Di hari ke-3 Milos mulai paham apa yang sedang dihadapinya. Kawanan Beru yang hiperaktif, suka bermain berbagai permainan dan kebanyakan dari permainan mereka adalah permainan yang sangat berbahaya. Setiap detik adalah tantangan, nyawanya hanya bergantung pada sebuah topi kertas yang melekat di kepalanya. Jantungnya tak henti-henti berdebar, walau secara perlahan debar itu beradaptasi dengan sendirinya.
Seperti yang terjadi siang itu ketika A—Beru paling besar dengan tanduk patah tersisa separuh—memperbaiki sarangnya. Ranting pohon digumpal dan direkatkan dengan ludahnya yang lengket bagaikan lem. Disatukan membentuk gunung kecil seukuran tubuhnya, sarang itu menyerupai cerobong asap tinggi menjulang bagaikan topi penyihir.
B—Beru yang mengenakan pita merah muda diantara telinga—melempar ranting yang bertumpuk ke arah A, awalnya semua berjalan biasa saja, setiap ranting selalu berhasil ditangkap, hingga akhirnya B melemparnya dengan keras dan mengenai batok kepala A. Jelas A marah dan meraung sembari melompat turun.
“Kau senghaja melakukanku ya?” tanya A yang memang tempramental.
“Tidak, aku tidak senghaja. Maafkan aku!”
“Tapi kau melemparku sangat keras. Dan itu sakit.”
“Tapi aku tidak senghaja, aku kan sudah meminta maaf.” B tindak ingin disalahkan.
D dan E—Beru kembar yang hanya bisa dibedakan dari warna bola mata mereka, D berwarna kuning keemasan, sedangkan E berwarna hijau lumut—sontak bangkit dari ujung tebing tempat mereka melempari ikan terbang yang melintas. Perdebatan A dan B membuat semuanya mengalihkan perhatian.
Z dan Milos yang sedang membakar pari terbang untuk makan siang para Beru juga berlari menghampiri A dan B.
“Ada apa ini?” Tanya Z dengan suara yang lantang dan menghentikan perdebatan seru tadi sejenak.
“B melemparku dengan senghaja, ia melempar kepalaku. Ini adalah lokasi agung yang aku miliki.” Ucap A sambil menunjuk batok kepalanya.