"Eh, stop! Yang benar itu mer-de-ka (huruf e dalam suku kata mer seperti huruf e dalam kata beli. Dan huruf e pada suku kata de seperti huruf e dalam kata ember), bukan mer-de-ka (huruf e seperti dalam kata ember). Coba ulangi!", Nia membetulkan pelafalan anak-anak SD itu.Â
Mereka mengulangi lagu, tapi pelafalan mereka tetap seperti itu. Membuat Nia gemas sendiri. Teman-temannya tertawa dari jauh.Â
"Yah, bapak ibu, beginilah keadaan kami. Seperti inilah kami. Ditambah lagi musim hujan begini, mereka akan lebih sering di rumah. Guru-guru juga akan jarang datang ke sekolah.", Ibu Maria menceritakan keadaan sekolah dan murid-muridnya.Â
"He? Kok bisa, Bu? ", kali ini Bang Ahmad yang bertanya.Â
"Iya, Bapak! Tahu sungai disana to? Kalau hujan,  dia pu air tinggi. Kotong sonde bisa langgar kali. Terlalu bahaya!"Â
Bang Ahmad dan teman-temannya mengangguk. Mereka tenggelam dalam obrolan. Sesekali mereka tertawa dan sesekali terdiam. Sampai tak terasa, hari semakin siang. Panasnya semakin menyengat. Kaos kaki, rok dan celana Ratih mengering tanpa perlu menjemur diri.Â
Saat mereka sedang asik mengobrol, Pak Kato menghampiri.Â
"He, Bapak?"
"Eh, Pak Kato!", Kang Arya menyalami Pak Kato dengan akrab. Diikuti teman-temannya yang lain.Â
"Pak Gusti, maaf beta belum kasih tahu. Beta su siapkan satu rumah di belakang sekolah. Sebentar sore su bisa ditempati."
"Wah, makasih Pak Kato! Kami jadi merepotkan.", jawab Beli Gusti