Mohon tunggu...
Salma Putri Aditian
Salma Putri Aditian Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 4

please, could you put me to rest?

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tuhan, Berbaik Hatilah

25 Februari 2022   20:39 Diperbarui: 25 Februari 2022   21:05 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak kunjung muncul kembali.

Spontan aku berdiri. Ajak tuan sudahi sesi akrab dengan mentari pagi ini.

"Mam?" panggilku bergetar. Firasatku tak baik.

Aku telurusi tiap ruangan layaknya rutinitas pulang sekolah dulu. Sampai aku temukannya.

Aku temukannya memeluk dirinya sendiri diatas Kasur. Dibalut selimut tebal yang aku tahu itu bkan kebiasaannya. Puan tak doyan selimut tebal. Apalagi matahari hari ini sedang terik-teriknya. Ada apa? Tuan mendahuluiku. Ya, karena aku sejak tadi masih terpatung di ambang pintu. Tak kuasa kuasai otak.

"Kenapa?" tanya tuan pada puan pemenang hatinya. Ia tanyakan pertanyaan klise. Dengan suara yang lembut sekali, benar-benar lembut. Kalahkan alunan Claire De Lune kesukaanku yang selama ini aku nobatkan sebagai alunan paling lembut tersimpan di kamusku. Memang suaranya terdengar lembut. Tapi disana ia sembunyikan kedua tangannya yang bergetar hebat dibalik tulang belakang.

Puan yang ditanya tak menjawab. Tubuhnya semakin gelisah. Ia produksi banyak keringat, sungguh banyak. Tapi keringat dingin. Kaki nya kaku dibalik selimut. Dingin sekali. Bibirnya bergetar. Giginya saling tekan. Nafas pun tak tahu aturan.

Aku lari untuk ambilkan satu gelas air hangat dari dapur. Tak lupa satu pasang kaus kaki kesayangannya. Puan sering bilang bahwa kaus kaki berbahan rayon ini adalah yang paling pintar hangatkannya.

Setelah puan tenang, tuan tenggelam dalam lamunan. Menatap lurus keluar jendela dengan tatapan kosong tak tenang. Ingin rasanya aku bilang "semua akan baik saja" tapi aku urungkan. Karena pun aku ragu. Aku tak begitu percaya pada kalimat itu. Sebab pada nyata, tak ada yang akan baik saja.

Rencana kami yang akan swab pada hari itu seketika dibuat lupa. Seakan tuhan belum mau aku temukan tenang.

Aku menangis lagi, persetan dengan kepala yang aku tahu akan semakin perih. Ternyata benar. Sakitku menular. Aku kecewa pada Tuhan. Tak hanya tuhan, tapi seluruh yang insan Tuhankan. Salahku apa di kehidupan sebelumnya? Apa ini dendam dari semut-semut yang tak sengaja aku injaknya? Apa ini sumpah jelek dari segala macam sumpah yang ada padanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun