Dan hari itu, merupakan kali pertama aku dengan bajingannya tampar diriku, yang paling keras.
Andai dinding kamarku bisa bicara, mungkin ia akan rutuki. Andai meja belajarku yang terdiam di pojok kamar bisa berlari, mungkin ia akan hampiri. Andai jam dindingku bisa memukul, mungkin ia akan ikut pukuli.
Tangisku lanjut, enggan sudahi.
Semesta belum kenyang siksa aku waktu itu. Pada hari kedua mama terbaring menggigil, papa demam. Demam yang paling demam.
Aku tak tahu harus lakukan apa lagi pada saat itu. Sebelumnya aku mengaku aku sudah tujuh belas, tapi entah mengapa otak remaja ku hanya bisa produksi air mata. Ironis. Aku tak tahu pula doa apa lagi yang harus aku panjatkan setelah ribuan doa yang tak kunjung di-iya-kan.
Lelah, marah, menyerah. Tiga kata paling cocok deskripsikanku saat itu.
Setiap pagi puan keluarkan isi perutnya. Padahal belum ia isi apa-apa. Setiap malam tuan keluarkan kalimat anehnya. "Al, kalau papa gak ada-" begitu awal pembicaraan ditengah lengangnya beberapa malam akhir Juni hingga awal Juli lalu.
--
Mau aku ceritakan puncaknya? Puncaknya terjadi pada malam ketujuh Juli, satu bulan sebelum bulan kehadiran puan paling indah di bumi. Tak sampai aku dibuat kehilangannya, hanya hampir. Tolong setia sampai bagian akhir, ya?
--
Pada malam itu, pukul sepuluh hampir sebelas, batuk dan sesakku sudah jauh mereda. Tuan tidak lagi meracau seenaknya. Tapi puan, ia tak kunjung membaik, demi semesta. Semua lakukan rutinitas baru nya saat itu. Puan tertidur lemah dengan selimut tebal memeluknya ramah. Tuan damping puan, layak janjinya. Dengan sorot prihatin yang ia sembunyi, sebab takut aku pandangi. Sedang aku,aku duduk sendiri. Mendadak jadi si pemerhati tak tahu diri.