Pagi ini, saya tak sendiri.
“Tanpa gula?” tanyanya heran sambil memandang mug tempat label teh saya menjuntai.
Saya menggeleng. “Glukosa akan mengganggu rasa asli kafein. Pecinta teh sejati pantang menyentuh gula.”
Dia tertawa. “Kalau begitu I am not in,” katanya sambil merobek bungkus gula sachet dan menuang isinya ke cangkir minumannya. “Dan bukan penggemar kopi garis paling tulen juga, gue rasa.” Dia tersenyum jenaka sebelum menyesap bibir cangkirnya.
Kali ini, saya tertawa.
Dan ketika kita tertawa, bukankah semua batas biasanya jadi terpangkas dan rasa rikuh akan luruh? Saat itulah kita berada di tempat paling rapuh, membiarkan orang lain masuk dalam hidup kita yang sebelumnya utuh.
Wrong move, Jena.
“Oh iya,” ujarnya, setelah sesapan ketiga (dan setengah tak percaya bahwa saya betul-betul memperhatikannya!). “Maaf buat kejadian semalam.”
Kejadian… Oh.
“Nggak apa-apa. Bukan mau kamu juga resepsionisnya salah ngasih nomor kamar.”
“Dan ganggu orang malam-malam.” Dia terkekeh. “Gue di 821,” katanya menyebutkan nomor kamar yang benar.