Penilaian ulama terhadap perawi hadits riwayat Imam ibn Majah : Muhammad ibn Abdillah ibn Yazid dinilai oleh Imam Abu Hatim ar-Raziy dalam al-Jarh wa at-Ta'dil dengan ungkapan Shoduq Tsiqoh (7/308); Sufyan dengan al-Kunyah Abu Muhammad termasuk perawi Imam Bukhori dan Imam Muslim, dan Imam Ibn Hajar al-Asqolani memberi penilaian beliau sebagai sosok Tsiqoh Hafizh dalam kitab At-Taqrib (1/245); Abu az-Zinaad termasuk perawi Imam Bukhori dan Imam Muslim, al-Kirmaniy mengungkapkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengutarakan bahwa Sufyan menilai Abu az-Zinad sebagai Amirul Mu'minin Fi al-Hadits (al-Jarh wa at-Ta'dil, 5/49); al-A'roj dinilai oleh Imam Ibn Hajar al-Asqolani dalam at-Taqrib dengan ungkapan Tsiqoh Tsabit 'Aalim (2/352).
Dengan demikian hadits ini terkategori maqbul (dapat diterima) dan dapat pula dijadikan sebagai hujjah.[2]
- Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu
Dari hadis sebelumnya telah jelas akan konsep kepemilikan dalam islam namun islam juga tetap mengakui kepemilikan pribadi atau individu. Kepemilikan pribadi diakui dalam batas-batas tertentu yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengakui pendapatan yang diperoleh secara tidak sah. Al-Qur’an juga mengakui adanya hak milik pribadi termaktub dalam Quran Surat an-Nisâ’ ayat 7.
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا ﴿النساء:٧﴾
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan
Hak memiliki harta dibolehkan selama digunakan dalam batas-batas kedudukan manusia sebagai khalifah Allah. Ungkapan ini cukup beralasan karena adanya prinsip dasar ekonomi dalam Al-Qur‟an bahwa Allah adalah pemilik yang hakiki.