"Aku lelah, Nad. Ingin sekali bebas namun aku tahu itu tak mungkin. Aku bisa kehilangan cinta Alan namun tak akan pernah bisa kehilangan sorot cinta yang penuh bahagia dari mata Sora dan Alia. Sampai kapan aku bisa berpura-pura jika pernikahan kami baik-baik saja? Tak mungkin selamanya kan, Nad?"
Nad memejamkan mata. Ingin sekali ia membongkar seluruh kearifan yang ia miliki supaya bisa menghadiahi sahabatnya sebuah pemikiran terbaik. Nad berdoa pada Tuhan dengan segenap hati disertai seluruh kesungguhan.
"Ryu, bagaimana kalau kau abaikan saja masalah pribadimu dengan Alan. Sekarang fokuslah pada hal-hal yang ingin kau capai. Misalnya memberikan fasilitas belajar terbaik bagi anak-anakmu. Kau tahu kan, kita tidak bisa lagi menyerahkan masa depan anak kita sepenuhnya pada sekolah. Jutaan sarjana kita tidak tahu apa yang harus dilakukan selepas mereka diwisuda. Aku kadang tak mengerti untuk apa kuliah yang begitu mahal itu? Untuk gengsi kah? Atau sekedar ikut-ikutan supaya tidak dikatakan ketinggalan zaman? Atau sekedar pergi ke kampus karena tak tahu harus ngapain selepas SMA? Mau kerja males karena masih ingin menikmati masa muda yang penuh hura-hura. Ryu, dapatkan kau bayangkan anak-anakmu terjebak dalam mind set tipikal ini? Kurasa kau tak akan rela. Pengorbananmu dalam perkawinanmu harus sepadan hasilnya, menjadikan anak-anakmu sehebat dan sebahagia yang mereka impikan. Bukankah itu tujuanmu kenapa kau ingin bertahan?"
Ryu mengangguk. Ia tahu tak ada gunanya menyesali hal buruk. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan adalah terus maju. Senyum cerah Sora dan Alia adalah kebahagiaannya. Ia memohon pada Tuhan supaya memberkati dirinya, dan memudahkan jalan bahagia bagi gadis-gadis mungil kesayangan.
Ryu merasakan langkahnya lebih pasti kini. Tekadnya sudah bulat. Fokusnya kini adalah Sora dan Alia. Ia hanya perlu bekerja keras untuk mendapatkan tambahan penghasilan supaya ia bisa menabung secara diam-diam. Jika tidak, seringkali uang di tangan ludes hanya untuk membiayai gaya hidup seorang Alan. Ia selalu memiliki banyak teman yang perlu dibantu, sementara ketika dia kehabisan duit adakah dari mereka yang datang membalas budi? Ryu menghela napas, menyesali diri karena telah berubah menjadi seorang yang pragmatis. Tentu saja tak masalah berbuat baik memberi bantuan sana sini, namun jika keluarga kemudian menjadi fokus kedua, Ryu tak bisa memahami hal itu. Bagi Ryu, tak masalah jika Alan lebih sering bersama teman-temannya asalkan saat tak punya uang ia tak menunjukkan wajah cemberut di depan hidungnya. Jika sudah begitu betapa inginnya Ryu melempar laki-laki itu ke luar jendela.
Ryu suka membuat baju pengantin dari rancangannya sendiri, karena itu ia merasa perlu berlangganan majalah mode supaya bisa terus menerus memperbaharui pengetahuannya. Namun Alan sering mempermasalahkan hal itu, menurutnya majalah itu terlalu mahal untuk ukuran pengusaha garmen berpenghasilan pas-pasan seperti Ryu. Sempat Ryu terpengaruh perkataan suaminya, ingin menyerah dan hanya menggarap baju wisuda pesanan perusahaan konveksi. Kasarnya Ryu menerima upah yang tidak sepadan dengan waktu yang ia habiskan. Sepotong jahitan ( semua bahan dari pemilik konveksi ) hanya dihargai dua ribu rupiah. Untuk mendapatkan uang dua juta rupiah saja, ia harus menyelesaikan seribu jahitan dalam waktu sepekan, yang tidak mungkin ia kerjakan sendiri tanpa bantuan pegawai-pegawai tidak tetapnya karena jika baju-baju pesanan itu tidak selesai kala jatuh tempo maka ia akan kehilangan pekerjaan. Bos akan melempar job pada penjahit lain. Ryu tidak mau hal itu terjadi, di sekelilingnya ada pegawai-pegawai yang semuanya perempuan berkeluarga dan miskin. Mereka menggantungkan harapan bertahan hidup dari pekerjaan yang diberikan Ryu. Saat seperti itu setidaknya Ryu bersyukur, dengan penghasilan yang pas-pasan ia masih bisa memberi makan Sora dan Alia. Dua dari tiga pegawai perempuannya seringkali makan satu kali sehari supaya anak-anak mereka tidak tidur di malam hari dengan perut kosong.
Sudah lama Ryu meneladani ketabahan para perempuan itu, menganggap mereka teman dan kadang meminjami uang jika hasil jahitan dari baju pengantinnya laku terjual. Mereka juga ikut mempromosikan baju-baju rancangan Ryu dengan menyebarkan pamflet-pamflet dan mendapatkan uang komisi jika berhasil menjualkan. Nad juga melakukan hal yang sama meski tak mau menerima uang persenan. Bagi perempuan itu cukup baginya melihat Ryu tersenyum setiap kali kerja kerasnya terbayarkan. Nad tahu tak mudah menjadi seorang perancang baju pengantin yang belum memiliki nama, karena itu Ryu harus menjadi buruh upahan dari perusahaan konveksi yang memberinya pekerjaan menjahit ribuan baju wisuda. Pekerjaan itu tak jarang merampas kesehatan Ryu yang membuat Nad semakin prihatin. Berulang kali ia meminta sahabatnya mengurangi jam kerja supaya ia cukup istirahat dan makan secara teratur. Sayangnya, kesedihan di hati Ryu lebih dalam daripada ingatannya terhadap nasihat-nasihat Nad. Ryu tahu ia seringkali bersikap tak adil pada tubuhnya, dan sungguh-sungguh berjanji untuk menjaga diri. Lalu hantu deadline kembali mengacaukan janji-janjinya pada diri sendiri.
"Meski ragaku babak belur, tapi aku senang. Dengan hasil jerih payah ini aku bisa menyenangkan Sora dan Alia. Sudah lama sekali tak mengajaknya pergi jalan-jalan dan melihat atraksi lumba-lumba yang sangat mereka sukai." Cerocos Ryu pada Nad, dengan matanya yang berbinar-binar. "Aku akan pergi bersama mereka minggu depan."
"Dengan suamimu?" Nad bertanya.
Ryu mengangkat bahu. "Entahlah. Kalau anak-anak yang mengajak, kemungkinan sih dia ikut."
"Apa kalian sudah baikan?"