"Ke dokter ya?"
"Besok"
"Jangan besok besok. Harus diperiksa kalau lebih dari tiga hari. Takut ada apa-apa di dalam"
Seperti yang aku bilang tadi, berhubung sudah janji pada Tuhan aku akan jadi yang paling penurut, maka aku turut. Aku duduk pada bangku tengah mobil yang dikemudi tuan punggung keluarga. Terlihat dari spion tengah mata nya yang abu sendu. Lekukan hidung tajam yang kata orang diturunkan padaku. Dahi juga tepi mata yang sisipkan keriput tapi suka dipandang tak takut.
Aku dituntun si tuan kebal rasa dengan gagah. Ia tungguiku dengan setia, ia beri ku minum yang masih saja pahit sampai aku mengumpat depan yang berseragam putih.
"Normal pak. Bukan DBD juga. Nanti saya resepkan obat pereda demam ya? Kalau demam masih berlangsung lima hari kedepan, mohon kembali lagi kesini"
"Baik, terima kasih ya dok"
Bukan dapat arah terang, aku malah temu karat parang. Selepas pulang dari rumah yang terlalu umum jika dipanggil rumah itu, aku terus konsumsi pil putih tak tahu dirasa. Demam mereda pada hari keempat. Tapi mulai sesak tak tahu tempat. Batuk kering padahal minum sering. Mulai pula flu pada hari sama.
Lengkap sudah gejala yang selama ini aku hindari. Semakin dipikirkan semakin sakit yang dipikiran. Aku cari segala informasi tentang hal yang selama ini kusimpan dendam.
"Pakai masker, jangan keluar kamar. Besok kita cari tempat swab"
Aku lagi-lagi turut. Diam dalam kamar, pikirkan hal aku tak duga akan dinyatakan. Mulai malam itu, tangisku rutin. Ada selalu pikiran aneh singgah. Terlebih kalau aku tak lelap pukul sembilan setengah.