"Pagi-pagi su bacuci a?", tanya mama itu.Â
"Hhe.. Iya, ibu! Nemu piring di halaman belakang."
"Ho, iya iya. Memang itu piring sengaja dikasih tinggal disana. Supaya orang-orang bisa pakai."
"Oh, iya, Bu! Makasih. ", jawab Nia tersenyum ramah sambil terus menggosok piring, sementara Ratih membilasnya.Â
Mama menjatuhkan ember timba ke dalam sumur lalu menariknya. Diisinya dua jerigen yang ia bawa dengan hati-hati agar tak banyak air yang tertumpah.Â
"Eh, ibu, beta minta maaf, e! Coba ibu dong bacuci disana. Ko disini nanti air cucian masok sumur.", mama memberi saran dengan mengarahkan mulut dan wajahnya ke rimbunan pohon pisang di halaman belakang. Sementara tangannya masih memegang tali timba tanpa katrol.Â
"Oh, iya ibu, maaf! Kami pindah ya..", jawab Nia.Â
Mama itu mengangguk senyum. Nia dan Ratih segera memindahkan cucian piring ke halaman belakang.
***
Kang Arya masih sibuk menanak nasi dengan kastelnya. Setelah tanak, ia ganti kastel dengan panci untuk mendidihkan air, menyeduh susu coklat bubuk yang dibawa Ratih.Â
Kali ini hidangan ditata di atas piring. Tak lagi menggunakan daun pisang. Jangan sampai ada yang menangis lagi hanya karena makan beralaskan daun pisang.Â
"Teman, kita harus makan cepat pagi ini! Jangan kayak kemarin, terlalu siang, cuaca panas mentrang!", Kang Arya memberi ide, sambil menikmati sarapan pagi bersama. Masih dengan nasi, abon ikan dan mie instan.Â