Malam itu, Diana dan Novan kembali bertemu. Mereka tahu bahwa keputusan besar harus diambil, dan itu tidak akan mudah. "Di, aku ingin kamu meraih impianmu. Aku akan mendukung apapun keputusanmu," kata Novan dengan suara berat.
Diana mengangguk, menahan air mata. "Aku juga ingin kamu meraih kesuksesan, Van. Tapi aku tidak tahu bagaimana kita bisa melewati ini."
Dalam keheningan malam, di bawah pohon rindang yang telah menyaksikan banyak cerita mereka, Diana dan Novan merasa terjebak dalam dilema yang sulit. Di satu sisi, ada impian dan karir yang menunggu, di sisi lain ada cinta yang kuat namun penuh tantangan.
"Apapun yang terjadi, kita harus tetap saling mendukung," kata Novan akhirnya.
Diana menggenggam tangan Novan erat-erat. "Ya, Van. Kita harus kuat, apapun yang terjadi."
Dengan hati yang penuh rasa takut dan harapan, Diana dan Novan berdiri di ambang keputusan yang akan mengubah hidup mereka selamanya. Di sudut kenangan ini, mereka berjanji untuk tetap bersama dalam hati, meski jarak dan waktu mungkin memisahkan mereka.
"Diana, aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah meragukan cinta kita," ucap Novan dengan suara hangat. "Apapun keputusanmu, aku akan selalu mencintaimu."
Diana menatap Novan dengan mata penuh air mata. "Aku juga mencintaimu, Van. Tapi aku takut keputusan ini akan memisahkan kita."
Novan menggenggam tangan Diana dengan erat. "Kita tidak akan pernah benar-benar terpisahkan, Di. Kita akan tetap bersama dalam hati kita, apapun yang terjadi."
Mereka berdua saling berpelukan dalam keheningan, merasakan kekuatan dalam cinta mereka yang tak tergoyahkan. Namun, keputusan harus diambil.
Esok paginya, Diana dan Novan bertemu dengan Pak Arif untuk memberikan laporan terakhir tentang proyek akhir mereka. Selesai memberikan presentasi yang solid dan detail, Pak Arif tersenyum puas.