Mohon tunggu...
Rida Fitria
Rida Fitria Mohon Tunggu... Freelancer - An author of several books; Sebongkah Tanah Retak, Bunga dan Duri, Paradesha, Jharan Kencak, dll.

Ketika kita berkata, "Selamatkan bumi!" Sejatinya kita sedang menyelamatkan diri sendiri dan anak cucu dari bencana dan kepunahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengambil Pelajaran dari Sebuah Cerita Fiksi

16 Juli 2018   19:18 Diperbarui: 16 Juli 2018   19:49 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa yang bisa dilakukan jika cinta sudah memudar? Tak ada.

"Aku berdamai dengan diriku."  Kata Ryu, sahabat Nad sejak SMP. Ia tak menyesali pernikahannya yang oleng, bukan karena orang ketiga melainkan rutinitas dalam pekerjaan dan keseharian yang menimbulkan pertengkaran tak berujung. Suami Ryu menuduh perempuan itu tak becus dalam mengelola bisnis rumahan mereka karena tak ada banyak sisa penghasilan yang bisa ditabung. Ryu menantang suaminya mengambil alih namun laki-laki itu tak mau.

"Kau kira mudah mengelola uang belanja untuk dapur, susu anak, biaya sekolah, telepon, listrik, obat, pergi melayat, kawinan, gaji si bibi, gaji pegawai garmen...." Ryu begitu marah dan terhina, ingin sekali pergi dari rumah suaminya seandainya dia tak memikirkan anak-anak.

Laki-laki itu ayah yang baik namun suami yang payah. Ryu sudah lama sekali berhenti berharap padanya. Segala pekerjaan sudah ia lakoni demi membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga. Hasilnya, ia kehilangan jati diri juga cinta yang dahulu pernah ia percaya akan membuatnya bertahan dalam badai apapun yang menerjang biduk rumah tangga mereka.

"Nad, aku mengalami frigiditas." Keluh Ryu disertai setetes air mata. "Aku tak ingin bercinta lagi dengan suamiku, hasratku padanya sudah mati. Apa yang bisa kulakukan? Aku harus bagaimana?"

Nad menyayangi perempuan itu. Hatinya perih melihat Ryu terpuruk dalam dilema. Tentu tak akan mudah baginya membesarkan dua bocah perempuan seorang diri. Perpisahan hanya menyelesaikan masalah Ryu seorang, namun tidak masa depan anak-anaknya. Keduanya memuja ayah mereka. Bagi dua bocah itu Alan adalah ayah yang sempurna. Sora si bungsu pernah mengasihani nasib teman sekolahnya yang memiliki orang tua bercerai.

"Syukur ayah ibuku tidak begitu, keluargaku menyenangkan." Kata Sora dengan bintang-bintang di matanya.

Ryu dan Alan sejak dahulu sepakat, semarah apapun mereka tidak boleh bertengkar di depan anak-anak. Mereka tahu bahwa di dalam hati mereka tak akan sanggup melukai hati dua gadis kecil itu. Karena itu Ryu tak mungkin bercerai. Namun mungkinkah sebuah perkawinan akan bertahan tanpa persetubuhan. Belakangan Alan mengeluh karena penolakan-penolakan Ryu di tempat tidur.

"Bicaralah pada Alan semua yang kamu rasakan, mungkin saja itu akan membantu masalahmu. Jika cinta pernah tumbuh di hatimu, mungkin saja ia akan bersemi lagi." Nad menyampaikan usul.

"Tidak akan ada gunanya, Nad." Kata Ryu. "Mungkin aku bahkan telah begitu cerewet, selalu menjadi pihak yang berinisiatif supaya kami bicara meski seringnya malah bermuara pada kesalah pahaman. Ia selalu berkata 'terserah kamu saja, terserah deh kamu mau mikir gimana' yang kutangkap kemudian bahwa Alan sudah tak peduli lagi pada perasaanku. Ia menginginkanku di ranjang hanya karena aku yang dia punya. Kau tahu, jika dia sedang banyak uang maka seketika ia akan berubah menyebalkan. Ia selalu bilang 'uangku, uangku' dan bukan uang kita. Kau tahu kan aku tak bisa dihina seperti itu, kami meniti segalanya bersama-sama. Alan bukan siapa-siapa sebelum kami menikah, ia tak punya karir apapun selain luntang lantung dan mengklaim diri sebagai seniman. Aku di sisinya, mendukung dan menjaga semangatnya supaya terus maju di bidang apapun yang ia yakini. Dan tiba-tiba ketika semua menjadi lebih baik, pendapatku tak berarti lagi buatnya."

Nad bersyukur karena tidak pernah menikah. Perempuan itu tidak lagi memiliki hasrat menggebu terhadap pria manapun. Sejak masih seorang bocah ia telah membenci laki-laki yang selalu memukul ibunya. Sepanjang yang bisa diingat, Nad tak pernah tahu bagaimana rasanya hidup dalam keluarga yang bahagia. Ia selalu merasa marah, benci, dan muak pada kehidupan. Lalu Ryu datang dalam hidup Nad, sebagai sahabat yang selalu menemani dan mendengar keluh kesah basi yang keluar dari bibirnya. Di sekolah mereka selalu bergantian menjadi sang juara. Nad yang tegas dan tak suka basa basi, juga terlalu pintar dalam pelajaran, bukanlah sosok lembut yang jelita seperti Ryu yang menjadi idaman banyak laki-laki. Suatu hari Nad sungguh menyesali pilihan Ryu menikah muda dari pada mengejar karir dengan gaji besar seperti dirinya. Dan kini ia mendapati Ryu sedang muak dengan pilihannya itu.

"Aku lelah, Nad. Ingin sekali bebas namun aku tahu itu tak mungkin. Aku bisa kehilangan cinta Alan namun tak akan pernah bisa kehilangan sorot cinta yang penuh bahagia dari mata Sora dan Alia. Sampai kapan aku bisa berpura-pura jika pernikahan kami baik-baik saja? Tak mungkin selamanya kan, Nad?"

Nad memejamkan mata. Ingin sekali ia membongkar seluruh kearifan yang ia miliki supaya bisa menghadiahi sahabatnya sebuah pemikiran terbaik. Nad berdoa pada Tuhan dengan segenap hati disertai seluruh kesungguhan.

"Ryu, bagaimana kalau kau abaikan saja masalah pribadimu dengan Alan. Sekarang fokuslah pada hal-hal yang ingin kau capai. Misalnya memberikan fasilitas belajar terbaik bagi anak-anakmu. Kau tahu kan, kita tidak bisa lagi menyerahkan masa depan anak kita sepenuhnya pada sekolah. Jutaan sarjana kita tidak tahu apa yang harus dilakukan selepas mereka diwisuda. Aku kadang tak mengerti untuk apa kuliah yang begitu mahal itu? Untuk gengsi kah? Atau sekedar ikut-ikutan supaya tidak dikatakan ketinggalan zaman? Atau sekedar pergi ke kampus karena tak tahu harus ngapain selepas SMA? Mau kerja males karena masih ingin menikmati masa muda yang penuh hura-hura. Ryu, dapatkan kau bayangkan anak-anakmu terjebak dalam mind set tipikal ini? Kurasa kau tak akan rela. Pengorbananmu dalam perkawinanmu harus sepadan hasilnya, menjadikan anak-anakmu sehebat dan sebahagia yang mereka impikan. Bukankah itu tujuanmu kenapa kau ingin bertahan?"

Ryu mengangguk. Ia tahu tak ada gunanya menyesali hal buruk. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan adalah terus maju. Senyum cerah Sora dan Alia adalah kebahagiaannya. Ia memohon pada Tuhan supaya memberkati dirinya, dan memudahkan jalan bahagia bagi gadis-gadis mungil kesayangan.

Ryu merasakan langkahnya lebih pasti kini. Tekadnya sudah bulat. Fokusnya kini adalah Sora dan Alia. Ia hanya perlu bekerja keras untuk mendapatkan tambahan penghasilan supaya ia bisa menabung secara diam-diam. Jika tidak, seringkali uang di tangan ludes hanya untuk membiayai gaya hidup seorang Alan. Ia selalu memiliki banyak teman yang perlu dibantu, sementara ketika dia kehabisan duit adakah dari mereka yang datang membalas budi? Ryu menghela napas, menyesali diri karena telah berubah menjadi seorang yang pragmatis. Tentu saja tak masalah berbuat baik memberi bantuan sana sini, namun jika keluarga kemudian menjadi fokus kedua, Ryu tak bisa memahami hal itu. Bagi Ryu, tak masalah jika Alan lebih sering bersama teman-temannya asalkan saat tak punya uang ia tak menunjukkan wajah cemberut di depan hidungnya. Jika sudah begitu betapa inginnya Ryu melempar laki-laki itu ke luar jendela.

Ryu suka membuat baju pengantin dari rancangannya sendiri, karena itu ia merasa perlu berlangganan majalah mode supaya bisa terus menerus memperbaharui pengetahuannya. Namun Alan sering mempermasalahkan hal itu, menurutnya majalah itu terlalu mahal untuk ukuran pengusaha garmen berpenghasilan pas-pasan seperti Ryu. Sempat Ryu terpengaruh perkataan suaminya, ingin menyerah dan hanya menggarap baju wisuda pesanan perusahaan konveksi. Kasarnya Ryu menerima upah yang tidak sepadan dengan waktu yang ia habiskan. Sepotong jahitan ( semua bahan dari pemilik konveksi ) hanya dihargai dua ribu rupiah. Untuk mendapatkan uang dua juta rupiah saja, ia harus menyelesaikan seribu jahitan dalam waktu sepekan, yang tidak mungkin ia kerjakan sendiri tanpa bantuan pegawai-pegawai tidak tetapnya karena jika baju-baju pesanan itu tidak selesai kala jatuh tempo maka ia akan kehilangan pekerjaan. Bos akan melempar job pada penjahit lain. Ryu tidak mau hal itu terjadi, di sekelilingnya ada pegawai-pegawai yang semuanya perempuan berkeluarga dan miskin. Mereka menggantungkan harapan bertahan hidup dari pekerjaan yang diberikan Ryu. Saat seperti itu setidaknya Ryu bersyukur, dengan penghasilan yang pas-pasan ia masih bisa memberi makan Sora dan Alia. Dua dari tiga pegawai perempuannya seringkali makan satu kali sehari supaya anak-anak mereka tidak tidur di malam hari dengan perut kosong.

Sudah lama Ryu meneladani ketabahan para perempuan itu, menganggap mereka teman dan kadang meminjami uang jika hasil jahitan dari baju pengantinnya laku terjual. Mereka juga ikut mempromosikan baju-baju rancangan Ryu dengan menyebarkan pamflet-pamflet dan mendapatkan uang komisi jika berhasil menjualkan. Nad juga melakukan hal yang sama meski tak mau menerima uang persenan. Bagi perempuan itu cukup baginya melihat Ryu tersenyum setiap kali kerja kerasnya terbayarkan. Nad tahu tak mudah menjadi seorang perancang baju pengantin yang belum memiliki nama, karena itu Ryu harus menjadi buruh upahan dari perusahaan konveksi yang memberinya pekerjaan menjahit ribuan baju wisuda. Pekerjaan itu tak jarang merampas kesehatan Ryu yang membuat Nad semakin prihatin. Berulang kali ia meminta sahabatnya mengurangi jam kerja supaya ia cukup istirahat dan makan secara teratur. Sayangnya, kesedihan di hati Ryu lebih dalam daripada ingatannya terhadap nasihat-nasihat Nad. Ryu tahu ia seringkali bersikap tak adil pada tubuhnya, dan sungguh-sungguh berjanji untuk menjaga diri. Lalu hantu deadline kembali mengacaukan janji-janjinya pada diri sendiri.

"Meski ragaku babak belur, tapi aku senang. Dengan hasil jerih payah ini aku bisa menyenangkan Sora dan Alia. Sudah lama sekali tak mengajaknya pergi jalan-jalan dan melihat atraksi lumba-lumba yang sangat mereka sukai." Cerocos Ryu pada Nad, dengan matanya yang berbinar-binar. "Aku akan pergi bersama mereka minggu depan."

"Dengan suamimu?" Nad bertanya.

Ryu mengangkat bahu. "Entahlah. Kalau anak-anak yang mengajak, kemungkinan sih dia ikut."

"Apa kalian sudah baikan?"

"Tidak juga. Kami masih ogah saling bicara. Ia selalu menyalahkanku atas kegagalan-kegagalannya, dan aku sudah berhenti mencintainya. Menurutmu apa yang bisa diharapkan dari hubungan yang menyedihkan seperti ini? Tidak ada. Kami berdua hanya bertahan demi anak-anak. Selain itu sudah tak ada apa-apa lagi. Aku akan belajar tidak mempedulikan semua hal terkait Alan. Seperti yang kau katakan bahwa aku hanya perlu memfokuskan diri pada masa depan Sora dan Alia."

"Oh, sahabatku yang malang." Nad merengkuh bahu Ryu secara dramatis.

"Apaan sih?" Ryu tertawa. "I'm fine and happy now, karena itu jangan pernah menatapku dengan pandangan seperti itu lagi yaa. Aku akan bertahan, Nad. Menciptakan kebahagiaanku sendiri bersama Sora dan Alia."

Nad tersenyum, melirik Ryu dengan perasaan bangga.

"Kau tahu, sejak dahulu aku selalu mengagumimu." Puji Nad. "Kau selalu bisa mengambil sikap yang tepat. Meski perkawinanmu kini bermasalah, namun kau juga pernah sangat berbahagia bersama Alan. Karena itu, kini kau semakin terlihat arif dan manusiawi. Pengalamanmu tentang hidup lebih komplit dariku. Dirimu sebagai perempuan, isteri, ibu, dan partner bagi pegawai-pegawaimu. Sedangkan aku, cukup hanya bisa diingat sebagai 'Nad si tomboy yang malang' dan lebih memilih karir karena laki-laki hanya ingin uangnya."

Ryu memandang ke depan, dan berpikir jika semua orang harus hidup dengan konsekuensi dari pilihan masing-masing. Pelan-pelan ia menggenggam tangan Nad seraya berkata, "Apapun jalan hidup yang telah kita pilih, mari lakukan yang terbaik. Suka, duka, dan penderitaan, adalah milik kehidupan ini. Manusia tak bisa berbuat apa-apa pada bagian ini selain menerimanya."

"Kau benar." Jawab Nad dengan perasaan sentimentil. "Sekalipun kelak aku harus tinggal dan dirawat di rumah jumpo, setidaknya aku harus lebih berbahagia selagi muda meski tanpa pasangan kekasih. Lagi pula aku tak membutuhkan itu."

"Tenang saja," Ryu menggodanya supaya mencairkan awan kesedihan di atas kepala mereka. "Kau bisa tinggal bersamaku. Mungkin suatu hari, jika Sora dan Alia telah menikah, aku akan kembali ke rumah ibuku dan menghabiskan sisa hidupku di sana."

"Sepertinya menyenangkan," Nad tergelak menyadari siasat temannya. "Aku selalu suka dengan kebun ibumu yang penuh bunga-bunga menawan..."

"Maksudmu, kau bukan suka pada orangnya kan?" Ryu memotong dan ikut terkekeh.

"Ibumu galak," kata Nad. "Aku masih ingat dia menghukum kita di kamarmu seharian setelah menelepon ibuku karena kebandelan-kebandelan kita berdua di sekolah."

Perlahan mata Ryu berkaca-kaca. "Aku rindu ibuku, seandainya dia masih hidup..."

"Meski galak, tapi ibumu baik hati. Suka memberiku uang jajan dan nasihat-nasihat. Dahulu aku merasa bosan setiap kali dikhotbahi, tapi sekarang aku lebih sering lagi merindukan omelan-omelan ibumu. Terbukti kata-kata beliau benar semata. Tanpa sadar itu tertanam di kepala dan hatiku, yang kerap menuntunku saat aku begitu gamang dalam kehidupan ini. Kau tahu kan, Ryu. Ibuku terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, ia memang tak pernah marah padaku, namun sikap diamnya yang keterlaluan membuatku tak tahan. Seringkali aku menginginkan ibuku seperti ibumu."

"Setelah kupikir-pikir," Ryu seperti baru tersadar akan sesuatu. "Hari ini kau malah lebih mirip ibuku, tegas dan galak. Aku saja yang anak kandungnya tidak menuruni sifatnya."

"Kata ibumu, kau lebih mirip ayahmu. Tenang dan lemah lembut."

"Benarkah?" Ryu membulatkan matanya yang menawan. "Kurasa Ibu pernah mengejek ayahku karena hal itu. Bahasa anak sekarang, kata Ibu, Ayah itu lebay."

"Tapi ibumu mencintai ayahmu hingga akhir hayatnya."

Ryu mengiyakan kata-kata Nad. Ia tahu kenapa ibunya tetap mencintai ayahnya, karena laki-laki itu tak ikut campur dalam urusan uang dan bagaimana pengelolaannya. Ayah Ryu hanya merasa perlu bekerja, dan hasilnya ia serahkan pada isterinya. Ibunya adalah perempuan rumah tangga sejati, tidak pernah menghasilkan uang sendiri, hanya fokus pada kegiatan masak, manak, dan macak. Sementara Ryu, ia harus pontang-panting bekerja namun selalu dihadiahi gerutuan. Jika diingat-ingat, setelah satu tahun pernikahan ia telah mampu melihat wajah asli Alan yang menyebalkan. Kala itu ayah Ryu membeli sebuah mobil setelah lama menabung. Alan yang tidak puas dengan motor bututnya berharap jika mobil itu menjadi hadiah bagi perkawinan mereka. Sejak hari itu Ryu mencemaskan satu hal, bahwa cinta mereka tidak bisa bertahan selamanya.

Itulah yang terjadi setelah tujuh tahun pernikahan ini, Ryu membatin pilu.

**

Meski sudah tak mencintai Alan lagi, Ryu menangis ketika suaminya menikahi perempuan lain. Ia tidak sedang mengasihani diri. Ryu hanya mencemaskan Sora dan Alia, bagaimana kelak menjelaskan pada mereka. Sekarang Alan dan Ryu bisa mengabaikan masalah poligami tersebut.

"Tapi tidak mungkin selamanya, bukan? Semakin ke belakang kau perlu membagi waktumu antara Sora-Alia dan isterimu. Sudah kukatakan tak bisakah kau memberi waktu hingga anak-anak lebih besar sedikit?"

Alan menggeleng tak percaya. Ketus ia berkata, "Bertahan sampai berapa tahun? Salah siapa kau tak mau melayaniku lagi? Bagi laki-laki hal ini sangat berat. Toh aku juga tak kan mau berzina sekalipun aku bisa melakukannya. Sebagai isteri kau sudah cacat, jadi diamlah. Masalah Sora dan Alia biar aku yang mengurusnya."

"Bagaimana kau menjelaskan pada bocah-bocah tak berdosa itu? Bahwa ibu mereka tak ada gunanya lagi sebagai perempuan dan karena itu kau perlu menikahi perempuan lain sebagai pemuas birahimu? Begitukah? Kau manusia atau hewan?"

Sebuah tamparan mendarat di pipi Ryu. Sebelumnya Alan hanya menyakiti dirinya secara psikis, dimana demi alasan anak-anak maka ia menahan semua itu. Namun kini laki-laki itu menambah rasa sakit di hati dengan pukulan fisik.

"Cukup, Alan." Kata Ryu dingin. "Jika berkomunikasi saja kau sudah tak mampu dengan cara baik-baik, silahkan lakukan apa saja keinginanmu."

Ryu pergi menuju lemari pakaiannya. Memasukkan semua miliknya ke dalam dua tas besar. Sementara itu ia menelepon Nad dan meminta sahabatnya menjemput.

"Aku akan pulang ke rumah ibuku, Nad. Kau pasti tak percaya, tapi Alan baru saja memukulku. Aku tak akan biarkan ini, Nad."

Saat itulah Alan menerobos masuk.

"Bagus, kau boleh pergi. Tapi jangan pernah bawa-bawa Sora dan Alia bersamamu!"

Ryu mengabaikan Alan seolah laki-laki itu hanya seonggok kotoran kambing atau radio rusak. Ia telah memiliki rencana-rencananya sendiri. Namun sikap Ryu membuat Alan tersinggung luar biasa. Ia menjadi kalap dan mendorong Ryu ke ranjang. Melihat paha Ryu tersingkap hasratnya tumbuh. Ia berusaha menyetubuhi Ryu secara paksa namun Ryu tak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia melawan dan terus melawan. Lalu seseorang datang dan memukul kepala Alan dengan tasnya yang berat. Dialah Nad yang teramat sangat murka. Berkali-kali ia melancarkan pukulan itu sehingga Alan merasa lemas dan mengaduh-aduh supaya Nad berhenti.

"Jika kau berani menyakiti sahabatku lagi maka aku tak kan segan menyeretmu ke penjara," Nad mengancam. "Aku akan menyimpan hasil visum Ryu yang kelak akan kugunakan jika kau menahan Sora dan Alia. Ingat itu baik-baik, keparat!"

Nad membereskan barang-barang Ryu dan anak-anak lalu membawanya ke dalam mobil. Ia terus bergerak dengan perasaan terluka, baginya Ryu seperti darah dan dagingnya sendiri. Mereka telah bersahabat sejak SMP, dan sebagai sesama anak tunggal mereka memiliki perasaan yang sama terhadap kerinduan memiliki seorang saudara. Waktu telah menguji mereka, sebagai sahabat yang merasa telah menemukan saudaranya.

"Kita akan menjemput anak-anak di sekolah," kata Ryu setelah berhenti menangis.

"Aku yang akan menjemput mereka," Nad kemudian menjelaskan jika mereka harus ke rumah sakit terdekat. "Kau harus menghitung luka di sekujur tubuhmu, itulah senjatamu yang paling ampuh jika kelak Alan coba-coba memerasmu."

Ryu menurut. Sejak dulu ia jarang membantah kata-kata Nad. Belakangan ia semakin melihat kemiripan antara Nad dan ibunya. Dan kenangan akan ibunya membuat Ryu tergugu ketika petugas medis melakukan serangkaian pemeriksaan di beberapa bagian tubuhnya yang lebam.

Demi anak-anak dia tak mengadukan Alan ke pihak yang berwajib. Ryu menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan kenapa mereka tak bisa lagi tinggal di rumah ayah mereka. Itu saat yang sulit bagi Ryu karena bayangan-bayangan tak menyenangkan dimana Sora dan Alia kelak menjadi terluka. Tapi terus membuat alasan juga bukan hal yang baik. Ryu sungguh tersiksa. Sementara itu pekerjaan menjahit ribuan baju pesanan sudah harus dimulai begitu ia memindahkan peralatan menjahit ke rumah warisan sang ibu.

"Kau seharusnya beristirahat dulu," kata Nad yang malam itu menginap. "Gunakan waktumu lebih banyak bersama anak-anak sehingga mereka tak terlalu merindukan ayahnya."

Ryu menjadi murung.

"Sesedih apapun toh kami tetap harus melanjutkan hidup," Ryu mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Lagi pula aku kan bekerja di rumah. Kurasa mereka akan terbiasa setelah sekian waktu."

"Apa anak-anak sudah tahu?" Nad ragu-ragu bertanya.

"Belum. Aku hanya bilang pada mereka bahwa rumah nenek harus lebih sering dikunjungi, jika tidak maka nenek dan kakek akan sangat sedih di sana."

"Apa tanggapan mereka?"

"Mereka cuma bilang: Oo, begitu."

Untuk sementara Ryu masih bisa mengatasi masalah ini. Setiap hari Sora menelepon ayahnya dan laki-laki itu akan menjawab bahwa ia sedang sibuk karena itu belum bisa menjenguknya. Alia lebih mudah dialihkan pada hal-hal lain, misalnya bermain bersama anak-anak tetangga yang sudah lama ia kenal dalam kunjungan-kunjungannya terdahulu. Di samping kehadiran Nad yang sangat berarti, mengajak dua bocah itu pergi jalan-jalan di hari libur sekolah ketika Ryu nyaris tak bisa bernapas karena pekerjaan menjahit.

Lalu suatu hari dalam acara jalan-jalan mereka bersama Nad, perempuan itu ingin memberi hadiah lalu memutar mobilnya ke arah mall setelah acara berenang yang menyenangkan. Dua bocah begitu senang sambil memeluk boneka baru yang mereka pilih sendiri. Sambil menunggu makanan yang dipesan, mereka bertiga duduk melingkari satu meja. Saat itulah Sora menangkap kelebatan Alan yang tengah memeluk pinggang seorang perempuan, melintas tak jauh darinya. Sora yang tak mengerti secara refleks berlari ke arah si ayah. Dan kata-kata yang meluncur dari bocah perempuan enam tahun itu sungguh tak terduga.

"Kenapa Ayah bersama seseorang selain Ibu? Ayah jahat!"

Nad segera menggendong Sora yang menangis dibuntuti Alia yang kebingungan namun tak pernah melepaskan tangannya dari genggaman Nad. Nad tak mengatakan apapun namun Alan tahu jika sorot mata perempuan itu tak bisa ia lawan.

"Ternyata isteri baru Alan itu si Nini, ya. Mantan pacarnya waktu SMA." Kata Nad kepada Ryu setelah sahabatnya berhasil menidurkan Sora dan Alia.

Ryu berjalan ke teras, memandangi langit malam yang gulita. Namun ia tak membiarkan gelap meracuni perasaannya lagi.

"Aku tak peduli apa yang dilakukannya kini, Nad. Mungkin pertemuan kalian di mall adalah cara Tuhan membantuku menjelaskan realitas ini pada anak-anak. Kulihat Sora menjadi lebih diam, namun aku percaya waktu akan membantunya menyembuhkan luka."

Sejak pindah ke rumah ibunya, Ryu memilih kamar yang paling besar dan lapang sehingga mereka bertiga bisa tidur bersama atau berempat ketika Nad menginap. Tengah malam itu Sora terjaga karena mimpi buruk. Ryu bangun dan memeluknya segera. Sambil menangis bocah itu membuat permohonan, "Ibu tidak boleh meniru Ayah, ya. Selamanya Ibu harus tinggal bersamaku dan Adik."

Ryu mengangguk tegas, bahwa hidupnya kini hanyalah untuk membahagiakan Sora dan Alia.

"Kau anak Ibu yang hebat, jangan sedih, Nak. Kau dan adikmu adalah segalanya bagi Ibu. Ibu bersumpah tak akan pernah melanggar janji Ibu padamu. Percayalah pada Ibu, ya."

Sora memeluk Ryu sehingga bocah itu kembali terlelap. Pelan-pelan ia beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu' lalu menegakkan shalat tahajud. Dengan cara seperti itu jiwanya terasa damai dan ia siap menyambut hari baru dengan hati yang lebih kuat.

**

Di sekolah, Sora mulai sering berkelahi karena sekumpulan anak mulai mengoloknya tentang ibu tiri. Ryu datang memenuhi undangan wali kelas terkait masalah itu.

"Saya akan berusaha menasihatinya, Bu." Kata Ryu akhirnya setelah pembicaraan panjang mereka. "Sora anak yang baik, ia hanya perlu waktu untuk menerima kenyataan. Terima kasih banyak atas bantuan Ibu pada Sora selama ini."

Dalam perjalanan pulang Ryu memikirkan sebuah cara bagaimana mengalihkan Sora dari kemarahan-kemarahannya. Waktu yang terberat bagi Sora adalah pada jam-jam istirahat. Tidak ada guru yang mendampingi sebagaimana ketika pelajaran berlangsung di dalam kelas. Dan anak-anak yang usil sangat tahu bagaimana melukai perasaan bocah lain yang mengalami kegalauan. Meski guru telah memanggil mereka dan memberi nasihat, tidak ada jaminan bagi anak-anak itu untuk tidak mengulangi perbuatan mereka.

"Sora benar, anak-anak itu memang perlu dihajar." Kata Nad yang naik pitam. "Kalau perlu aku akan berkeliaran di sana pada jam-jam istirahan, biar aku yang kasih pelajaran anak-anak bandel itu."

Untuk pertama kalinya setelah tragedi hari itu Ryu tertawa.

"Aku lebih suka kau membawa Sora ke gedung karate bersamamu, ia bisa mengeluarkan seluruh kemarahannya di sana."

"Ide yang bagus." Nad tersadar dan ikut tertawa. "Bagaimana dengan Alia?"

"Alia baik-baik saja. Ia senang pindah sekolah ke TK dekat sini. Berangkat dan pulang sekolah tak mau diantar."

"Kok?"

"Anak-anak tetangga yang kebanyakan anak cowok bersikap seolah merekalah pengawal 'sang puteri', tampaknya Alia tahu bagaimana memanfaatkan mereka." Ryu terkekeh geli.

"Baguslah," kata Nad lega. "Kita bisa konsentrasi pada masalah Sora, bagaimana supaya ia bisa menghadapinya dengan elegan. Ia sudah keren karena memiliki keberanian untuk melawan, sekarang tinggal mengasah kemampuannya pada hal-hal yang ia minati."

Nad mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kerjanya.

"Berikan pada Sora. Ia senang mendengarkan musik dan menonton film kartun. Ipad ini akan membantunya sibuk pada jam istirahat, setidaknya untuk sementara jika anak-anak nakal itu tidak berhenti. Ia juga bisa merekam tingkah anak-anak nakal itu lalu melaporkannya pada kepala sekolah."

Ryu menatap sahabatnya penuh haru.

"Kau terlalu memanjakan bocah itu," kata Ryu dengan mata berkaca-kaca.

"Aku tidak memanjakannya, ini hanya sedikit bantuan tak berarti dibandingkan persahabatan kita dan jasa ibumu padaku. Lagi pula Sora bukan anak yang manja, ia pantas menerima banyak hadiah dalam hidupnya karena sikapnya yang baik padamu."

Ryu menundukkan wajah, sedetik. Buru-buru ia menghapus air mata yang menetes deras di pipinya. Nad menepuk lembut bahu perempuan itu.

"Terima kasih, Nad. Aku tak tahu bagaimana membalas jasamu karena kau selalu di sisiku saat hidupku begitu kacaunya."

Nad menggeleng. "Kau ini, untuk apa berkata seperti itu. Aku tak suka."

"Setidaknya sekali saja kau biarkan aku mengucapkan terima kasih padamu," Ryu tersenyum di antara derai air matanya.

"Itu sudah dua kali," Nad serius. "Kau menyebutkan kata 'terima kasih' itu. Perhatikan kata-katamu sendiri, Nak."

Lalu keduanya saling menatap lucu, dan terdengarlah tawa mereka.

Hidup sungguh aneh, sebentar menangis, sebentar tertawa, pikir Ryu. Dan sebuah fakta membenarkan hipotesa tersebut manakala beberapa hari kemudian Sora pulang dengan hidung berdarah dan mata penuh air mata. Gadis kecil itu menjelaskan tentang anak-anak nakal di sekolah yang merampas ipad miliknya sehingga tak sengaja menjatuhkan benda tersebut ketika kedua belah pihak saling tarik menarik.

"Mereka begitu jahat karena telah mengolok Ibu dan tante Nad sebagai pasangan lesbi," Sora menangis kian keras. "Mereka juga bilang bahwa Ayah meninggalkan Ibu karena Ayah tak mau hidup serumah dengan perempuan seperti Ibu."

Ryu menyeka air mata di pipi Sora, menenangkan puterinya dengan kata-kata menguatkan.

"Di dunia ini memang ada jenis orang seperti temanmu itu, karena mereka tidak bahagia. Mereka marah pada diri mereka sendiri lalu melampiaskannya pada orang lain. Puteri Ibu yang cantik harus mengambil hikmah dari peristiwa ini, agar tahu bahwa perilaku seperti itu sangat tidak baik dan tidak boleh ditiru. Kau sudah benar karena melawan dan melaporkannya pada guru."

Sora menangis lagi. "Tapi guru juga memarahiku karena membawa ipad ke sekolah."

Ketika Nad mengetahui hal ini maka perempuan itu pergi ke sekolah menemui Pak kepala, yang kemudian memanggil guru konseling dan wali kelas Sora. Nad mempertanyakan kebijakan sekolah terkait perlindungan mereka terhadap anak-anak yang kerap menjadi korban bullying.

"Kami sudah berusaha menjaga anak-anak semaksimal mungkin," kata guru wali. "Tapi orang tua murid juga harus membantu, salah satunya dengan tidak membawakan anak benda-benda mewah supaya tidak membuat anak lain iri. Maaf, Ibu siapanya Sora, ya?"

"Saya kakak angkat ibunya Sora, sejak kecil diasuh neneknya Sora." Kata Nad mendahulukan jawaban sebelum menanggapi pernyataan wali kelas.

"Maaf Bapak, Ibu," lanjut Nad. "Ipad itu hanya untuk mengalihkan Sora pada waktu istirahat supaya tidak terfokus pada rasa marah akibat gangguan anak-anak nakal, kami juga telah mengingatkan Sora agar tidak menyentuh benda itu ketika pelajaran berlangsung. Apakah Sora menggunakannya di kelas?"

Wali kelas mendehem dan menggeleng seraya membetulkan letak kaca mata yang sudah berada dalam posisi benar. "Tidak, hanya saja ini kebijakan di dalam kelas saya."

Nad tak mengerti.

"Tapi anak-anak boleh membawa handphone, saya lihat beberapa anak memegang hp yang cukup mahal kalau tidak bisa dikatakan mewah, saya kira ipad..."

"Karena semua anak hampir memiliki handphone saya kira tak masalah buat anak yang lain," guru wali memotong ucapan Nad.  "Tapi ipad keluaran terbaru seperti yang dimiliki Sora ini bisa memicu anak-anak lain juga menginginkannya meski dengan cara yang tidak benar, seperti yang terjadi kemarin."

"Katakanlah saya bersalah karena memberikan benda itu pada keponakan saya," Nad tak menyerah. "Tapi bagaimana dengan sekolah yang membiarkan Sora diserang hingga berdarah, kekerasan secara psikis sudah kerap ia alami hanya karena orang tuanya berpisah, sekarang ditambah kekerasan fisik. Apakah sekolah benar-benar tidak mampu lagi melindungi anak malang ini? Ini penting untuk kami ketahui bahwa para guru mampu bersikap arif dan tidak menyalahkan anak yang benar-benar menjadi korban dalam masalah ini. Ibu wali kelas, apakah ini penyangkalan atau pembenaran? Jika begini terus bagaimana kami tenang menyerahkan pendidikan anak kami pada sekolah ini.."

"Ibu-ibu, mohon untuk tetap tenang." Kepala sekolah menyela.

Nad menoleh, mencari kejujuran dalam ekspresi laki-laki itu. Secara subyektif bisa saja ia membela anak buahnya demi status quo lembaga yang ia pimpin, sementara dirinya hanyalah orang luar yang bahkan orang tua pun dalam banyak kebijakan sekolah sama sekali tidak dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang melibatkan anak-anak mereka. Di dalam banyak kebijakan sekolah, anak murid dan orang tua mereka hanyalah obyek, kaum kawula, sementara pengelola sekolah adalah raja.

"Saya harap kita semua bisa berdiskusi dengan kepala jernih supaya bisa menemukan solusi yang baik dalam masalah Sora supaya kelak tidak menimpa anak-anak lainnya. Kita juga perlu mendengarkan alasan kenapa orang tua Sora membolehkan anaknya membawa ipad, yang ternyata akibat ketidak mampuan kita dalam melindungi anak didik kita tersebut. Kita perlu menghargai niat baik keluarga Sora, bahwa yang menjadi substansi bukanlah ipad itu, tapi kenapa sampai terjadi kekerasan terhadap Sora? Apa yang salah dengan sebuah benda ketika ia bisa membantu seorang anak mengalihkan amarahnya? Dan kenapa anak itu menjadi marah? Oh ternyata karena mendapat perlakuan yang tidak adil dari anak-anak lain yang suka mengganggu. Dan kenapa anak-anak lain yang juga murid di sekolah ini suka mengganggu dan berperilaku tidak terpuji? Lalu apa gunanya kita mengajarkan mata pelajaran yang mengedepankan moral yang baik jika anak didik kita sama sekali tidak meresapinya?"

"Yang ingin saya katakan adalah, bahwa ada masalah besar di balik peristiwa yang menimpa Sora." Kata kepala sekolah yang kemudian meminta maaf pada Nad seraya menjelaskan bahwa dirinya baru dua minggu bertugas di sekolah Sora. Ia meminta semua orang membantunya, "Saya senang karena Bu Nadya peduli dengan pendidikan keponakan Ibu, zaman sekarang susah menemukan orang tua yang mau bercapek-capek memikirkan masalah anaknya lalu menyerahkan seratus persen pada sekolah. Tentu menjadi tugas sekolah dalam mendidik para murid, namun menyerahkan sepenuhnya pada sekolah juga bukan tindakan bijak. Saya tahu bahwa beban anak terkait pelajaran yang semakin berat juga menjadi masalah, belum lagi masalah guru yang tidak siap dan hanya menjadi tenaga pengajar karena tergiur kehidupan yang terjamin sebagai pegawai negeri, pun masalah di rumah. Tiga faktor ini saling pengaruh mempengaruhi, bisa menjadi baik maupun bumerang dalam pembentukan karakter anak. Karena itu dibutuhkan kerja sama yang baik dengan kesadaran bahwa kita sedang mendukung generasi penerus bangsa ini menemukan potensi mereka yang terbaik."

Berawal dari pertemuan tersebut kepala sekolah mengusulkan program, rehabilitasi psikologi untuk anak-anak bermasalah dan terapi bagi anak korban kekerasan seperti Sora. Laki-laki itu akan ikut bagian dalam jadwal kegiatan bersama anak-anak bermasalah, sementara guru konseling yang kemudian memiliki visi sejalan dengan Nad akan melakukan field trip khusus dengan harapan bisa menyembuhkan trauma gadis kecil tersebut. Kelak ketika kedua kelompok telah selesai dengan program mereka, maka anak-anak dari kedua belah pihak akan bertemu yang akan mendorang mereka saling memaafkan. Nad mulai mengerti kemana arah yang ingin dituju kepala sekolah, bahwa semua anak berhak diberi kesempatan kedua. Sejatinya semua anak memiliki potensi baik, namun lingkungan keluarga dan masyarakatlah yang kerap memberi contoh di luar keteladanan sehingga mereka berperilaku seperti model di depan mereka. Karena hanya wawasan itulah yang mereka tahu lalu memberi pengaruh yang paling dominan dalam otak dan pikiran mereka.

Adakalanya Nad diundang oleh kepala sekolah, mengetahui bagaimana laki-laki itu terlibat dalam pelepasan energi buruk siswa-siswanya melalu olah raga lari keliling sekolah. Sambil ikut berlari kepala sekolah mengajarkan sebuah lagu yang dinyanyikan dengan serius namun mengharukan Nad. Ada bait-bait yang terus menyertai perempuan itu sehingga Nad mulai ikut bersemangat dan mendendangkannya sambil menyetir dalam perjalanan pulang.

Berjiwa ksatria, melindungi yang lemah

Belajar yang giat, raih masa depan bahagia

Bekerja keras, it's so cool ( sambil mengacungkan jempol)

Sayangi orang tua, kakak adik, dan teman-teman

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun