“Wah. Kerja di mana?”
“Sudirman.”
“Gue juga Sudirman. Gedung apa?”
“Menara Indonesia.”
“Lantai?”
“Delapan. “
“Gue tujuh belas.” Meledak tawanya. “Kalo ngajak lo makan siang bareng kapan-kapan, ngantrinya panjang nggak?”
Saya tersenyum mendengar ajakannya. Senang, tapi sekaligus juga kebingungan karena hobi sendirian ini langsung merasa terancam.
Akhirnya, entah didorong kekuatan yang mana, saya mengangguk. “Nggaklah.”
Dia tertawa lagi, lalu merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Kertas kecil dan pulpen. “Gue ambil nomor antrian dari sekarang ya,” katanya sambil menulis sesuatu dan memperlihatkan kertas itu pada saya. Tertulis “01″.
Giliran saya tertawa. “Nanti saya pertimbangkan.”
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!