**********
Hari berikutnya tiba dengan cepat. Diana merasa gugup sepanjang kuliah, pikirannya terus melayang pada janji pertemuan sore nanti. Ketika kuliah berakhir, Diana berjalan menuju sudut kenangan dengan hati yang berdebar. Novan sudah menunggu di sana, dengan senyum yang selalu membuat Diana merasa tenang. "Hai, Di. Sudah siap untuk bicara?"
Diana duduk di sebelah Novan dan menghela napas dalam-dalam. "Iya, Van. Aku sudah siap. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan."
Novan mengangguk pelan. "Aku juga, Di. Mungkin ini saatnya kita jujur satu sama lain."
Dengan hati yang penuh harapan dan ketakutan, mereka mulai membuka diri. Diana menceritakan perasaannya yang telah lama terpendam, tentang bagaimana ia merasa lebih dari sekadar sahabat bagi Novan. Novan pun mengungkapkan hal yang sama, tentang rasa cinta yang selalu ia coba sembunyikan.
"Aku tahu ini sulit, Di. Tapi aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa aku hanya melihatmu sebagai sahabat," kata Novan dengan suara lirih. Diana menatap mata Novan, melihat kejujuran dan ketulusan di sana. "Aku juga merasakan hal yang sama, Van. Tapi ada banyak hal yang membuat kita ragu, termasuk Raka."
"Satu hal yang pasti, Di," kata Novan akhirnya. "Aku tidak ingin kehilanganmu, apapun yang terjadi."
Diana mengangguk, merasakan kehangatan dalam hatinya. "Aku juga, Van. Kita akan mencari cara, bersama-sama."
Setelah percakapan yang mendalam, Diana dan Novan tahu bahwa jalan yang akan mereka tempuh tidaklah mudah. Hari-hari berlalu dengan cepat dan segera mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa cinta mereka harus diuji lebih jauh terutama oleh keluarga mereka.
Suatu malam Diana pulang ke rumah dan menemukan ibunya, Bu Lestari, sedang menyiapkan makan malam di dapur. Dengan hati-hati Diana memutuskan untuk membuka pembicaraan tentang perasaannya pada Novan.
"Bu, aku ingin bicara tentang sesuatu yang penting," kata Diana pelan sambil membantu ibunya mengiris sayuran. Bu Lestari menatap putrinya dengan penuh perhatian. "Tentu, nak. Ada apa?"