Aku lelap sambil duduk, memang obat reaksinya bukan main. Ia buatku tidur  sekaligus pindahkanku ke alam yang orang lain panggil mimpi. Mimpi yang cukup biru haru sebab saksikan teman lintas benuaku jatuh pada tumpukan batu keruh rel kereta lalu. Tangisku lanjut bahkan sampai alam sadar. Baru pukul tiga, tapi semakin tak tau raga. Aku melemah, drastis. Mataku yang sehat entah mengapa jadi kaku, kaki dingin layak beku. Kulit tangan tajam tak siap digenggam. Selimut tebal tak mempan, rusuh aku kibasnya. Gelisah tak tahu harus apa. Kupaksakan mata terpejam, persetan dengan tubuh tak mau diam.
Aku terbangun dengan tuan kepala remah yang datang sentuh dahiku.
"Apa yang kerasa?" tanyanya padaku yang masih dikumpul enam nyawa.
"Panas nafas, lidah pahit, mata perih, dingin" belum berani bilang sejujurnya tentang yang terjadi tadi malam.
"Papa beli bubur, makan dulu" ia berlalu, kuperhati bahu nya yang memikul banyak beban tapi berbagi enggan.
Aku jalan pelan-pelan. Keluar kamar dengan setengah niat. Ingin hanya berbaring pikirkan banyak kiat. Duduk di tempat seharusnya, membuka sebuah kotak bubur tersimpan rapi diatas meja. Aku makan, tetap rasanya pahit. Setelahnya aku beranjak ke kamar mandi. Tidak sebenar-benar mandi. Hanya pandang cermin dihadapan, bergantian aku tukar pandang. Tak lama sebab sudah dipanggil untuk keluar.
Oh iya, lupa kuberi tahu. Demamku tak kunjung membaik sejak malam itu. Malah memburuk. Seperti biasa, lepas kenyang aku minum pil tak pucat harap reaksi cepat.
"Tidur aja lagi"
"Iya, mau"
Juli kemarin memang monoton. Bangun, makan, minum obat, tidur, ulangi.
Hari ketiga, demam masih betah.