Mohon tunggu...
Salma Putri Aditian
Salma Putri Aditian Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 4

please, could you put me to rest?

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tuhan, Berbaik Hatilah

25 Februari 2022   20:39 Diperbarui: 25 Februari 2022   21:05 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuhan, kumohon dengarkan. Jangan bawa tuan pun puan paling aku sayang. Setidaknya tidak sekarang, Tuhan. Kumohon, berbaik hati lah.

--

Ini cerita lama si tokoh Aku. Tentang bagaimana ia pada tiap penghujung malam bersimpuh bersujud. Tentang dunia yang ia pikir akan membuncah tepat saat itu. Tentang kupu-kupu di perut yang ia kira sudah mati membangkai. Tentang kopi tuan yang tak lekang diteguk, pun teh hijau puan nan tak kunjung disentuh. Tentang pagi berteman pilu, tak lupa malam berpeluk peluh.

"Yakin mau ambil kisah ini?"

"Tentu. biarkan aku nikmati luka nya lagi"

--

Pagi itu pukul delapan pagi, bintang surya paling besar yang manusia kenal tak kunjung menyapa. Dengan enggan baru munculkan sinar saat bumi hampir siang. Tak lama, segerombolan burung yang aku tak tahu jenis apa itu menyapa; jauh dari kata ramah. Semakin didengar, semakin yakin bukan sapaan walau tak ramah. Lebih seperti teriakan pemecah cermin bahkan. Layaknya mereka hendak kenalkan hal yang aku tak idam.

Dijalankan bak rutinitas baru, duduk tidak terlalu manis dengan pandangan terbilang pudar lurus ke sebuah layar persegi panjang bersuara di hadapan. Sudah banyak gelas bertumpuk terhitung sejak pagi sapa dunia. Anaknya memang kalau masuk kamar harus ditemani satu gelas berisi.

"Salma Putri Aditian?"

"Hadir, bu"

Pembelajaran jarak jauh. Bukan hal hina sebetulnya. Tapi jujur saja, kurang sudi akuinya. Tuhan, bagaimana tidak? Wujud temanku jadi virtual semua. Tak jarang hanya tampilkan layar hitam dan sebuah nama. Bosankan yang lihat.

"Cukup ya buat hari ini. Jangan lupa selalu bahagia juga sehat!"

Sehat. Kata sakral tiga tahun belakangan. Agaknya aneh kalau tak bawakan kata itu di penghujung kalimat penutup masa sekarang. Satu dari banyak miliar, insan ambil sehat. Banyak harapan dari sebuah kata sakral terlontar. Satu insan harapkan sehat yang paling sehat bagi orang-orang sehat. Insan lain harapkan sehat untuk dirinya sendiri sebab dikelilingi orang-orang kurang sehat. Sedang banyak insan pun harapkan dirinya lekas sehat dari segala bentuk tidak sehat lainnya.

Tapi maaf. Juni tertanggal dua puluh lima, tahun dua satu, ada yang telah gagal jaga suci dari kata itu.

"Kenapa, Al?" heran lihat anaknya hampiri dan hamburkan isi kotak obat.

"Cari obat yang bisa cegah demam"

"Kamu demam?"

"Sedikit lagi, hampir. Paling nanti malam"

Entah firasat atau bahkan omongan yang terlanjur jadi do'a, malamnya suhu tinggi mendekat. Ia memeluk. Pelukan jahat. Yang bikin aku tak lepas hingga tujuh purnama.

Malam itu, layak hari lain, aku tidur sendiri. Dalam kamar yang cukup penuh sesak kenang. Sumpah, serapah, rapalan melekat di tiap sudut fasad simetris. Langit-langit pun tergantung asal banyak angan. Sebagian sudah abu pucat. Beberapa masih terang sinar. Entah lupa redup atau mungkin tak bisa redup, atau bahkan mungkin pijarkan sinar palsu tak palsu. Semua normal, layak biasa. Yang tak normal hanya suhu badanku. Pipi merona bukan sebab pria goda. Tapi perubahan sinting suhu drastis buat miris.

"Mam?" lirihku harap bantuan.

Puanku datang, bawakan satu botol air hangat lengkap dengan sebuah alat ukur suhu tubuh.

"Demam kan? Keliatan dari mata nya" sungguh pengamat tanpa ucap. Ia tempelkan alat itu pada dahiku. Dahi yang biasa simpan kerutan asa sejak remaja.

"Al? 38,9?" sudah lama tak kudengar khawatirnya. Cukup senang walau ikut tak tenang.

Aku makan satu pil obat pereda demam. Setelahnya, Ia sarankanku lekas lelap. Katanya jangan kalut terus larut. Bisa ancam kesehatan. Aku patuh sebab aku harus. Bahkan sejak sebelum lahir, aku sudah janji untuk terus turut.

Aku berpura lelap hingga ia tinggalkan kamarku. Setelah memastikan semua aman, aku terduduk memposisikan tubuhku layak tertopang tembok. Sedikit takut kalau boleh jujur.

Aku sakit apa?

Demam biasa bukan?

Tahan berapa lama?

Bukan virus tak tahu arus yang banyak terus, kan?

Kuteguk tak sadar air bening pahit yang dibawakan tadi.

"Yah, memahit" ucapku dalam diam.

Aku lelap sambil duduk, memang obat reaksinya bukan main. Ia buatku tidur  sekaligus pindahkanku ke alam yang orang lain panggil mimpi. Mimpi yang cukup biru haru sebab saksikan teman lintas benuaku jatuh pada tumpukan batu keruh rel kereta lalu. Tangisku lanjut bahkan sampai alam sadar. Baru pukul tiga, tapi semakin tak tau raga. Aku melemah, drastis. Mataku yang sehat entah mengapa jadi kaku, kaki dingin layak beku. Kulit tangan tajam tak siap digenggam. Selimut tebal tak mempan, rusuh aku kibasnya. Gelisah tak tahu harus apa. Kupaksakan mata terpejam, persetan dengan tubuh tak mau diam.

Aku terbangun dengan tuan kepala remah yang datang sentuh dahiku.

"Apa yang kerasa?" tanyanya padaku yang masih dikumpul enam nyawa.

"Panas nafas, lidah pahit, mata perih, dingin" belum berani bilang sejujurnya tentang yang terjadi tadi malam.

"Papa beli bubur, makan dulu" ia berlalu, kuperhati bahu nya yang memikul banyak beban tapi berbagi enggan.

Aku jalan pelan-pelan. Keluar kamar dengan setengah niat. Ingin hanya berbaring pikirkan banyak kiat. Duduk di tempat seharusnya, membuka sebuah kotak bubur tersimpan rapi diatas meja. Aku makan, tetap rasanya pahit. Setelahnya aku beranjak ke kamar mandi. Tidak sebenar-benar mandi. Hanya pandang cermin dihadapan, bergantian aku tukar pandang. Tak lama sebab sudah dipanggil untuk keluar.

Oh iya, lupa kuberi tahu. Demamku tak kunjung membaik sejak malam itu. Malah memburuk. Seperti biasa, lepas kenyang aku minum pil tak pucat harap reaksi cepat.

"Tidur aja lagi"

"Iya, mau"

Juli kemarin memang monoton. Bangun, makan, minum obat, tidur, ulangi.

Hari ketiga, demam masih betah.

"Ke dokter ya?"

"Besok"

"Jangan besok besok. Harus diperiksa kalau lebih dari tiga hari. Takut ada apa-apa di dalam"

Seperti yang aku bilang tadi, berhubung sudah janji pada Tuhan aku akan jadi yang paling penurut, maka aku turut. Aku duduk pada bangku tengah mobil yang dikemudi tuan punggung keluarga. Terlihat dari spion tengah mata nya yang abu sendu. Lekukan hidung tajam yang kata orang diturunkan padaku. Dahi juga tepi mata yang sisipkan keriput tapi suka dipandang tak takut.

Aku dituntun si tuan kebal rasa dengan gagah. Ia tungguiku dengan setia, ia beri ku minum yang masih saja pahit sampai aku mengumpat depan yang berseragam putih.

"Normal pak. Bukan DBD juga. Nanti saya resepkan obat pereda demam ya? Kalau demam masih berlangsung lima hari kedepan, mohon kembali lagi kesini"

"Baik, terima kasih ya dok"

Bukan dapat arah terang, aku malah temu karat parang. Selepas pulang dari rumah yang terlalu umum jika dipanggil rumah itu, aku terus konsumsi pil putih tak tahu dirasa. Demam mereda pada hari keempat. Tapi mulai sesak tak tahu tempat. Batuk kering padahal minum sering. Mulai pula flu pada hari sama.

Lengkap sudah gejala yang selama ini aku hindari. Semakin dipikirkan semakin sakit yang dipikiran. Aku cari segala informasi tentang hal yang selama ini kusimpan dendam.

"Pakai masker, jangan keluar kamar. Besok kita cari tempat swab"

Aku lagi-lagi turut. Diam dalam kamar, pikirkan hal aku tak duga akan dinyatakan. Mulai malam itu, tangisku rutin. Ada selalu pikiran aneh singgah. Terlebih kalau aku tak lelap pukul sembilan setengah.

"Tuhan, dewa, posseidon, semesta, siapapun disana. Tolong hentikan padaku. Jangan pindah pada yang lain"

Terus aku panjatkan doa layak tadi pada siapapun yang dengar pun kabulkan pertama. Selalu aku berharap tak tularkan penyakit hina ini. Aku takut. Tuan puanku tak lagi muda. Terlebih puan yang miliki warisan gula darah tak normal layak insan lain. Aku sudah tujuh belas saat itu. Jelas-jelas tahu bahwa covid semakin tak tahu karuan pada yang miliki sakit bawaan.

Tak sadar aku bangun saat fajar. Dengan mata sembab dan hidung merah tomat. Batukku masih perih. Dada sedikit reda dari sesak. Tapi kepala belum juga reda muntahkan segala hal buruk dalamnya.

Jam tunjukkan pukul Sembilan pagi saat itu. Cerah. Matahari ada, sinarnya terang.

"Al? Berjemur sini" panggil tuan puan dari depan rumah saat itu.

Aku duduk di kursi tersedia. Beberapa insan lewat tak jarang jalan menjauh. Sediakanku tatapan takut pada hari itu. Mungkin orang-orang lihat pakai indra lebihnya banyak virus dekapku dari belakang.ada beberapa pula lewat sambil tunjukkan senyum prihatin. Memang ku patutlah diberi itu, ku akui.

Dua puluh tiga menit berjalan, puan tiba tiba berlari kecil masuk kerumah.

"Mungkin lupa matikan kompor?" ucapku pada tuan yang selalu setia dampingiku.

Satu menit,

Tiga menit,

Lima menit,

Tak kunjung muncul kembali.

Spontan aku berdiri. Ajak tuan sudahi sesi akrab dengan mentari pagi ini.

"Mam?" panggilku bergetar. Firasatku tak baik.

Aku telurusi tiap ruangan layaknya rutinitas pulang sekolah dulu. Sampai aku temukannya.

Aku temukannya memeluk dirinya sendiri diatas Kasur. Dibalut selimut tebal yang aku tahu itu bkan kebiasaannya. Puan tak doyan selimut tebal. Apalagi matahari hari ini sedang terik-teriknya. Ada apa? Tuan mendahuluiku. Ya, karena aku sejak tadi masih terpatung di ambang pintu. Tak kuasa kuasai otak.

"Kenapa?" tanya tuan pada puan pemenang hatinya. Ia tanyakan pertanyaan klise. Dengan suara yang lembut sekali, benar-benar lembut. Kalahkan alunan Claire De Lune kesukaanku yang selama ini aku nobatkan sebagai alunan paling lembut tersimpan di kamusku. Memang suaranya terdengar lembut. Tapi disana ia sembunyikan kedua tangannya yang bergetar hebat dibalik tulang belakang.

Puan yang ditanya tak menjawab. Tubuhnya semakin gelisah. Ia produksi banyak keringat, sungguh banyak. Tapi keringat dingin. Kaki nya kaku dibalik selimut. Dingin sekali. Bibirnya bergetar. Giginya saling tekan. Nafas pun tak tahu aturan.

Aku lari untuk ambilkan satu gelas air hangat dari dapur. Tak lupa satu pasang kaus kaki kesayangannya. Puan sering bilang bahwa kaus kaki berbahan rayon ini adalah yang paling pintar hangatkannya.

Setelah puan tenang, tuan tenggelam dalam lamunan. Menatap lurus keluar jendela dengan tatapan kosong tak tenang. Ingin rasanya aku bilang "semua akan baik saja" tapi aku urungkan. Karena pun aku ragu. Aku tak begitu percaya pada kalimat itu. Sebab pada nyata, tak ada yang akan baik saja.

Rencana kami yang akan swab pada hari itu seketika dibuat lupa. Seakan tuhan belum mau aku temukan tenang.

Aku menangis lagi, persetan dengan kepala yang aku tahu akan semakin perih. Ternyata benar. Sakitku menular. Aku kecewa pada Tuhan. Tak hanya tuhan, tapi seluruh yang insan Tuhankan. Salahku apa di kehidupan sebelumnya? Apa ini dendam dari semut-semut yang tak sengaja aku injaknya? Apa ini sumpah jelek dari segala macam sumpah yang ada padanya?

Dan hari itu, merupakan kali pertama aku dengan bajingannya tampar diriku, yang paling keras.

Andai dinding kamarku bisa bicara, mungkin ia akan rutuki. Andai meja belajarku yang terdiam di pojok kamar bisa berlari, mungkin ia akan hampiri. Andai jam dindingku bisa memukul, mungkin ia akan ikut pukuli.

Tangisku lanjut, enggan sudahi.

Semesta belum kenyang siksa aku waktu itu. Pada hari kedua mama terbaring menggigil, papa demam. Demam yang paling demam.

Aku tak tahu harus lakukan apa lagi pada saat itu. Sebelumnya aku mengaku aku sudah tujuh belas, tapi entah mengapa otak remaja ku hanya bisa produksi air mata. Ironis. Aku tak tahu pula doa apa lagi yang harus aku panjatkan setelah ribuan doa yang tak kunjung di-iya-kan.

Lelah, marah, menyerah. Tiga kata paling cocok deskripsikanku saat itu.

Setiap pagi puan keluarkan isi perutnya. Padahal belum ia isi apa-apa. Setiap malam tuan keluarkan kalimat anehnya. "Al, kalau papa gak ada-" begitu awal pembicaraan ditengah lengangnya beberapa malam akhir Juni hingga awal Juli lalu.

--

Mau aku ceritakan puncaknya? Puncaknya terjadi pada malam ketujuh Juli, satu bulan sebelum bulan kehadiran puan paling indah di bumi. Tak sampai aku dibuat kehilangannya, hanya hampir. Tolong setia sampai bagian akhir, ya?

--

Pada malam itu, pukul sepuluh hampir sebelas, batuk dan sesakku sudah jauh mereda. Tuan tidak lagi meracau seenaknya. Tapi puan, ia tak kunjung membaik, demi semesta. Semua lakukan rutinitas baru nya saat itu. Puan tertidur lemah dengan selimut tebal memeluknya ramah. Tuan damping puan, layak janjinya. Dengan sorot prihatin yang ia sembunyi, sebab takut aku pandangi. Sedang aku,aku duduk sendiri. Mendadak jadi si pemerhati tak tahu diri.

Saat sedang tenggelam dalam pikiran, padahal belum sampai dasar. Pada pandanganku yang memudar, aku lihat tuan puan saling gelisah.

"Kenapa mam?"

"Al, tolong bawakan tiga bantal!" seru tuan yang mulai tunjukkan khawatirnya.

Aku lemas. Sungguh lemas. Lemas yang tak pernah lekas.

"Cepat Al!"

Aku antarkan bantal sekaligus segala mantra yang kuhafal.

"Sesak mam?" Puan anggukkan kepalanya dengan deru nafas tak masuk tempo

Aku dan Tuan panic. Batin kami saling memerangi. Enggan ditinggal pergi sang penghidup hati. Papa bergegas pergi ambil pengukur kadar oksigen di rumah kerabat dengan terburu. Tak peduli bahwa ia pun sedang sakit. Ia lari keluar tidak pakai kain tambahan penghalau dingin. Hanya nyawa terselamatkan yang ia ingin.

Aku hubungi dokter segera, katanya aku harus tenang. Konyol. Padahal bukan aku yang butuh penenang.

"Coba tensi darah mama berapa? Suhu badan berapa? Nanti ibu jadwalkan besok swab ya"

"Tensi darah 133 per 73, suhu badan 40,8"

Dokter disana nampak terdiam mematung, entah apa yang lewat dipikirannya.

"Banyak minum, cepat tidur. Besok sepagi mungkin ibu jadwalkan"

Aku seperti biasa, menangis. Tak henti. Tak dapat aku sangka malam terburukku datang secepat ini. Mungkin nanti ada lagi, tapi tolong tidak lagi kalau aku boleh menawar.

Aku tangisi kesalahanku yang bisa-bisanya tularkan benalu neraka ini. Aku tangisi tiap pepatah tuan puan yang sering aku abai. Aku tangisi ucapan puan beberapa hari lalu yang selalu terdengar dalam sunyi. Saat sedang aku temani ia makan siang dengan lemah, puan bicara,

"Al, sebenernya mama gak apa-apa kalau harus mati. Mama udah ikhlas. Tapi mama gak tega harus ninggalin Alma sama papa. Mama suka kepikiran, Alma sama papa belum siap ditinggalin mama"

Dialog itu ditabrak halus oleh suara papa yang berasal dari racauan kacau malam dua Juli saat itu.

"Kalau papa udah gak ada, harus baik-baik ya."

Tangisku sungguh semakin pecah. Sungguh aku belum dan tidak akan pernah siap. Ditengah malam yang entah mengapa sangat dingin itu, aku rapalkan sekali lagi. Berharap didengar oleh siapapun yang Maha Mendengar.

"Tuhan, kumohon dengarkan. Tuhan, tolong ambil apapun dariku, aku tidak peduli. Tapi tolong jangan bawa tuan pun puan paling aku sayang. Tuhan, atau siapapun yang ada disana, aku tidak meminta hal selain ini. Tolong tuhan, jangan ambil mereka. Setidaknya tidak sekarang, Tuhan. Kumohon, berbaik hati lah. Ambil apapun, bahkan sahabat-sahabatku, Tuhan. Tolong"

Malam itu sungguh kulewati dengan hati tak tenang. Aku terbangun satu jam sekali untuk melihat keadaan puan. Tak jarang terbangun ulah batuknya yang terdengar sesak. Bangunku hanya untuk isi ulang botol minumnya, kusisipkan doa pada tiap-tiap air yang mengisi penuh botol itu. Tak lupa aku amati, ini agak konyol tapi.

Aku amati apakah puan masih bernafas atau tidak.

Tak lupa aku perhati tuan yang setia tertidur damai disebelah puan.

"Syukurlah, masih miliki nyawa". Batinku di tiap satu jam sebelum terbangun lagi dan lakukan hal yang sama tanpa ada yang namanya bosan. Seakan aku belum pernah lakukan pada jam-jam sebelum itu.

Keesokannya, kami semua berangkat ke pusat kesehatan masyarakat terdekat. Untuk lakukan swab, harap hasil yang-

Sejujurnya, tanpa swab pun kami sudah miliki hasilnya. Diberi tahu oleh batin dan kawanannya.

Dan benar. Terpampang dua garis nyata merah pada hasil swab puan. Ya, hanya puan. Tuan aman, dan aku? Masa positifku sudah habis. Kata dokter hanya butuh isolasi hingga masa positif puan habis.

Semua orang tahu aku tularkan orang yang harusnya aku paling tidak tularkan. Tak sedikit salahiku, bahkan beberapa dari populasi darahku sendiri.

"Alma sih"

"Kenapa gak cepet-cepet di swab sih lagian?"

"Mau nunggu sampai kapan?"

"Kenapa gak bilang dari awal?"

"Ngapain harus disembunyiin? Biar apa?"

Sungguh, ingin kutamparnya satu-satu. Tapi karena satu darah katanya harus bersatu, jadi kuurungkan niatku. Aku selalu diam setiap terima hal busuk bak sampah serak tenan macam itu. Persetan dengan mereka yang semakin anggap aku tak tahu diri.

Isolasi mandiri kami jalani dengan sebagaimana mestinya. Kami terima banyak bantuan pula dari kerabat dan lainnya. "Terima kasih banyak" adalah kalimat yang sering aku ucapkan saat mengambil apapun yang tergantung rapi pada gerbang rumah kami.

Berjemur tetap kami lakukan. Pernah sekali aku dengar puan berbincang dengan seorang berhati indah yang menghampiri.

"Ibu, gak takut sama saya?"

"Ngapain harus takut, bu? Sama-sama manusia"

Terukir indah senyuman dari balik masker yang puan pakai selalu. Senang rasanya lihat ia tersenyum walau dari jauh dan cepat lalu.

Tuan sudah mulai bersemangat seperti sebagaimana layaknya tuan yang aku kenal dalam delapan belas tahun terakhir saat ini.

Aku sudah mulai miliki harap bahwa semua akan baik saja, sebaik yang kami harap. Aku juga sudah mulai tidak menangis penat setelah dua minggu akrab dengan mata sembab dan hidung tomat. Sahabat-sahabatku juga masih setia temani hingga saat ini padahal telah aku tumbalkan pada Juli lalu. Maaf ya delapan hidup dan mati ku di saval.

Sejak Juli lalu, aku, tuan, dan puan miliki tekad untuk tetap sama-sama, bagaimanapun kenyataannya. Masih dikasih hidup setelah lewati malam yang penuh sesak lengang dan tangis meriang adalah untung yang paling untung dari segala untung.

Untuk siapapun yang saat itu dengar rapalanku pada malam yang aku kira akan berakhir saat itu juga, terima kasih. Sungguh terima kasih. Seluruh sayang dari alam raya menyertai. Terima kasih, banyak-banyak.

--

Untuk teman-teman yang sedang berjuang, aku sungguh rasakan bagaimana rasanya. Mungkin kata semangat sudah basi di telinga, ya? Jadi aku harap apa yang kamu harap di tiap-tiap malam segera di-iya-kan dengan yang paling baik, ya?

Untuk lainnya yang telah mendahului dan saksikanku dari atas sana, yang sedarah maupun tidak, semoga tempat terbaik sudah tersedia. Jangan tunggu aku, tuan, dan puan. Kita benar akan habiskan waktu hingga paling akhir. Jangan tunggu kami untuk sampai di penjejakkan selanjutnya. Silahkan pergi duluan, kita akan menyusul.

Untuk pembaca yang sampai pada kalimat ini, demi posseidon yang masih dan tetap akan melegenda, aku senang akan setiamu membaca. Aku senang kisah yang sengaja aku kubur lama-lama pada akhirnya semua akan tahu juga. Kuharapkan kamu selalu bahagia juga sehat. Kuharapkan kamu selalu indah seperti kamu saat ini. Tetap setia pada segala yang kamu kehendaki, ya?

--

"Terima kasih telah bertahan" ucapnya pada puan tanpa keluh.

"Terima kasih selalu dampingi" balasnya pada tuan tanpa kesah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun