Beberapa menit kemudian, sinyal terputus. Tak bisa lagi menyambung telepon. SMS pun tertunda. Rupanya sinyal di dekat sungai tak terlalu stabil. Sedangkan sinyal di KCD hanya mampir tiga jam saja, sejak jam sebelas hingga jam dua siang.Â
Panas matahari secara perlahan mulai terasa menyengat, padahal hari masih pagi. Kang Arya dan teman-temannya meneruskan perjalanan. Sampai mereka bertemu sebuah kios, mereka istirahat sebentar.Â
"Permisi!", teriak Kang Arya. Tak ada jawaban.
"Permisi!" Kali ini para bapak guru berirama memanggil pemiliki kios.
Mereka tertawa menyadari bahwa ternyata suara mereka tak cukup modal untuk membentuk sebuah grup vokal amatiran.Â
Seorang nenek keluar dari dalam rumah menemui Kang Arya dan teman-temannya.Â
"Nenek, kami haus. Nenek jual minum ga?", tanya Kang Arya kepada pemilik kios.Â
Sedangkan yang lain, asyik sendiri mengibaskan baju, menghalau panas yang menerpa badan sambil duduk melepas lelah di bangku panjang yang tersedia di kios tersebut.Â
Nenek itu diam tak berkata. Ia masuk ke dalam kios, lalu menyerahkan beberapa minuman rasa buah dari balik ram kawat. Kang Arya membagi-bagikan minuman itu kepada kelima temannya.
"Maaf, Nek! Ada sedotan?", tanya Kang Arya lagi.Â
Nenek itu kembali diam. Ia tak paham perkataan Kang Arya. Kang Arya memperagakan tangannya seakan sedang menyedot minuman. Nenek itu masih terdiam, tak paham.Â
Seorang anak perempuan dari dalam rumah datang menghampiri. Sepertinya anak itu sudah SMP. Badannya kecil, tapi tinggi.Â