"Tuhan, dewa, posseidon, semesta, siapapun disana. Tolong hentikan padaku. Jangan pindah pada yang lain"
Terus aku panjatkan doa layak tadi pada siapapun yang dengar pun kabulkan pertama. Selalu aku berharap tak tularkan penyakit hina ini. Aku takut. Tuan puanku tak lagi muda. Terlebih puan yang miliki warisan gula darah tak normal layak insan lain. Aku sudah tujuh belas saat itu. Jelas-jelas tahu bahwa covid semakin tak tahu karuan pada yang miliki sakit bawaan.
Tak sadar aku bangun saat fajar. Dengan mata sembab dan hidung merah tomat. Batukku masih perih. Dada sedikit reda dari sesak. Tapi kepala belum juga reda muntahkan segala hal buruk dalamnya.
Jam tunjukkan pukul Sembilan pagi saat itu. Cerah. Matahari ada, sinarnya terang.
"Al? Berjemur sini" panggil tuan puan dari depan rumah saat itu.
Aku duduk di kursi tersedia. Beberapa insan lewat tak jarang jalan menjauh. Sediakanku tatapan takut pada hari itu. Mungkin orang-orang lihat pakai indra lebihnya banyak virus dekapku dari belakang.ada beberapa pula lewat sambil tunjukkan senyum prihatin. Memang ku patutlah diberi itu, ku akui.
Dua puluh tiga menit berjalan, puan tiba tiba berlari kecil masuk kerumah.
"Mungkin lupa matikan kompor?" ucapku pada tuan yang selalu setia dampingiku.
Satu menit,
Tiga menit,
Lima menit,