Mohon tunggu...
Salam Likum
Salam Likum Mohon Tunggu... -

seorang anak manusia yang senantiasa ingin belajar dan menggapai ridho Ilahi....

Selanjutnya

Tutup

Money

Sistem Ekonomi Islam

20 Juni 2015   12:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:43 2969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 

Ekonomi Islam sebagai sebuah Sistem Ekonomi

 

Nama          : M. Nidaussalam

KEUANGAN PERBANKAN SYARI’AH

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA - SEMESTER GANJIL

2014

 

 

 

Abstraksi

 

Sesungguhnya  ilmu ekonomi Islam sudah sangat kokoh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Dan dalam prakteknya juga memperlihatkan kemajuan yang sangat signifikan. Bahkan sebagai sebuah ilmu, maka ekonomi Islam lebih kokoh, lebih komprehensif dan lebih baik dari ekonomi konvensional. Hal ini karena ekonomi Islam secara sumber rujukan lebih lengkap, Ekonomi Islam memadukan ayat-ayat Qauliyah yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah dengan ayat-ayat Kauniyah berupa kajian empiris yang menghasilkan  ilmu modern.   Sedangkan ilmu ekonomi konvensional tidak menerima ayat  qauliyah atau wahyu yang menyebabkan rapuhnya ekonomi konvensional.

Namun demikian, sebagai ilmuwan, kita harus tetap  kritis konstruktif, terhadap kekurangan dan kelemahan ekonomi Islam, baik dalam tataran ilmu maupun praktek. Dan para ilmuwan dituntut untuk terus mengembangankan ekonomi Islam berbasis epistemologi dan metodologi Islam. Dalam hal ini pentingnya mengkaji ulang ekonomi Islam sebagai sebuah landasan makro dari teori ekonomi Islam yang berlandaskan pada ayat-ayat kauniyah dan hadis nabawiyah.

Ekonomi islam bertujuan untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahtraan bagi setiap individu yang membawa mereka kepada kebahagiaan di dunia akhirat. Dengan demikian, perhatian utama ekonomi islam adalah pada upaya bagaimana manusia meningkatkan kesejahteraan materialnya yang sekaligus akan meningkatkan kesejahteraan spritualnya. Begitu pun sistem ekonomi Islam sebagai kepanjangan dari sistem Islam secara komperehensif tentu saja karakteristiknya tidak jauh berbeda dengan sistem Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. PENDAHULUAN

Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah S.W.T melalui perantara-Nya yaitu Nabi Muhammad S.A.W merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin yang mengikat pemeluknya di setiap zaman dan setiap waktu. Maka menjadi wajar adanya apabila agama yang mengatur keseluruhan tindak dan perilaku ummat pemeluknya juga mengatur tentang permasalahan ekonomi.

Ekonomi islam sebagai sebuah alternative dalam lingkup syariat islam memiliki tujuan yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah). Dalam hal bahwa ekonomi yang Islam tawarkan bukan merupakan sebuah bagian yang parsial melainkan sebuah sistem yang menyeluruh (syumul) yang terbagi dalam hal sistem produksi, sistem distribusi maupun sistem konsumsi.

Ekonomi islam bertujuan untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahtraan bagi setiap individu yang membawa mereka kepada kebahagiaan di dunia akhirat. Dengan demikian, perhatian utama ekonomi islam adalah pada upaya bagaimana manusia meningkatkan kesejahteraan materialnya yang sekaligus akan meningkatkan kesejahteraan spritualnya.

Sebagai sebuah ajaran agama samawi maka agama Islam turun besrta tuntunan yang merpakan khobar i’tiqody yaitu Al-Quran Al karim dan As-sunnah nabawiyyah. Dari keduanya ditemukan sumber-sumber Islam baik syariah, aqidah serta Akhlaq. Dimana ekonomi islam juga merujuk pada kedua sumber tersebut dalam prinsip maupun prakteknya.Pada ranah hukum, keamanan hidup bermasyarakat menjadi pondasi awal terhadap pelarangan semua tindakan kejahatan. Islam menetapkan aturan qisos, hudud, dan semua bentuk hukuman untuk menjaga kestabilitasan umat Muslim dalam kehidupannya.

Salah satu dari permasalan penting lainnya yang menyangkut kehidupan umat manusia adalah tentang ekonomi. Islam telah menjelaskan beberapa aturan dalam permasalah ekonomi. Semua harta kepemilikan sangat diakui dalam Islam, bagaimana pembagian awal terhadap harta kekayaan serta cara pemanfaatannya semua sudah diatur secara cantik oleh Islam. Permasalah pasar serta semua hal yang berkaitan dengannya menjadi perhatian penting, karena dari pasar semua kebutuhan masyarakat terpenuhi. Jika harga pasar stabil, maka ekonomi rakyat tidak terjadi permasalahan, namun sebaliknya, jika harga pasar labil atau terjadi banyak kecurangan maka bisa dipastikan keadaan masyarakat akan terganggu.

Ulama-ulama Islam konteporer mendalami lebih dalam tentang semua permasalahan perekonomian Islam dengan merujuk kembali pada dalil Qur`an, sunah, atsar para Sahabat juga dari beberapa yang tertera di kitab-kitab turost. Seperti larangan riba, ihtikar, tadlis, ghoror, talaqi rukban,taisir, pensyariatan bai sorf, salam, ribh, syirkah, mudorobah, murobahah. Semua berlandaskan mu`amalat yang bolehkan Islam serta banyak disinggung dalam buku-buku Fikh Klasik seperti bai`, ijaroh, rohn, wakalah, kifalah, dhoman dan lainnya. Kemudian disesuaikan dengan pemasalahan ekonomi pada zaman modern seperti sekarang ini juga menemukan penyelesaian dari berbagaipemasalahan yang ada.

 

  1. PEMBAHASAN

M.A. Manan (1992:19) di dalam bukunya yang berjudul “Teori dan Praktik Ekonomi Islam” menyatakan bahwa ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah ekonomi rakyat yang di ilhami oleh nilai-nilai islam.[1] Sementara itu, H. Halide berpendapat bahwa yang di maksud dengan ekonomi islam ialah kumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang dii simpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah yang ada hubungannya dengan urusan ekonomi (dalam Daud Ali, 1988:3).

Sistem ekonomi islam adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang di simpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang di dirikan atas landasan dasar-dasar tersebut yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan masa.

 

  1. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam:
  2. Berbagai sumber daya sebagai pemberian atau titipan dari Allah SWT.

Sumber daya dipandang sebagai amanah Allah kepada manusia, sehingga pemanfaatannya haruslah bisa dipertanggungjawabkan diakhirat kelak. Implikasinya adalah manusia harus menggunakannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Dengan dalil hadis berikut ini

 

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ اللُّؤْلُئِيُّ، أَخْبَرَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ، عَنْ حِبَّانَ بْنِ زَيْدٍ الشَّرْعَبِيِّ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَرْنٍ.ح، حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو خِدَاشٍ، وَهَذَا لَفْظُ عَلِيٍّ، عَنْ رَجُلٍ مِنِ الْمُهَاجِرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ ثَلَاثًا، أَسْمَعُهُ يَقُولُ: " الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّار"

Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api

(Hr. Abu Daud, Sunan Abu Daud, 2/596 - 952)

Sanad Perawi

Penilaian terhadap para perawi hadits riwayat Imam Abu Daud : 'Ali ibn Ja'di dinilai oleh Imam Ibn Hajar al-Asqolani dalam at-Taqrib sebagai Tsiqoh Tsabit (2/398); Hazir ibn Utsman dinilai Imam Abu Hatim ar-Raziy dalam al-Jarh wa at-Ta'dil dengan ungkapan Hasan al-Hadits, dan beliau juga mengatakan tidak diketahui ada orang di Syam yang lebih Tsabit dari Hazir ibn Utsman (3/289);

Hibban ibn Zaid asy-Syar'abiy dengan nama al-kunyah Abu Khidaasy dimasukkan oleh Imam ibn Hibban sebagai perawi tsiqoh dalam kitab ats-Tsiqoh (4/181) ; Musaddad dengan nama al-Kunyah Abu al-Hasan dinilai oleh Imam al-'Ijliy dalam kitab ats-Tsiqoh sebagai perawi yang tsiqoh (2/272); 'Isa ibn Yunus dengan al-Kunyah Abu al-'Amru dinilai oleh Imam ibn Hajar al-Asqolani sebagai tsiqoh ma'mun dalam kitab at-Taqrib (2/441).

Hadits ini tidak menyebutkan nama sahabat yang dimaksud, namun tidak mengurangi keshohihan hadits yang diriwayatkan oleh Imam abu Daud, sehingga bisa dijadikan sebagai hujjah.

Kemudian disambung juga dengan hadis ini

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: " ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ: الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ"

"Tiga hal yang tidak boleh dihalangi (dari manusia) yaitu air, padang dan api " (Hr. Ibn Majah, Sunan ibn Majah, 3/177 - 606)

 

 

 

 

Penilaian ulama terhadap perawi hadits riwayat Imam ibn Majah : Muhammad ibn Abdillah ibn Yazid dinilai oleh Imam Abu Hatim ar-Raziy dalam al-Jarh wa at-Ta'dil dengan ungkapan Shoduq Tsiqoh (7/308); Sufyan dengan al-Kunyah Abu Muhammad termasuk perawi Imam Bukhori dan Imam Muslim, dan Imam Ibn Hajar al-Asqolani memberi penilaian beliau sebagai sosok Tsiqoh Hafizh dalam kitab At-Taqrib (1/245); Abu az-Zinaad termasuk perawi Imam Bukhori dan Imam Muslim, al-Kirmaniy mengungkapkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengutarakan bahwa Sufyan menilai Abu az-Zinad sebagai Amirul Mu'minin Fi al-Hadits (al-Jarh wa at-Ta'dil, 5/49); al-A'roj dinilai oleh Imam Ibn Hajar al-Asqolani dalam at-Taqrib dengan ungkapan Tsiqoh Tsabit 'Aalim (2/352).

Dengan demikian hadits ini terkategori maqbul (dapat diterima) dan dapat pula dijadikan sebagai hujjah.[2]

 

  1. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu

Dari hadis sebelumnya telah jelas akan konsep kepemilikan dalam islam namun islam juga tetap mengakui kepemilikan pribadi atau individu. Kepemilikan pribadi diakui dalam batas-batas tertentu yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengakui pendapatan yang diperoleh secara tidak sah. Al-Qur’an juga mengakui adanya hak milik pribadi termaktub dalam Quran Surat an-Nisâ’ ayat 7.

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ  نَصِيبًا مَفْرُوضًا  ﴿النساء:٧﴾

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan

Hak memiliki harta dibolehkan selama digunakan dalam batas-batas kedudukan manusia sebagai khalifah Allah. Ungkapan ini cukup beralasan karena adanya prinsip dasar ekonomi dalam Al-Qur‟an bahwa Allah adalah pemilik yang hakiki.

Konsep hak milik pribadi dalam Islam sangat unik. Dan dalam hal kepemilikan ini, Islam mengatur ada 8 syariat yang mengatur hal milik pribadi, yaitu:

  1. Pemanfaatan harta benda secara terus menerus
  2. Pembayaran zakat sebanding dengan harta yang dimiliki
  3. Penggunaan harta benda secara berfaedah
  4. Penggunaan harta benda tanpa merugikan orang lain
  5. Memiliki harta benda yang sah
  6. Penggunaan harta benda tidak dengan cara boros atau serakah
  7. Penggunaan harta benda dengan tujuan memperoleh keuntungan atas haknya
  8. Penerapan hukum waris yang tepat dalam islam[3]

Adapun dasar kepemilikan individu berdasarkan atas asas tidak adanya kemadharatan atas kepemilikan tersebut bagi kehidupan masyarakat.

 

  1. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.

Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam, sebagaimana termaktub dalam ayat Al-Quran

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS 4:29).

Islam mendorong manusia untuk bekerja dan berjuang untuk mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Dan hal ini dijamin oleh Allah bahwa Allah telah menetapkan rizki setiap makhluk yang diciptakan-Nya.

Selain itu diriwayatkan pula menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari As-Zubair bin Al-‘Awwam, Rasulullah SAW bersabda:[4]

 

حَدَّثَنَا مُوسَى، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ ـ رضى الله عنه ـ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ "‏ لأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ ‏"‏‏.

    

Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Hisyam dari bapaknya dari Az Zubair bin Al 'Awam radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya".

 

  1. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja.

Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh segelintir orang-orang kaya, dan harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Bahkan dalam salah satu hadis diriwayatkan bahwa salah satu tanda akan datangnya hari kiamat adalah orang yang punya harta bakhil dengan hartanya, orang yang berlimu bakhil dengan ilmunya, orang yang terampil atau berpengalaman bakhil dengan keahliannya.

 

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

 

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.(QS: Al-Hasyr Ayat: 7)

 

  1. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.

Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya dialokasikan untuk kepentingan orang banyak Prinsip ini didasari oleh hadis Rasulullah yang di awal disampaikan bahwa masyarakat mempunyai hak yang sama atas air, padang rumput dan api. Kemudian Sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah radhyallaahu ‘anhum berkata :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ، عَنْ فُضَيْلِ بْنِ غَزْوَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ أَنَّ رَجُلاً، أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَبَعَثَ إِلَى نِسَائِهِ فَقُلْنَ مَا مَعَنَا إِلاَّ الْمَاءُ‏.‏ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏"‏ مَنْ يَضُمُّ، أَوْ يُضِيفُ هَذَا ‏"‏‏.‏ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ أَنَا‏.‏ فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى امْرَأَتِهِ، فَقَالَ أَكْرِمِي ضَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ مَا عِنْدَنَا إِلاَّ قُوتُ صِبْيَانِي‏.‏ فَقَالَ هَيِّئِي طَعَامَكِ، وَأَصْبِحِي سِرَاجَكِ، وَنَوِّمِي صِبْيَانَكِ إِذَا أَرَادُوا عَشَاءً‏.‏ فَهَيَّأَتْ طَعَامَهَا وَأَصْبَحَتْ سِرَاجَهَا، وَنَوَّمَتْ صِبْيَانَهَا، ثُمَّ قَامَتْ كَأَنَّهَا تُصْلِحُ سِرَاجَهَا فَأَطْفَأَتْهُ، فَجَعَلاَ يُرِيَانِهِ أَنَّهُمَا يَأْكُلاَنِ، فَبَاتَا طَاوِيَيْنِ، فَلَمَّا أَصْبَحَ، غَدَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏"‏ ضَحِكَ اللَّهُ اللَّيْلَةَ ـ أَوْ عَجِبَ ـ مِنْ فَعَالِكُمَا ‏"‏ فَأَنْزَلَ اللَّهُ ‏{‏وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ‏}‏

Telah bercerita kepada kami Musaddad telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Daud dari Fudlail bin Ghazwan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau datangi istri-istri beliau. Para istri beliau berkata; "Kami tidak punya apa-apa selain air". Maka kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada orang banyak: "Siapakah yang mau mengajak atau menjamu orang ini?". Maka seorang laki-laki dari Anshar berkata; "Aku". Sahabat Anshar itu pulang bersama laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata; "Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ini". Istrinya berkata; "Kita tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk anakku".

Sahabat Anshar itu berkata; Suguhkanlah makanan kamu itu lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu". Ketika mereka hendak menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan lampu dan menidurkan anaknya kemudian dia berdiri seakan hendak memperbaiki lampunya, lalu dimatikannya kembali. Suami- istri hanya menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak makan malam. Ketika pagi harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau berkata: "Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum karena perbuatan kalian berdua".

Maka kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam QS al-Hasyr ayat 9 yang artinya: ("Dan mereka lebih mengutamakan orang lain (Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung").

 

 

  1. Seorang muslim harus takut kepada Allah SWT di hari penentuan di akhirat nanti.

Kondisi ini akan mendorong seorang muslim menjauhkan diri dari hal-hal yang berhubungan dengan maisir, gharar, dan berusaha dengan cara yang batil, melampui batas dan sebagainya. Bahkan Allah SWT berfirman melalui Rasulnya yaitu dengan hadis Qudsi:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ، أَنَّ أَبَا عُشَّانَةَ الْمَعَافِرِيَّ، حَدَّثَهُ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‏ "‏ يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةِ الْجَبَلِ يُؤَذِّنُ بِالصَّلاَةِ وَيُصَلِّي فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلاَةَ يَخَافُ مِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ ‏"‏ ‏.‏

 

Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Salamah dia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari 'Amr bin Al-Harits bahwasanya Abu 'Usysyanah Al-Ma'afiri menceritakan kepadanya dari 'Uqbah bin 'Amir dia berkata; "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Rabbrnu kagum kepada seorang pengembala kambing yang berada di puncak gunung, dia mengumandangkan adzan untuk shalal lalu dia shalat, maka Allah Azza wa Jalla berfirman, "Lihatlah kepada hamba-Ku ini, dia mengumandangkan adzan dan iqamah lalu shalat karena takut kepada-Ku. Aku telah mengampuni hamba-Ku ini dan memasukkannya ke surga."

 

 

Ada banyak hadis berkenaan dengan hal ini, diantaranya

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، قَالَ حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضى الله عنه ـ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ‏ "‏ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ ‏"‏‏.

 

 

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepada saya Khubaib bin 'Abdurrahman dari Hafsh bin 'Ashim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Ada tujuh (golongan orang beriman) yang akan mendapat naungan (perlindungan) dari Allah dibawah naunganNya (pada hari qiyamat) yang ketika tidak ada naungan kecuali naunganNya. Yaitu; Pemimpin yang adil, seorang pemuda yang menyibukkan dirinya dengan 'ibadah kepada Rabnya, seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid, dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah, seorang laki-laki yang diajak berbuat maksiat oleh seorang wanita kaya lagi cantik lalu dia berkata, "aku takut kepada Allah", seorang yang bersedekah dengan menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya, dan seorang laki-laki yang berdzikir kepada Allah dengan mengasingkan diri sendirian hingga kedua matanya basah karena menangis".

 

  1. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab).

Zakat ini merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5 % untuk semua kekayaan yang tidak produktif, termasuk didalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, dan 10 % dari pendapatan bersih investasi.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ حَدَّثَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدِ بْنِ حَيَّانَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ قَالَ تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومُ رَمَضَانَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا فَلَمَّا وَلَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي حَيَّانَ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو زُرْعَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا.

 

Telah menceritakan kepada saya Muhammad bin 'Abdur Rahim telah menceritakan kepada kami 'Affan bin Muslim telah menceritakan kepada kami Wuhaib dari Yahya bin Sa'id bin Hayyan dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah radliAllahu 'anhu;

Ada seorang Arab Badui menemui Nabi ShallAllahu'alaihiwasallam lalu berkata,: "Tunjukkan kepadaku suatu amal yang bila aku kerjakan akan memasukkan aku kedalam surga". Nabi ShallAllahu'alaihiwasallam bersabda: "Kamu menyembah Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan suatu apapun, kamu mendirikan shalat yang diwajibkan, kamu tunaikan zakat yang wajib, kamu mengerjakan shaum (puasa) bulan Ramadhan. Kemudian orang Badui itu berkata,: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, aku tidak akan menambah dari perintah-perintah ini". Ketika hendak pergi, Nabi ShallAllahu'alaihiwasallam bersabda: "Siapa yang berkeinginan melihat laki-laki penghuni surga maka hendaklah dia melihat orang ini". Telah menceritakan kepada kami Musaddad dari Yahya dari Abu Hayyan berkata, telah mengabarkan kepada saya Abu Zur'ah dari Nabi ShallAllahu'alaihiwasallam sepeti hadits ini. (HR. Bukhori: 1310).

Sababul wurud hadis ini ialah Abu Zur’ah berkata: “ada seorang arab badui dari penduduk najd dengan rambutnya tidak teratur dan kusut, hal ini mengisyaratkan bahwa ia berasal dari daerah yang jauh menemui rosulullah lalu ia bertanya: tunjukkan sesuatu amalan yang bila aku kerjakan akan memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkan aku dari neraka. Lalu rosululloh ShallAllahu'alaihiwasallam bersabda kamu: menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun. Kamu mendirikan sholat yang diwajibkan, kamu tunaikan zakat yang wajib, kamu mengerjakan shaum (puasa) bulan Ramadhan. Kemudian orang Badui itu berkata. Kemudian orang itu pergi dan berkata: demi Allah, tidak akan kami tambahi dan kurangkan apa yang anda sebutkan itu. Maka rasulullah SAW bersabda: dia pasti beruntung jika ia menepati janjinya, dan barangsiapa yang berkeinginan melihat laki-laki penghuni surga, maka hendaklah kalian melihat orang itu.

Kualitas hadits ini termasuk kedalam hadits shohih baik dalam sisi sanad maupun matannya. Dikarenakan hadits ini lengkap sanadnya disetiap thobaqot tanpa adanya kecacatan. Hadits ini juga shohih sanadnya dikarenakan banyaknya hadits ini beredar dikalangan masyarakat dengan berbagai versi namun intinya tetap sama, maka hadits ini tergolong hadits mutawatir maknawi.

Hadits ini mengandung hukum bahwa menunaikan zakat hukumnya wajib. Beberapa perintah yang di sabdakan rasulullah seperti hadits diatas termasuk rukun islam yaitu shalat, zakat, dan puasa dan hal itu hokumya wajib menurut ketentuan masing-masing. Alasan lain mengapa hadits ini dikategorikan wajib karena didalam hadits tersebut disebutkan bahwa terdapat kata ”وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ” yang artinya: “dan tunaikan zakat yang wajib”.[5]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

Secara tegas dan jelas hal ini dimaksudkan dalam ekonomi islam meskipun hal tersebut awalnya dilaksanakan secara bertahap sebagaimana tercantum dalam QS 30:39, 4:160-161, 3:130 dan 2:278-279. Dari beberapa ayat tersebut telah banyak di kaji di beberapa tulisan serupa. Maka disini penulis mencoba lebih menegaskan akan dosa dan bahaya akan riba dengan mengutip dari hadis Rasulullah SAW

عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه عن النبي ص.م: الربا ثلاثة وسبعون بابا ايسرها مثل ان ينكح الرجل أمه وان اربى الربا عرض الرجل المسلم (رواه ابن ماجه فحتصر والحاكم بتمامه وصجيح)

Dari Abdullah bin mas’ud r.a dari Nabi SAW beliau bersabda: Riba itu ada 73 pintu. Yang paling ringan diantarannya ialah seperti seseorang laki-laki yang menikahi ibunya, dan sehebat-hebattnya riba adalah merusak kehormatan seorang muslim. (diriwayatkan oleh ibnu majah dengan rigkas dan olah al-hakim selengkapnya dan beliau menilainya sahih.

Adapun yang semakna dengan hadits tersebut terdapat beberapa Hadits. Telah ditafsirkan riba dalam hal merusak nama baik atau merusak kehomatan seorang muslim sama saling mencaci maki.

Dalam Hadits tersebut disebutkan bahwa riba itu bersifat mutlak terhadap perbuatan yang diharamkan, sekalipun bukan termasuk dalam bab ribayang terkenal itu. Penyamaan riba yang paling ringan dengan seseora ng yang berzina dengan ibunya seperti sudah disebutkan tadi karena dalam perbuatan riba itu terdapat tindasan yang menjijikkan akal yang  normal.

Al-Hakim meriwayatkan hadis di atas di dalam Al-Mustadrak dari Abu Bakar bin Ishaq dan Abu Bakar bin Balawaih; keduanya dari Muhammad bin Ghalib, dari Amru bin Ali dari Ibn Abi ‘Adi, dari Syu‘bah, dari Zaid dari Ibrahim, dari Masruq, dan dari Abdullah bin Mas‘ud. Al-Hakim berkomentar, “Hadis ini sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya.”

Al-Minawi menukil di dalam Faydh al-Qadîr, bahwa al-Hafizh al-‘Iraqi berkata (tentang hadits di tas), “Sanadnya sahih.”Adapun al-Baihaqi meriwayatkan hadis di atas di dalam Su‘ab al-Imân dari Abu Abdillah al-Hafizh, dari Abu Bakar bin Ishaq, dari Muhammad bin Ghalib dari Amarah bin Ali, dari Ibn Abi Adi, dari Syu‘bah, dari Zubaid dari Ibrahim, dari Masruq, dan dari Abdullah bin Mas‘ud.

Hadis yang semakna juga diriwayatkan oleh Ibn al-Jarud dalam Al-Muntaqâ; Ibn Abi Syaibah dalam Mushannaf Ibn Abi Syaybah; Abd ar-Razaq dalam Mushannaf Abd ar-Razâq; Abu Nu‘aim al-Ashbahani dalam Ma‘rifah ash-Shahâbah; Ibn Abi Dunya di dalam Dzam al-Ghîbah wa an-Namîmah; dan yang lain.

Makna Hadis ini ialah kata ar-ribâ maksudnya adalah itsm ar-ribâ (dosa riba). Menurut ath-Thayibi, penetapan makna tersebut merupakan keniscayaan agar sejalan dengan makna kalimat: aysaruhâ mitslu an yankiha…. Sedangkan kata bâb[an] maknanya adalah hûban (dosa).

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. Bersabda pula:

«الرِّبَا سَبْعُوْنَ حُوْبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ»

Riba itu (ada) 70 dosa. Yang paling ringan adalah (seperti) seorang laki-laki yang menikahi ibunya sendiri (HR Ibn Majah, al-Baihaqi, Ibn Abi Syaibah dan Ibn Abi Dunya).

Kata hûb[an] artinya adalah al-itsm wa adz-dzunûb (dosa). Kata 73 itu—dalam riwayat lainnya dinyatakan 70, 72 dan 63—tidak menyatakan batasan jumlah tertentu, melainkan menunjukkan arti: banyak jenis dan tingkatannya. Karena iru, hadis di atas bisa dimaknai bahwa dosa riba banyak macam dan tingkatannya. Yang paling rendah adalah seperti dosa seseorang yang menzinai ibunya sendiri.

Bahkan di lain kisah Abdullah bin Hanzhalah menuturkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«دِرْهَمٌ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً »

Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang laki-laki, sementara ia tahu, lebih berat (dosanya) daripada berzina dengan 36 pelacur (HR Ahmad dan ath-Thabrani).

Asy-Syaukani, dalam Nayl al-Awthâr, berkata, Hal ini menunjukkan bahwa riba termasuk kemaksiatan yang paling berat. Sebabnya, kemaksiatan yang menandingi bahkan lebih berat daripada kemaksiatan zina, yang merupakan perbuatan yang sangat menjijikkan dan sangat keji, tidak diragukan lagi, bahwa kemaksitan riba itu melampaui batas-batas ketercelaan.”

Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa riba termasuk kemaksiatan yang paling besar. Hal itu bisa dilihat dari: Pertama, orang yang mengambil riba merupakan penghuni neraka dan kekal di dalamnya (QS 2: 275). Kedua, meninggalkan (sisa) riba dinilai sebagai bukti keimanan seseorang (QS 2: 278). Ketiga, orang yang tetap mengambil riba diindikasikan sebagai seorang kaffâran atsîman; orang yang tetap dalam kekufuran dan selalu berbuat dosa (QS 2: 276). Keempat, orang yang tetap mengambil riba diancam akan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya (QS 2: 279). Kelima, dosa teringan memakan riba adalah seperti berzina dengan ibu sendiri; dan lebih berat daripada berzina dengan 36 pelacur.[6]

 

  1. Tujuan Ekonomi dalam Islam

Segala aturan yang diturunkan Allah SWT dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.

Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:

  1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
  2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
  3. Tercapainya mashlahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa mashlahah yang menjadi puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
    1. keselamatan keyakinan agama ( al din)
    2. kesalamatan jiwa (al nafs)
  • keselamatan akal (al aql)
  1. keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
  2. keselamatan harta benda (al mal)[7]

 

 

 

 

 

  1. Pemanfaatan kepemilikan dalam Islam

Pemanfaatan kepemilikan yang di dapat seorang muslim adalah tata cara seseorang dalam memperlakukan harta miliknya. Pemanfaatan harta dibagi menjadi dua topik yang sangat penting, yakni: Pengembangan harta dan infaq harta.

  1. Pengembangan Harta (al-Tasharuf al-Milkiyah)

Pengembangan harta adalah upaya-upaya yang berhubungan dengan cara dan sarana yang dapat menumbuhkan pertambahan harta. Islam hanya mendorong pengembangan harta sebatas pada sektor riil saja sepert sektor prtanian, industri dan perdagangan. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah Islam tidak mengatur secara teknis tentang budi daya tanaman, atau tentang teknik rekayasa industri, namun islam hanya mengatur pada aspek hukum tentang pengembangan harta. Dalam sektor pertanian misalnya, Islam melarang seorang muslim menelantarkan tanahnya lebih dari tiga tahun, bolehnya seseorang memiliki tanah terlantar tersebut bila ia mengolahnya, larangan menyewakan tanah, musaqah, dan lain-lain. Dalam perdagangan, islam telah mengatur tentang syirkah dan jual beli. Demikian pula dalam hal perindustrian, islam juga meengatur hukum produksi barang, manajemen dan jasa, semisal hukum perjanjian dan pengupahan.

Disisi lain islam telah melarang beberapa aktivitas-aktivtas pengembangan harta, misalnya, riba nasi’ah pada perbankan, dan riba fadhal pada pasar modal. Islam juga melarang aktivitas penimbunan, monopoli, judi, penipuan dalam jual beli jual beeli barang haram dan sebagainya.

 

  1. Infaq Harta (Infaqu al-Mal)

Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan hartanya pada hal-hal yang dilarang oleh hukum syara’, seperti riswah (sogok), israf, tabdzr, dan raraf (membeli barang atau jasa haram), serta mencela keras sikap bakhil. Pelarangan pemanfaatan harta pada jalan-jalan tersebut akan menutup pintu untuk kegiatan-kegiatan tersebut, yang telah terbukti telah menimbulkan apa yang dinamakan pembekakan biaya.

Infaq harta adalah pemanfaatan harta dengan atau tanpa kompensasi atau perolehan balik. Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam mendorong umatnya untuk mengunakankan hartanya untuk kepentingan umat yang lain terutama untuk pihak yang sangat membutuhkan. Sikap sederhana dan Wara’ juga ditekankan dalam perilaku Rasulullah yang harus kita contoh, diantara beberapa anjuran beliau adalah sebagai berikut:

Asma’ binti Yazid RA berkata:

كَانَ كُمُّ قَمِيصِ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إِلَى الرُّصْغِ . رواه أَبو داود والترمذي ، وقال : حديث حسن

“Lengan baju Rasulullah SAW panjangnya sampai pergelangan tangan”. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan).

Hadist di atas menjelaskan bahwasanya bentuk kesederhanaan yang di terapkan oleh Rasulullah adalah dicontohkan dari segi pakaian. Dalam berpakaian , lengan baju rasulullah sampai dpergelangan tangan tidak lebih dari itu. Jikalau kita membuatnya lebih dari itu, maka bisa di anggap berlebihan, karena nanti akan menyebabkan ketidak nyamanan bagi kita yang memakainya.

Hadist Ini di sebut dengan Hadits dha’if , karena ada perawi yang bemama Syahar bin Husyaib. Al Hafizh berkata (dalam kitab At-Taqrib), “la orang yang jujur (Shaduq), tetapi banyak meriwayatkan hadits secara mursal(periwayatan yang disandarkan langsung kepada Nabi SAW). la juga banyak meriwayatkan dengan periwayatan yang meragukan”. Aku katakan (Al Albani), “Syahar adalah orang yang lemah riwayatnya dan buruk hafalannya.”

Rasullullah juga SAW bersabda,

لاَ يَبْلُغُ الْعَبدُ أنْ يَكُونَ منَ المُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأسَ بِهِ ، حَذَراً مِمَّا بِهِ بَأس رواه الترمذي ، وقال : حديث حسن.

Seorang hamba tidak dapat mencapai tingkat taqwa yang sempurna, hingga ia meninggalkan apa-apa yang tidak dilarang karena khawatir terjerumus ke dalam hal yang dilarang (diharamkan) (Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan”).

 

 

 

Sesungguhnya yang halal telah jelas dan yang haram juga telah jelas, dan diantara keduanya ada hal-hal yang menyerupai (meragukan), tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Jadi siapa yang berhati-hati dari syubhat maka akan terjaga agama dan kehormatannya, dan siapa yang terjerumus ke dalam syubhat maka akan terjerumus ke dalam yang haram“.

Hadits ini dha’if, karena ada perawi yang bemama Abdullah bin Yazid, ia di-dha’if-kan oleh jumhur ulama hadits. Al Hafizh berkata (di dalam At-Taqrib) “la adalah orang yang lemah dalam periwayatan hadits”. Meskipun hadits ini dha’if tetapi maknanya mempunyai dasar yang menjiwai tentang wara’ (kesederhanaan) dan menjauhi syubhat, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَأَلَ سَلَمَةُ بْنُ يَزِيدَ الْجُعْفِيُّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟ فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ، ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ، فَجَذَبَهُ الْأَشْعَثُ بْنُ قَيْسٍ، وَقَالَ: «اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ»،

Abu hunaidah (wa’il) bin hadjur r.a. Berkata : salamah bin jazid aldju’fy bertanya kepada rasulullah saw : ya rasulullah, bagaimana jika terangkat diatas kami kepala-kepala yang hanya pandai menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah kau menyuruh kami berbuat? Pada mulanya rasulullah mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka rasulullah saw bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing kewajiban sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kamu tanggung jawabmu. (HR. muslim)

Selain itu Islam tidak hanya mendorong kaum muslim untuk memanfaatkan hartanya dengan kompensasi atau peerolehan balik yang bersifat materi saja, akan tetapi juga mendorong umatnya untuk memperhatikan dan menolong pihak-pihak yang membutuhkan, serta untuk kepentingan ibadah, misalna zakat, nafkah anak dan istri, dorongan untuk memberi hadiah, hibah, sedekah pada fakir miskin dan orang yang memerlukan (terlibat hutang, keperluan pengobatan dan musibah), dan infaq untuk jihad fii sabilillah.

Diantara dorongan Islam dalam melakukan infaq harta tersebut ialah beberapa hal berikut :

  1. Zakat

Zakat merupakan komponen utama kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam. Konsep zakat secara mendasar tidak mengalami perubahan yang signifikan dari waktu ke waktu. Hal yang membedakan hanyalah masalah operasional penghimpunan dan pemberdayaan dana zakat, karena konsep fikih zakat menyebutkan bahwa sistem zakat berusaha untuk mempertemukan pihak surplus muslim dengan pihak defisit muslim. Hal ini dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan defisit muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang defisit (mustahik) menjadi surplus (muzakki).

 

  1. Infak

Infak adalah pemberian kepada keluarga atau kerib (ibu, bapak, anak, paman, dan lainnya), anak-anak yatim, orang miskin, musafir yang kehabisan bekal (ibnu sabil), dan budak-budak yang berusaha untuk memerdekakan dirinya. Hal ini sesuai dengan isi dari Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 215,

يَسۡـــَٔلُوۡنَكَ مَاذَا يُنۡفِقُوۡنَ ؕ قُلۡ مَآ اَنۡفَقۡتُمۡ مِّنۡ خَيۡرٍ فَلِلۡوَالِدَيۡنِ وَالۡاَقۡرَبِيۡنَ وَالۡيَتٰمٰى وَالۡمَسٰكِيۡنِ وَابۡنِ السَّبِيۡلِ‌ؕ وَمَا تَفۡعَلُوۡا مِنۡ خَيۡرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيۡمٌ‏ ﴿۲۱۵

yang artinya, “

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibubapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.”

  1. Sedekah

Secara prinsip sedekah tidak berbeda dengan infak, namun dalam beberapa hadits Rasulullah Saw. memberikan penjelasan bahwa sedekah yang merupakan suatu pemberian kepada orang lain tidak harus dalam bentuk materi, dimana Rasulullah Saw. bersabda,

“Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain,” (HR. Muslim).

Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syariat Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan (wakif), dan bukan pula hak milik nadzir/lembaga pengelola wakaf tapi menjadi hak milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

 

  1. Ciri-ciri Sistem Ekonomi Islam

Agama islam sebagai agama yang memadukan keseluruhan pilarnya maka menjadi wajar terjadi hubungan keterkaitan antara akidah, syariah dan akhlaq yang tidak dapat dipisahkan. Begitu pula sistem ekonomi Islam diantara kesekian poin yang di paparkan di atas maka didapatkan darinya ciri-ciri Ekonomi Islam yang memiliki perbedaan spesifik jika dibandingkan dengan Ekonomi konvensional yang berkembang saat ini yaitu:

  1. Aqidah sebagai substansi (inti) yang menggerakkan dan mengarahhkan kegiatan ekonomi.
  2. Syari’ah sebagai batasan untuk memformulasi keputusan ekonomi
  3. Akhlak berfungsi sebagai parameter dalam proses optimalisasi kegiatan ekonomi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. PENUTUP
  2. Kesimpulan

Sistem ekonomi islam sesungguhnya bukan hanya membahas akan ekonomi Islam praktis layaknya perbankan syariah, asuransi syariah atau lain sebagainya. Hal tersebut hanya merupakan komponen parsial dari sistem ekonomi Islam. Karenanya penting bagi kita mengetahui grand design akan sistem ekonomi islam tersebut sehingga dapat menunaikan kewajiban kita sebagai muslim

Perbedaan sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis tidak hanya pada hal-hal yang bersifat aplikatif. Namun mulai dari falsafahnya sudah berbeda. Di atas falsafah yang berbeda ini dibangun tujuan, norma dan prinsip-prinsip yang berbeda pula. Diantara perbedaan tersebut ialah

Konsep

Kapitalis

Islam

Sumber kekayaan

Sumber kekayaan sangat langka

( scarcity of resources)

Sumber Kekayaan alam semesta dari ALLAH SWT

Kepemilikan

Setiap pribadi di bebaskan untuk memiliki semua kekayaan yang di peroleh nya

Sumber kekayayan yang kita miliki adalah titipan dari ALLAH SWT

Tujuan gaya hidup perorangan

Kepuasan pribadi

Untuk mencapai kemakmuran (Al-Falah), di dunia dan akhirat[8]

 

Dari data tabel diatas, dapat dipahami bahwa Islam mempunyai suatu konsep yang berbeda mengenai kekayaan, semua kekayaan di dunia adalah milik dari Allah SWT yang dititipkan kepada kita, dan kekayaan yang kita miliki harus di peroleh dengan cara yang halal, untuk mencapai Al-falah (makmur dan success) dan Sa’ada Haqiqiyah (kebahagian yang abadi baik di dunia dan akhirat.

 

 

 

Dalam Islam yang kepemilikan usaha, property dan asset lainnya harus didapatkan dengan usaha yang keras untuk mencapai yang nama nya Islamic Legal Maxim, yaitu mencari keuntungan yang sebanyak banyak nya yang sesuai dengan ketentuan dari prinsip prinsip syariah. Yang sangat penting dalam transaksi Ekonomi Islam adalah tidak ada nya unsur Riba (interest) Maisir (judi) dan Gharar (ke tidak pastian) sebab hal tersebut akan memicu terjadinya beberap keharaman transaksi yang mengikutinya.

 

  1. Saran

  Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka untuk itu penulis mengaharapkan banyak saran dari pembaca demi perbaikan yang lebih maksimal sehingga kedepannya dapat semakin menambah khazanah perekonomian syariah yang berlandaskan pada Al- Quran dan As-Sunnah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

An-Nabahan. M Faruq, Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta, UII Press: 2000

Abu Ubaid, Al-Amwal. Gema Insani, Jakarta:2009

Al-Quran digital

http://fathonisukses.wordpress.com/

http://cahayakhilafah.blogspot.com/2012/10/dalam-islam-sda-itu-milik-masyarakat_15.html

http://helmipurwo.blogspot.com/

http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/bersarnya-dosa-riba/

http://sunnah.com/

Misanan, Munrokhim, dkk., Text Book Ekonomi Islam, Yogyakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII)

Mannan, Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1997. hal.65

Mardani, Ayat-Ayat dan Hadits Ekonomi Syariah, 2011, Jakarta, PT. Raja Grafindo Pedrsada

Ridwan, muhtadi, Al-Quran & Sistem perekonomian 2011, cetakan I, Malang, UIN Maliki press

Sami’, Abdul al-Mishri. 2006. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Saqar ‘Athiyah: Al-‘Amal wal Ummal fil Islam, hal. 35

Zahrah, Abu, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994) hal, 26

 

 

 

 

 

[1]Mannan, Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1997

[2] Dalam Islam : SDA itu Milik Masyarakat & Wajib di Kelola Negara Untuk Mensejahterakan Seluruh Masyarakat http://cahayakhilafah.blogspot.com/2012/10/dalam-islam-sda-itu-milik-masyarakat_15.html di akses pada 12 Okt. 14

[3] Mannan, Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. 1997. hal.65

[4] Saqar ‘Athiyah: Al-‘Amal wal Ummal fil Islam, hal. 35

[5] HADITS TENTANG KEWAJIBAN ZAKAT LENGKAP http://helmipurwo.blogspot.com/ diakses pada 12 Oktober 2014

[6] Bersarnya Dosa Riba, http://hizbut-tahrir.or.id/2007/07/02/bersarnya-dosa-riba/ diakses pada 12 Okt. 14

[7] Zahrah, Abu, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994) hal, 26

[8] Fadillah Syafriana. Makalah Perbedaan Sistem Ekonomi Islam Dengan Sistem Ekonomi Kapitalis. Unisula Semarang 2014. http://www.academia.edu/6635834/Perbedaan_Sistem_Ekonomi_Islam_dengan_Sistem_Ekonomi_Kapitalis diakses pada 12 Okt. 14

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun