Mohon tunggu...
Putri Rizky
Putri Rizky Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pecandu kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seduhan Teh Paling Sempurna

15 Agustus 2013   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:17 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanpa mengajukan permisi, dia memindahkan ransel di punggungnya ke kursi di seberang saya. Dengan sigap, dia mengambil kursi yang lainnya dan duduk dengan manis di sana sehingga kami pun kini duduk berhadapan.

“Nenek gue juga tahu lo nggak ngerokok.” Dia tertawa kecil.

Terus terang, saya buta harus bersikap apa. Laki-laki ini main duduk tanpa bertanya, melangkahi batas ‘wilayah’ yang tak akan pernah kasat oleh mata siapapun selain saya. Daerah istimewa milik saya, dia masuki begitu saja.

“Tahu darimana?” Cuma pertanyaan bego itu yang akhirnya keluar dari mulut saya, asal ceplos saja entah bagaimana ceritanya.

“Siapa? Nenek gue? Wah, gue belum nanya sih,” sahut dia, sama asalnya dengan saya. “Gue mau ambil kopi. Titip sesuatu? Roti?” Mungkin karena dia tak melihat ada makanan kecil di atas meja.

Saya menggeleng. Ini tak pernah kurang dari cukup; sebuah mug, seperempat gelas susu, segelas air hangat, sepiring nasi goreng dengan telur digoreng mata sapi, dan teh kantong yang akan saya seduh dengan ketepatan sempurna.

Dia kemudian berdiri, berjalan menuju meja tempat minuman hangat bisa langsung dituang. Di sana ada satu ketel isi teh dan satu ketel kopi yang sudah jadi, tamu-tamu hotel tinggal menambah gula atau krimer sesuai selera.

Saya meletakkan kantong teh di dasar mug, lalu menuanginya dengan segelas air hangat. Kata George Orwell, teh terbaik dihasilkan dari seduhan selama tiga menit agar tak terlalu pahit, dan begitulah yang tak pernah luput saya lakukan. Menakar durasinya dengan kepastian yang presisi.

Hmm.. Tak ada yang lebih saya sukai daripada kombinasi ini: pagi hari, menyendiri, dan menunggui segelas teh yang diseduh sampai menginjak titik sempurna.

Beruntung kadar patuh saya dalam ‘upacara’ kecil membuat teh ini tak sampai menandingi Beethoven. Artist jenius itu setiap pagi memilah sendiri keenam puluh biji kopi yang akan diseduhnya. Betul, tepat enam puluh. Saya memilih daun teh sendiri? Terima kasih.

Saya baru saja menekan tombol penghitung waktu mundur di ponsel saat dia kembali dengan cangkir berasap mengepul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun