Perempuan pada masa konflik sebagai agen perdamaian yang menjadi pencari nafkah keluarga & memastikan pendidikan anak tetap berjalan, membangun solidaritas & mendukung keluarga yang terdampak konflik. Menjadi kombatan & ikut dalam perang, lalu sebagai korban kekerasan bebrasis gender. Adapun tantangan, sebagai resiko, keamanan, keterbatasan Sumber daya, dicurigai, "senjata perang", jadi tameng, sasaran antara & bargaining politik bagi kelompok yang bertikai, serta tidak diperhitungkan, tidak di dengar dna bisa dijadikan sebagai peluang. Untuk mengatasi hal tersebut, maka ada beberapa strategi pendekatan yang dapat dilakukan sebagai prinsip dasar, seperti anti kekerasan, berpihak pada korban, adil gender, serta menghargai keberagaman.Â
Peran perempuan sebagai peace builderÂ
 - Capacity building untuk training, Teknik investigasi, Teknik pelaporan CO, CU, KM, management keuangan \
- Advokasi/lobby local, nasional & internasionalÂ
- Penguatan ekonomi berbasis kekuatan local, dengan ternak kambing, buat garam, menjahit, buat kue, dllÂ
- Mendorong partisipasi perempuan dengan 3:Â
A. Melakukan investigasi pelanggaran HAMÂ
B. MendokumentasikanÂ
C. Mendampingi korbanÂ
- Kampanye perdamaian, perempuan memecah kebisuan & kebungkaman masyarakat Aceh seminar, kasi damai, poster, stiker, menulis, buat buku, menggalang bantuan untuk korban.Â
Kemudian juga ada gambar pemateri sewaktu muda di saat melakukan aksi perdamaian, konteks yang mendorong kelompok perempuan untuk mengambil suara yang berbeda selama konflik.Â