Keempat, didominasi fakta, bukan hanya opini atau imajinasi atau perkiraan. Mengubah struktur kumpulan marga, baik yang terikat karena hubungan pertalian darah atau adanya keturunan yang diain atau diangkat, sebaiknya didukung dengan fakta, bukan hanya berlandaskan opini atau imajinasi/khayalan.
Kelima, fakta yuridis. Dalam konteks yuridis, pada prinsipnya yang dapat menggunakan marga, sebagai identitas pada Masyarakat hukum adat, adalah memiliki hubungan darah dengan pewaris (Vide : pasal 832 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau KUHPer atau Burgerlijk Wetboek/BW.
Sebagaimana diketahui BW atau KUHPer di negeri Belanda disusun pada 5 Juli 1830 dan mulai diberlakukan pada 1 Oktober 1838. Sedangkan di Indonesia KUHPer atau BW mulai diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad Nomor : 23, dan mulai berlaku di Indonesia (Hindia Belanda) dengan menggunakan asas konkordansi pada 1 Januari 1848.
Keenam, menggunakan beberapa bukti, baik bukti surat, saksi, petunjuk, maupun pengakuan, persangkaan, sumpah yang memiliki titik saling bersesuain satu sama lain. Alat bukti surat, dengan masuknya beberapa perkara yang terkait dengan masyarakat hukum adat batak Toba di Samosir, Tapanuli, khususnya melalui Pengadilan Negeri Balige dan Pengadilan Negeri Tarutung, sudah semakin memadai. Alat-alat bukti lainnya yang ada di masyarakat hukum adat, khususnya yang bisa diverifikasi adalah Artefak, Tugu Parsadaan Kumpulan Marga atau Toga, Tambak, Makam atau kuburan, dokumentasi acara adat, bangunan, sumber air, perladangan, bangunan tempat tinggal atau rumah dan lain-lain.
Menyusun kembali struktur identitas pada masyarakat hukum adat, seperti silsilah atau tarombo yang diduga menggunakan keterangan palsu atau bukan dengan keterangan yang sebenarnya, tentu terbuka ada resiko hukumnya, baik pada sisi resiko hukum pidana maupun hukum perdata.
Bagi pihak yang dirugikan dari struktur kumpulan marga yang baru disusun, untuk menwujudkan keadilan dan kepastian hukum, maka upaya hukum dari sisi pidana merupakan opsi yang bisa ditempuh.
Sedangkan dalam konteks pemulihan hak atas identitas atau silsilah dalam kumpulan marga dari suatu perubahan struktur kumpulan marga bisa ditempuh melalui upaya hukum gugatan perdata, yaitu perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad ( Vide : pasal 1365 KUHPer).
Dari konteks upaya hukum pidana, atas penyusunan struktur marga baru/toga yang baru yang diduga disusun berdasarkan keterangan yang bukan sebenarnya atau palsu bisa diproses melalui laporan pidana atas membuat keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP) atau menggunakan keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 2 KUHP) dengan ancaman pidana penjara 6 tahun. Pada pasal 263 ayat 1 KUHP dikatakan :"Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun".
Bila akibat pembuatan perubahan struktur kumpulan marga yang dibuat ternyata diduga berakibat pencemaran atau penghinaan bagi pihak lain, terutama bagi pihak yang dirugikan, maka pihak yang membuat struktur kumpulan marga yang baru, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama terbuka dilaporkan atas dugaan pencemaran atau penghinaan, sebagaimana diatur pada pasal 310 KUHP.
Jika konten perubahan struktur marga yang disusun diduga mengandung dugaan pencemaran atau penghinaan (Vide : pasal 310 KUHP) juga didistribusikan melalui saluran eletronik atau teknologi informasi, seperti media sosial (Youtube, Facebook, Twitter, dan lain-lain) maka terbuka juga diproses sesuai dengan bagian sanksi pidana sebagaimana yang diatur pada UU No. 11/2008, yang telah diubah dengan UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang disebut juga UU ITE.