Saya mengangguk.
Laki-laki yang kelihatannya… yah, cukup menyenangkan, masa ke tempat romantis macam ini sendirian?
“Lo sarapan sendiri?” Justru dia yang pertama melempar pertanyaan itu, dengan nada, well, cukup sopan karena saya tak berhasil menemukan nyala penasaran yang menyebalkan dari mimik wajahnya.
“Iya,” jawab saya. “Kamu tiba larut betul. Liburan?”
Duh! Lidah ini hampir putus saya gigit. Sejak kapan saya jadi begini mudah penasaran dengan urusan orang? Persetan dia mau liburan, kunjungan dinas, bertemu teman, atau bulan madu sekalipun…
… Kemungkinan yang terakhir, entah kenapa, membuat ludah ini saya telan mati-matian.
“Pengennya sih liburan solo seperti lo.” Dia tertawa. “Gue wartawan. Ada seminar yang harus diliput di sini. Bad luck.” Disesapnya kopinya lagi.
Ooh.. Saya mengangguk lagi tanpa sadar.
Syukurlah bukan bulan ma… Ah, mulai ngaco kan!
“Darimana kamu tahu saya liburan?”
Jena, harusnya kamu tutup mulut saja dan memaksanya lekas pergi agar kamu bisa kembali sendiri! ‘Pagar’ milikmu mulai terbuka terlalu lebar..