Mendadak saya tersengat kesadaran.
Meski belum pernah sengaja saya kunci, ‘pagar’ ini memang tak sering dilewati orang. Sebagian segan karena saya tampak begitu nikmatnya sendiri, sebagian besar lainnya mungkin tak peduli.
Yang duduk di depan saya sekarang ini rupanya datang dari kelompok agak ‘ajaib’.
Dia tertawa lagi. “Ini Bali. Lo nggak mungkin liburan rame-rame ke sini cuma buat bangun pagi dan ikut jadwal sarapan hotel kan?” Pertanyaannya tak butuh jawaban. “Kalau nggak sendiri, harusnya semalam lo teler di reggae bar dan baru bangun menjelang makan siang.”
Sedikit tersinggung karena kata-katanya semua benar.
“Kamu sendiri bangun pagi. Barnya sudah tutup semalam?” Saya memutuskan untuk balas menyindir.
“Itulah bedanya. Kalo liburan sendirian, bangun pagi karena memang lapar dan mau makan. Kalo kerja, bangun pagi cuma untuk mengejar kopi dan pergi lagi.”
Dia tertawa, dan kali ini, mau tak mau, saya pun juga.
“Lo… di sini sendirian?” tanyanya lagi, menatap saya. Membuat rute napas ini jadi lebih panjang tiba-tiba.
“Iya.”
“Ngapain?”