(Saduran kisah teladan Al Qamah)
Langkahnya kian cepat. Tak beraturan. Kadang kesrimpet. Kadang pula tersandung, walau tak sampai jatuh. Hampir saja jatuh. Tetapi masih saja ia bertahan, menyeret langkah kakinya, menyusuri jalanan berdebu. Di benakya ada beban teramat berat yang tak mungkin lagi ia panggul sendirian. Benaknya seolah menjadi arena pertarungan antara harapan melawan kecemasan. Ruwet tapi juga menegangkan. Itulah kemudian mengapa sosok perempuan yang berjalan di antara padang pasir itu berjalan cepat. Berburu waktu agar tak terlambat.
Tetapi, semakin cepat ia seret kakinya, langkahnya terasa kian berat. Angin tak cukup bersahabat. Membawa debu. Lambaian ayunan kain panjangnya menjadi beban. Sesekali ia tampak menunduk. Sesekali menengok ke belakang. Sesekali tampak pula ia menerawang. Berusaha menyembunyikan airmata yang bercucuran dari intaian mata para musafir yang ia temui. Sambil berharap, ia tegar menghadapi kenyataan pahit yang dialami.
Gubuk itu sudah mulai tampak. Di antara pasir-pasir yang menjulang, gubuk itu tampak bercahaya terang. Makin dekat gubuk itu di hadapan, perempuan itu makin mempercepat langkah kakinya, setengah berlari. Berharap ada pertolongan.
Dalam jarak beberapa langkah kaki dari gubuk itu, perempuan itu berseru, "Wahai orang pilihan! Al Musthafa! Dengan segenap beban di pundakku ini izinkan aku mengetuk pintu rumahmu yang mulia itu, ya Al Musthafa! Ada kabar yang hendak aku sampaikan padamu, wahai manusia termulia!"
Di dalam rumah, beberapa orang yang mendengar suara itu saling pandang. Tatapan mereka tampak saling menyimpan pertanyaan yang senada, 'siapa perempuan itu?', 'Mengapa ia berteriak?', 'Ada apa gerangan?'. Tetapi, tak satupun yang mendapatkan jawaban. Mereka tak mengerti apa yang sedang terjadi. Menyaksikan itu, Al Musthafa tersenyum. Tatapan matanya tampak tenang. Kemudian menyuruh salah seorang di antara mereka membukakan pintu bagi perempuan itu.
"Apa kalian akan membiarkan jeritan yang penuh kepedihan itu terus bergema di luar sana?" tanya sang tuan rumah kepada semua.
Semua tampak menggeleng. Tetapi, tidak tahu harus berbuat apa.
"Mengapa kalian masih berdiam diri? Tidakkah akan menjadi lebih baik jika ia dipersilakan masuk? Setidaknya, agar jeritan itu tidak makin menjadi," ucap lelaki agung itu dengan tenang.
Salah seorang dari mereka kemudian bersegera bangkit dari duduknya. Ia segera menyongsong daun pintu. Membukakan pintu untuk perempuan itu.
Angin tiba-tiba merangsek masuk ke dalam rumah, ketika pintu itu terbuka. Lamat-lamat terdengar suara perempuan itu berkata, "Apakah engkau bersamanya di rumah?"
Laki-laki yang membukakan pintu itu mengangguk.