Pelanggaran hukum adat
Pelanggaran terhadap hukum adat, khususnya yang berkaitan dengan silsilah dan marga, membawa konsekuensi yang jauh melampaui sanksi-sanksi adat semata. Implikasinya dapat meluas ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, maupun hukum.
Pengucilan sosial. Sanksi ini bukan sekadar pengusiran fisik, tetapi juga hilangnya jaringan sosial, dukungan ekonomi, dan akses terhadap sumber daya yang selama ini dinikmati anggota masyarakat.
Denda adat. Denda tidak hanya berupa materi, tetapi seringkali juga melibatkan bentuk pelayanan atau kerja bakti yang melelahkan. Ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan mengembalikan keseimbangan sosial.
Sumpah kutukan. Kepercayaan terhadap sumpah kutukan dapat menciptakan tekanan psikologis yang kuat bagi pelanggar dan keluarganya, bahkan memicu konflik internal dalam masyarakat.
Contoh kasus. Di beberapa daerah di Sumatera, pelanggaran terhadap hukum adat terkait perkawinan antar-marga dapat mengakibatkan sanksi pengucilan, di mana individu yang bersangkutan tidak lagi dianggap sebagai bagian dari marga dan keluarganya.
Konflik sosial dan kerusakan jaringan sosial
Pelanggaran hukum adat seringkali memicu perselisihan antar-marga atau kelompok dalam masyarakat. Konflik ini dapat berlarut-larut dan sulit diselesaikan, bahkan dapat berujung pada kekerasan fisik. Selain itu, pelanggaran juga merusak kepercayaan dan solidaritas antar anggota masyarakat, yang pada gilirannya dapat menghambat pembangunan dan kemajuan bersama.
Contoh Kasus. Sengketa tanah adat yang melibatkan klaim silsilah yang berbeda seringkali memicu konflik berkepanjangan di berbagai daerah di Indonesia, bahkan hingga ke ranah hukum formal.
Pelanggaran hukum positif dan implikasinya
Tindak pidana. Selain sanksi adat, pelanggaran hukum adat yang melibatkan unsur-unsur pidana seperti penggelapan, penipuan, atau kekerasan dapat dijerat dengan hukum positif.