"Maaf, Bapak! Yang di foto itu anak Bapak?", Ratih menunjuk foto seorang pemuda berpakaian toga. Tak semua anak Timor seperti bayangan Ratih. Ada juga yang berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi.Â
"Iya iya. Itu beta pu anak. Baru wisuda bulan kemarin. Dia kuliah di perguruan tinggi Katolik di Kota Kupang."
Ratih memerhatikan foto 10R yang ditempel di dinding rumah. Nampak seorang pemuda berpakaian toga diapit Pak Yakob dan istrinya. Orang tuanya pasti bangga berhasil menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi.Â
"Na kalau ada acara penting, kotong selalu pakai tenun ikat."
"Tenun ikat?", tanya Ratih.Â
"Iya, yang ada di foto itu. Sebentar beta ambil."
Pak Yakob masuk ke kamar dan mengambil selendang berwarna coklat kemerahan, bercorak warna putih dengan corak khas Amarasi. Seperti corak buah pinang iris.Â
"Ini tenun ikat. Kain ini mahal. Bisa 100.000 sampai 600.000 per lembarnya. Ada juga yang satu juta. Tergantung motifnya. Na ini khas Amarasi, dia pu warna merah seperti pinang.", Pak Yakob menyerahkan kain tenun ikat kepada Ratih. Bukan untuk diberikan, hanya sekedar ditunjukkan.Â
"Wah, Bang Jacky! Ayo kalungkan di leher. Biar saya foto!", Kang Arya bersemangat mengabadikan foto kain tenun ikat.Â
Ratih menyerahkan kain tenun ikat kepada Bang Jacky untuk dikalungkan di lehernya. Bang Jacky menangkupkan kedua tangan di dadanya. Dia tersenyum saat ada aba-aba satu dua tiga, cekrek!
***
Kang Arya dan teman-temannya pamit pulang. Pak Yakob mengantarkan mereka sampai ke pintu. Tak lupa berpesan bahwa pintu rumahnya akan selalu terbuka jika mereka butuh bantuan.Â