada satu hal yang perlu dicamkan yaitu siapa pun juga suka mencampuri masalah orang lain.
Rupanya falsafah seperti itu tidak berlaku bagi gagak. Tidak seperti yang lainnya, gagak memang suka usil. Ia suka menggoda teman-temannya. Kalau ada teman yang berpakaian bagus, ia tidak suka.Â
Kemudian mencemoohkannya. Padahal, sebenarnya ia iri hati. Lebih-lebih jika ada teman yang mengenakan pakaian jelek, pasti dicemoohnya. Ia selalu membanggakan dirinya. Bulu-bulunya yang putih selalu jadi kebanggannya.
Pada suatu hari, gagak tengah beristirahat. Ia bertengger di sebuah dahan. Sambil merapikan bulunya, gagak bersiul-siul dan bernyanyi. Walau suaranya parau, ia tidak perduli. Tidak jarang yang mendengarnya merasa risi.
"Bulu yang putih ini milikku. Siapa pun pasti suka.
Bulu yang indah ini punyaku. Siapa pun pasti suka.
Tetapi sayang, mereka iri. Pada bulu indahku.
Sungguh kasihan, aku kasihan. Pada mereka itu."
Begitulah nyanyian gagak. Kebetulan, tidak jauh dari tempat gagak bertengger, ada seekor ular dumung sedang tidur. Mungkin ia juga sedang beristirahat. Karena gagak terus bernyanyi, maka ular dumung pun terjaga. Tidurnya jadi terganggu. Kontan saja dumung marah.
"Hei hentikan nyanyian gilamu itu!" tegur dumung kesal.
Gagak agak terkejut. Ia menghentikan nyanyinya. Ditengoknya sumber suara. "Eih... kamu! Mengapa ada di situ?" tanyanya ketus.
"Aku bilang hentikan nyanyianmu," kata dumung lagi.
"Memangnya kenapa?"
"Aku ingin istirahat. Dan aku tidak ingin terganggu."
"Apa aku mengganggumu?"
"Suaramu yang 'ngalor-ngidul' itu mengganggu telinga".
"Kalau merasa terganggu, tutup saja telingamu."
"Enak saja! Memangnya tempat ini milikmu?!"
"Tetapi juga bukan milikmu, bukan?"
"Kamu jangan egois!"
"Sudahlah! Jika memang dalam hal ini aku yang kamu anggap bersalah, aku minta maaf."
"Nah, begitu jika mau menghargai teman."
Gagak tidak menjawab. Tetapi sambil merapikan bulu-bulunya, kembali bersenandung. Walau tidak sekeras sebelumnya, suaranya tetap mengganggu dumung. Dumung pun tidak bisa menahan kesalnya.
"Apakah mulutmu tidak bisa diam?!" bentak dumung.
Gagak hanya melirik sinis. Tetapi tetap bernyanyi seperti tadi. Dunung semakin marah.
"Cukup! Memangnya hanya kamu yang memiliki bulu indah?"
"Sekarang aku balik bertanya. Apa bajumu sebaik bajuku?"
Dumung tidak segera menjawab. Dilihatnya kembali warna bajunya yang hitam gelap. Sementara gagak tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha haaa.... Lucu sekali. Walau kau pandangi terus, bajumu yang hitam jelek itu tak akan menjadi putih," ejek gagak. Karena merasa dihina, dumung marah. Dan menyerang gagak dengan ganas. Rupanya gagak tidak takut dengan dumung. Sergapan dumung dilayaninya dengan santai saja. Sambil melompat dari dahan ke dahan, dumung terus memburu lawannya. Tetapi gagak jauh lebih gesit. Sebab sekali kepak, terbangnya gagak jauh lebih cepat daripada lompatan dumung. Dumung pun kecapaian.
"Kenapa berhenti? Aku di sini!" ejek gagak.
"Suatu saat aku akan mengalahkanmu. Nanti aku adukan kamu pada kakek. Kau pasti mampus!" ancam dumung.
"Kakek?!"
"Ya. Kakek sawa. Karena kakekku juga mencarimu."
"Kakekmu mencariku? Ada urusan apa?"
"Kakek akan membunuhmu."
"Seingatku, aku tidak pernah berurusan dengan kakekmu, lalu mengapa dendam kepadaku?"
"Kau lupa telah membantu kodok?"
Gagak mencoba mengingat-ingat sesuatu. Agak lama ia terdiam.
"Dasar pelupa! Kau pasti ingat amfibi bukan?"
"Oh ya. Kini aku tahu. Tetapi aku punya masalah dengan amfibi, bukan dengan kakekmu."
"Kau jangan pura-pura. Kodok adalah musuh kakek, karena membantu tikus. Dan karena pertolonganmu, ia sementara lolos dari kejaran kakek. Sayangnya, kamu mengorbankan amfibi. Itu sebabnya kakek juga menaruh dendam kepadamu."
"Aku tidak takut!"
"Percaya atau tidak bukan masalah. Yang penting berhati-hatilah, jika kamu ingin hidup lebih lama!"
Setelah berkata begitu, dumung pun pergi. Ditahannya rasa kesal yang mengganjal dadanya. Sementara gagak masih terdiam. Mungkin memikirkan ancaman ular dumung. Timbul hasrat di hatinya untuk mencari akal demi menghadapi ular sawa.
Untuk menghadapi ular sawa, gagak terpaksa menemui beberapa sahabat dekatnya. Tujuannya, untuk dimintai bantuan menemukan kelemahan ular sawa. Yang mula-mula ditemuinya adalah kodok.
"Jadi benar, ular sawa juga mencarimu?" tanya kodok.
"Benar. Itu juga gara-gara kamu. Sebab jika tidak karena kau menolongmu, mana mungkin sawa menaruh dendam kepadaku?" tutur gagak.
"Tetapi apa yang harus kulakukan? Aku sendiri juga takut kepada si sawa," kata kodok.
"Aku tidak menyuruhmu menghadapi sawa, tetapi bantulah aku menemukan cara untuk menghadapi dia."
"Baiklah. Menurutku, menghadapi sawa harus dengan muslihat. Sebab dengan kekuatan tidak mungkin. Kita kalah sakti dengannya."
"Benar. Contohnyat tikus. Hasilnya, tikus dilahap oleh si sawa. Lalu, kira-kira muslihata apa yang jitu untuk menundukkan si sawa itu?"
"Kita harus menipunya".
"Caranya?"
"Kesaktian sawa sungguh luar biasa. Bisa yang dimilikinya sangat hebat. Sehingga hanya dengan menjilat bekas tapak kaki saja, si pemilik tapak kaki sudah mampus. Nah, kita harus menipunya agar bisanya itu dibuang saja."
"Lalu, bagaimana melakukannya? Untuk bertemu saja kita tidak berani. Bagaimana bisa membujuknya?!"
"Kita minta bantuan pada kadal."
"Maksudmu kita menyuruh kadal agar membujuk sawa?"
"Bukan begitu. Kita menulis surat pada sawa. Kita katakana padanya bahwa bisa yang dimilikinya  itu sudah tidak sakti lagi. Jadi, percuma memiliki bisa kalau tidak sakti."
"Mana mungkin sawa percaya?"
"Kamu jangan bodoh. Kita buat surat itu seolah-olah dari Ki Sidarmaya."
"Guru sawa. Nah, dengan begitu, sawa pasti percaya. Lalu, segera membuang bisanya itu. Tanpa bisa, sawa tak akan punya kekuatan lagi. Kita tidak perlu takut padanya."
"Wah, ternyata pemikiranmu lumayan juga."
"Untuk memikirkan hal itu, aku butuh waktu sepuluh tahun."
"Sudahlah. Sekarang bagaimana cara memalsukan tanda tangan Ki Sidarmaya itu?"
"Datanglah ke pedepokan Pucangan secara sembunyi-sembunyi. Pasti kamu bisa menemukan tulisan dan tanda tangan Pertapa tua itu."
"Terima kasih dok atas bantuanmu. Nah, sekarang aku segera pergi ke Pucangan. Jaga dirimu baik-baik," kata gagak sambil terus melesat terbaang meninggalkan kodok.
Bagi gagak, untuk sampai ke pedepokan Pucangan tidaklah sulit. Dan untuk mendapatkan bentuk tulisan serta tanda tangan Ki Sidarmaya juga tidak repot. Cepat-cepat ia menulis surat seperti yang dikatakan kodok. Setelah jadi, segera surat itu diberikan kadal. Kadal pun segera menyampaikan kepada ular sawa.Â
Ular sawa tergolong murid padepokan Pucangan yang sangat taat. Oleh karena itu setelah membaca surat itu segera ia mengumpulkan anak cucunya. Sama sekali ia tidak tahu jika surat itu bukan dari gurunya. Karena baik tulisan maupun tanda tangannya persis tanda tangan gurunya. Jadi, ia percaya. Setelah semua berkumpul, segera ular sawa membagi-bagikan bisanya. Anak cucunya tidak mengerti maksud kakeknya. Tetapi mereka umumnya senang karena mendapat bisa yang ampuh.
Sejak saat itu ular sawa tidak lagi memiliki bisa yang ampuh. Ia tidak memiliki kesaktian lagi. Pada saat itu raja tikus datang dan memberitahu bahwa ia telah ditipu oleh gagak. Ia baru sadar kekeliruannya. Kemudian atas petunjuk Ki Sidarmaya, ular sawa disuruh bertapa. Mungkin setelah bertapa baru ia menemukan kesaktiannya lagi. Tetapi oleh Ki Sidarmaya dianjurkan untuk tidak saling dendam. Sawa pun menurut seperti yang dikatakan Ki Sidarmaya.
Sebenarnya, gagak bisa hidup bebas tanpa ancaman sawa. Tetapi, setelah tahu sawa kembali bertapa, maka gagak selalu gelisah. Ia selalu bermimpi dikejar-kejar sawa.Â
Ke mana pergi, hatinya tidak tenang. Lalu, ia datang lagi kepada kodok sahabatnya. Atas nasihat kodok, gagak harus mengubah bulunya yang putih. Tujuannya, agar tidak dikenali lagi oleh si sawa.
"Mengubah buluku yang putih?" tanya gagak ragu.
"Benar. Sebab, itu jalan satu-satunya. Jika kamu masih mengenakan baju itu, semua anak cucu ular sawa pasti mengejarmu," kata kodok.
"Tetapi, ini baju kebanggaanku."
"Apa artinya kebanggaan, jika kamu tidak bisa tenang?"
"Lalu, aku harus mengubahnya menjadi apa?" tanya gagak.
"Terserah kamu. Mau kuning, hijau, lurik, hitam, silahkan! Tetapi kalau bisa jangan warna milik orang  lain."
"Maksudmu?"
"Usahakan jangan warna yang biasa dipakai teman kita. Sebab bisa mencelakakannya."
"Kalau kuning?" tanya gagak.
"Milik kepodang."
"Kalau hijau?"
"Milik betet."
"Kalau lurik?"
"Milik pungung."
"Wah, kalau begitu tinggal hitam. Padahal kamu tahu sendiri aku tidak suka warna hitam.
"Hidup ini memang kadang lucu. Sesuatu yang kita benci, kadang selalu dekat dengan kita. Lalu, apa alasanmu membenci warna hitam?"
"Menurutku, hitam melambangkan kegelapan, duka".
"Mungkin itu sudah takdirmu. Kelak kamu menjadi lambang duka. Sekalipun begitu, hidupmu tidak segelap wawrna bajumu."
Gagak tidak menjawab lagi. Wajahnya murung. Lalu pergi meninggalkan kodok sendirian. Kodok memandangi sahabatnya itu dengan keraguan.
Dalam kegelisahannya, gagak tidak pernah bernyanyi lagi. Tidurnya pun tak nynyak. Makan tak selera. Sehari-harinya lebih banyak merenung. Akhirya, pada suatu hari gagak sedang bertengger di pucuk pohon mahoni di tepi jalan. Tiba-tiba dilihatnya ada tukang wenter lewat di jalan itu. Kebetulan sekali. Di dalam tungku itu berisi wenter yang sudah siap. Seketika muncul hasrat di hatinya untuk mandi di dalam tungku itu. Dengan begitu, bulunya yang putih akan bisa berubah menjadi hitam.Â
Dan, tanpa diketahui si tukang wenter, gagak menceburkan dirinya ke dalam tungku. Untuk beberapa saat lamanya ia merendam diri. Bahkan, sampai badannya terasa kedinginan. Karena tidak tahan dingin, maka segera ia keluar dari dalam tungku. Hitamlah sudah seluruh bulu gagak. Bahkan kaki, paruh, wajah, dan matanya pun menjadi hitam pekat. Dan, sejak saat itu gagak tidak lagi berbulu putih, tetapi hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H