“Maksud kamu?”
“Ngapain di Bali sendirian? Di kampung juga bisa.”
Saya tertawa.
“Ya kalau bisa sendirian ngapain harus rame-rame?”
Dia menuntaskan sesapan di cangkirnya, lalu balas tertawa. Di sudut bibirnya, saya bisa melihat jejak kopinya yang tertinggal. “Karena there are too many things in this world yang rasanya bukan untuk dinikmati sendirian,” katanya sambil memberi saya senyum kecil. “Lo suka pizza nggak?” tanyanya, sekedar memberi jeda. “Bahkan regular size of pizza aja isinya empat potong sementara perut lo cuma butuh dua slices.” Dia tertawa. “Ngabisin makanan yang lo suka pun lo nggak bisa sendirian.”
Saya mencerna kata-katanya, lalu ikut larut dalam tawa. “Kalau sudah tahu nggak bakal habis, ya bikin pizza sendiri aja. Semua bisa terserah kita. Nggak perlu ikut standar orang.” Heran, saya masih saja membiarkan orang ini mengganggu kualitas waktu saya. “Kita lebih suka mendengarkan apa inginnya orang daripada mencari tahu kemauan sendiri karena buat kita, itu jauh lebih mudah. Iya, kan?”
Tatapannya menjaring milik saya, lalu tawa kami berdua pecah ke udara.
“Daripada repot bikin sendiri, mending gue belajar gimana caranya ngabisin empat slices pizza ajalah.”
Saya terbahak. Dia terkekeh lalu mengusap bibirnya dengan selembar tisu dari atas meja.
“Gue dari Jakarta. Lo?” tanyanya.
“Saya juga,” jawab saya.