Solusi Schisma Clan di Tanah Batak
Silsilah pada kumpulan marga atau toga merupakan unsur identitas masyarakat hukum adat.
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum adat seperti Desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Huta di Tapanuli, Wanua di Sulawesi Selatan. Silsilah pada kumpulan marga atau toga merupakan unsur identitas masyarakat hukum adat.
Semuanya itu adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.
Bentuk hukum kekeluargaannya (patrilinear, matrilinear, atau bilateral) mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah dengan perburuan binatang liar, pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.
Penghidupan mereka berciri, Komunal di mana gotongroyong, tolong menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar.
Silsilah atau tarombo pada orang Batak Toba terbentuk dan dikembangkan dari suatu masyarakat hukum adat, yang bermula dari huta (perkampungan induk), yang kemudian huta dikembangkan dengan sebutan lain, seperti Lumban, Sosor, Banjar, Lobu, dan lain-lain.
Pada umumnya yang bermukim pada suatu masyarakat hukum adat adalah memiliki pertalian darah (genealogis) secara patrilinear atau berdasarkan garis keturunan ayah. Dengan demikian, suatu marga atau Kumpulan marga memiliki asal perkampungan atau huta, yang disebut juga tempat pamoparan.
Kalau sebuah marga saat ini tidak memiliki perkampungan asal, perlu diverifikasi apakah marga atau kelompok marga tersebut pendatang ke sebuah kumpulan marga atau apakah marga terkait pernah mendapatkan sanksi hukum adat, seperti diasingkan atau dipabali dari sebuah masyarakat hukum adat karena tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum adat atau diduga marga yang tidak mempunyai huta merupakan pendatang atau diain atau dirajahon pada suatu masyarakat hukum adat.
Sampai saat ini masyarakat hukum adat dari segi regulasi diatur baik dalam lingkup internasional, nasional maupun lokal. Dalam pengaturan transnasional, keberadaan masyarakat hukum adat di atur pada 169 Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989. Dalam lingkup nasional di sini, pengaturan tentang masyarakat hukum adat bisa dibaca dari ketentuan pasal 18 B UUD 1945. Disitu disebutkan :"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hakhak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang". Pengaturan yang lain, bisa dibaca pada ketentuan pasal 28 I UUD 1945. Disana dikatakan :"Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban".
Pelanggaran hukum adat
Pelanggaran terhadap hukum adat, khususnya yang berkaitan dengan silsilah dan marga, membawa konsekuensi yang jauh melampaui sanksi-sanksi adat semata. Implikasinya dapat meluas ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, maupun hukum.
Pengucilan sosial. Sanksi ini bukan sekadar pengusiran fisik, tetapi juga hilangnya jaringan sosial, dukungan ekonomi, dan akses terhadap sumber daya yang selama ini dinikmati anggota masyarakat.
Denda adat. Denda tidak hanya berupa materi, tetapi seringkali juga melibatkan bentuk pelayanan atau kerja bakti yang melelahkan. Ini bertujuan untuk memberikan efek jera dan mengembalikan keseimbangan sosial.
Sumpah kutukan. Kepercayaan terhadap sumpah kutukan dapat menciptakan tekanan psikologis yang kuat bagi pelanggar dan keluarganya, bahkan memicu konflik internal dalam masyarakat.
Contoh kasus. Di beberapa daerah di Sumatera, pelanggaran terhadap hukum adat terkait perkawinan antar-marga dapat mengakibatkan sanksi pengucilan, di mana individu yang bersangkutan tidak lagi dianggap sebagai bagian dari marga dan keluarganya.
Konflik sosial dan kerusakan jaringan sosial
Pelanggaran hukum adat seringkali memicu perselisihan antar-marga atau kelompok dalam masyarakat. Konflik ini dapat berlarut-larut dan sulit diselesaikan, bahkan dapat berujung pada kekerasan fisik. Selain itu, pelanggaran juga merusak kepercayaan dan solidaritas antar anggota masyarakat, yang pada gilirannya dapat menghambat pembangunan dan kemajuan bersama.
Contoh Kasus. Sengketa tanah adat yang melibatkan klaim silsilah yang berbeda seringkali memicu konflik berkepanjangan di berbagai daerah di Indonesia, bahkan hingga ke ranah hukum formal.
Pelanggaran hukum positif dan implikasinya
Tindak pidana. Selain sanksi adat, pelanggaran hukum adat yang melibatkan unsur-unsur pidana seperti penggelapan, penipuan, atau kekerasan dapat dijerat dengan hukum positif.
Perdata. Gugatan perdata dapat diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat pelanggaran hukum adat, misalnya gugatan ganti rugi atas tanah atau harta benda.
Administratif. Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masyarakat adat, seperti UU Pokok Agraria, dapat berakibat pada sanksi administratif.
Contoh kasus. Pembalakan liar di hutan adat yang dilakukan oleh oknum tertentu dapat dijerat dengan tindak pidana perusakan lingkungan dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan kehutanan.
Ancaman terhadap keberlangsungan masyarakat hukum adat
Pelanggaran hukum adat yang terus-menerus dapat mengancam eksistensi dan kelangsungan hidup masyarakat adat. Hal ini dapat terjadi karena:
Hilangnya identitas budaya. Pelanggaran terhadap nilai-nilai dan norma adat dapat melemahkan identitas budaya masyarakat adat.
Kerusakan lingkungan. Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan akibat pelanggaran hukum adat dapat merusak lingkungan hidup yang menjadi basis kehidupan masyarakat adat.
Diskriminasi dan marginalisasi. Pelanggaran hukum adat seringkali diiringi dengan diskriminasi dan marginalisasi terhadap masyarakat adat oleh kelompok masyarakat lain.
Upaya Pelestarian
Pengakuan dan penegakan hukum adat: Negara perlu memberikan pengakuan yang lebih kuat terhadap hukum adat dan mengembangkan mekanisme penegakan hukum yang mengakomodasi nilai-nilai keadilan adat.
Pendidikan hukum adat. Pendidikan tentang hukum adat perlu diberikan kepada generasi muda agar mereka memahami dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Penguatan lembaga adat. Lembaga adat perlu diberikan ruang yang lebih luas untuk berperan dalam penyelesaian sengketa dan pengelolaan sumber daya alam.
Kemitraan dengan pemerintah dan swasta. Masyarakat adat perlu menjalin kemitraan dengan pemerintah dan sektor swasta untuk mengembangkan program-program pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis pada nilai-nilai adat.
Dampak
Pelanggaran hukum adat memiliki dampak yang sangat luas dan kompleks. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, menjaga kelestarian budaya dan lingkungan, serta membangun masyarakat yang adil dan bermartabat.
Unsur identitas, dalam masyarakat hukum adat, seperti silsilah/tarombo diteruskan atau diwariskan dari satu generasi ke generasi. Merubah silsilah pada generasi pertama dari suatu kumpulan marga atau toga yang telah berusia sekitar 450 tahun yang lalu dengan asumsi 1 generasi 25 tahun misalnya, tentu haruslah didukung dengan bukti-bukti yang kuat, terutama yang memiliki titik persesuaian satu sama lain, bukan dibangun atau disusun di atas pondasi yang rapuh.
Kalau ada kumpulan marga atau toga, yang berusia sekitar 450 tahun, kalau pun disusun kembali atau dilakukan reformulasi mulai dari generasi I, sudah sebaiknya disusun dengan beberapa prinsip utama.
Pertama, berangkat dari masyarakat hukum adat. Wujud dari masyarakat hukum adat pada Batak Toba, berangkat dari huta atau perkampungan induk dari sebuah marga atau kumpulan marga sebagai episentrum. Sebuah marga yang asli atau memiliki hubungan darah dengan generasi I sebuah marga atau silsilah, harus bisa mempertahankan dan meneruskan huta atau masyarakat hukum adatnya. Kalau ada suatu marga tidak memiliki huta atau tempat pamoparan, maka biasanya ada petunjuk yang perlu diverifikasi, misalnya apakah marga tersebut merupakan pendatang pada sistem sosial masyarakat hukum adat, atau pernah diusir atau dipabali dari sebuah masyarakat hukum adat.
Pada komunitas masyarakat hukum adat Raja Sonang di Kecamatan Onan Runggu, Samosir, diduga ada 4 pendatang dan perlu diverifikasi lebih mendalam, yaitu 1) diduga Hutabalian pada Toga Gultom; 2) diduga Sirahut Hole pada Toga Samosir; 3) diduga Silakkitang Jauh atau sebutan lain pada Toga Pakpahan; 3) diduga Sihapit Saong pada Toga Sitinjak. Pada Dokumen 18 September 1936, didepankan tentang acara adat Raja Bius Toga Gultom, di Onan Runggu, Samosir tentang acara penegasan Hutabalian sebagai marga yang "dirajakan" atau diain pada Toga Gultom (2016 : 9), sehingga Toga atau kumpulan marga Gultom yang keturunannya di awal ada 3 marga menjadi 4, yaitu : a) Gultom Huta Toruan atau Tujuan Laut; b) Gultom Huta Pea; c) Gultom Huta Bagot; d) Gultom Hutabalian.
Penggunaan atau penguasaan bagian dari tanah ulayat (golat) atau tanah parripean, dari suatu marga, diduga anak yang diain atau diangkat pada suatu kumpulan marga adalah dalam status saudara pemukim bersama (dongan parripe pangisi ni golat), tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah ulayat.
Kedua, menjalankan prinsip dalihan na tolu (tunggu nan tiga). Reformulasi susunan Toga atau kumpulan marga, sebaiknya tidak hanya terjadi melului informasi atau bukti dari dongan tubu (saudara), tetapi juga dari sisi Hula-hula maupun Boru dari generasi awal sampai generasi terkini.
Ketiga, susunan dari kumpulan marga yang diubah, dari generasi I sampai dengan generasi terakhir, sudah bisa diverifikasi dan disusun, dengan bukti pendukung. Pada setiap generasi, generasi awal atau pertama, hula-hula sudah jelas. Sebaiknya, dihindari mengubah atau reformulasi struktur kumpulan kalau masih belum terstruktur secara lengkap, karena diduga terbuka mengemuka masalah hukum, baik dalam lingkup perdata maupun pidana.
Keempat, didominasi fakta, bukan hanya opini atau imajinasi atau perkiraan. Mengubah struktur kumpulan marga, baik yang terikat karena hubungan pertalian darah atau adanya keturunan yang diain atau diangkat, sebaiknya didukung dengan fakta, bukan hanya berlandaskan opini atau imajinasi/khayalan.
Kelima, fakta yuridis. Dalam konteks yuridis, pada prinsipnya yang dapat menggunakan marga, sebagai identitas pada Masyarakat hukum adat, adalah memiliki hubungan darah dengan pewaris (Vide : pasal 832 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau KUHPer atau Burgerlijk Wetboek/BW.
Sebagaimana diketahui BW atau KUHPer di negeri Belanda disusun pada 5 Juli 1830 dan mulai diberlakukan pada 1 Oktober 1838. Sedangkan di Indonesia KUHPer atau BW mulai diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad Nomor : 23, dan mulai berlaku di Indonesia (Hindia Belanda) dengan menggunakan asas konkordansi pada 1 Januari 1848.
Keenam, menggunakan beberapa bukti, baik bukti surat, saksi, petunjuk, maupun pengakuan, persangkaan, sumpah yang memiliki titik saling bersesuain satu sama lain. Alat bukti surat, dengan masuknya beberapa perkara yang terkait dengan masyarakat hukum adat batak Toba di Samosir, Tapanuli, khususnya melalui Pengadilan Negeri Balige dan Pengadilan Negeri Tarutung, sudah semakin memadai. Alat-alat bukti lainnya yang ada di masyarakat hukum adat, khususnya yang bisa diverifikasi adalah Artefak, Tugu Parsadaan Kumpulan Marga atau Toga, Tambak, Makam atau kuburan, dokumentasi acara adat, bangunan, sumber air, perladangan, bangunan tempat tinggal atau rumah dan lain-lain.
Menyusun kembali struktur identitas pada masyarakat hukum adat, seperti silsilah atau tarombo yang diduga menggunakan keterangan palsu atau bukan dengan keterangan yang sebenarnya, tentu terbuka ada resiko hukumnya, baik pada sisi resiko hukum pidana maupun hukum perdata.
Bagi pihak yang dirugikan dari struktur kumpulan marga yang baru disusun, untuk menwujudkan keadilan dan kepastian hukum, maka upaya hukum dari sisi pidana merupakan opsi yang bisa ditempuh.
Sedangkan dalam konteks pemulihan hak atas identitas atau silsilah dalam kumpulan marga dari suatu perubahan struktur kumpulan marga bisa ditempuh melalui upaya hukum gugatan perdata, yaitu perbuatan melawan hukum atau onrechtmatige daad ( Vide : pasal 1365 KUHPer).
Dari konteks upaya hukum pidana, atas penyusunan struktur marga baru/toga yang baru yang diduga disusun berdasarkan keterangan yang bukan sebenarnya atau palsu bisa diproses melalui laporan pidana atas membuat keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP) atau menggunakan keterangan palsu (Vide : pasal 263 ayat 2 KUHP) dengan ancaman pidana penjara 6 tahun. Pada pasal 263 ayat 1 KUHP dikatakan :"Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun".
Bila akibat pembuatan perubahan struktur kumpulan marga yang dibuat ternyata diduga berakibat pencemaran atau penghinaan bagi pihak lain, terutama bagi pihak yang dirugikan, maka pihak yang membuat struktur kumpulan marga yang baru, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama terbuka dilaporkan atas dugaan pencemaran atau penghinaan, sebagaimana diatur pada pasal 310 KUHP.
Jika konten perubahan struktur marga yang disusun diduga mengandung dugaan pencemaran atau penghinaan (Vide : pasal 310 KUHP) juga didistribusikan melalui saluran eletronik atau teknologi informasi, seperti media sosial (Youtube, Facebook, Twitter, dan lain-lain) maka terbuka juga diproses sesuai dengan bagian sanksi pidana sebagaimana yang diatur pada UU No. 11/2008, yang telah diubah dengan UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang disebut juga UU ITE.
Pada pasal 27 ayat 3 UU ITE jo pasal 45 ayat 3 UU ITE dikedepankan :"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)".
Jika seseorang atau sekelompok orang membuat struktur kumpulan marga baru diduga mengakibatkan permusuhan atau rasa kebencian, terbuka juga diproses sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat 2 UU ITE jo pasal 45a ayat 2 UU ITE, yang menyatakan :"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Pada Upaya hukum secara perdata atas penyusunan struktur baru kumpulan marga atau toga yang diduga disusun menggunakan keterangan palsu/bukan keterangan yang sebenarnya, dan merugikan pihak lain, maka pihak yang berada di posisi yang dirugikan dapat melakukan gugatan kepada pihak-pihak yang menyusun susunan struktur kumpulan marga tersebut dengan gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur pada pasal 1365 KUHPer. Pada pasal 1365 KUHPer disebutkan :"Setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut".
Menurut Prof Rosa Agutina, SH, suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat, yaitu 1) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2) bertentangan dengan hak subyektif orang lain; 3) bertentangan dengan kesusilaan; 4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Angka 1 dan 2 bersumber pada hukum terulis, sedangkan angka 3 dan 4 bersumber dari hukum tidak terulis. Dalam hukum Indonesia, melawan hukum atau onrechtmatige diartikan sebagai melanggar hukum tertulis dan melanggar hukum tidak tertulis, seperti hukum adat.
Menurut pasal 1372 KUHPer, tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Jika para tergugat, yang membuat struktur kumpulan marga yang baru, yang diduga menggunakan keterangan palsu, berdomilisi di beberapa wilayah hukum, maka berdasarkan pasal 118 HIR/pasal 142 RBg, gugatan dapat diajukan ke salah satu pengadilan negeri tempat tinggal dari para tergugat.
Disamping perlu menyusun dasar gugatan yang kuat, maka arah tuntutan dalam gugatan, antara lain namun tidak terbatas pada : 1) menyatakan perbuatan Para Tergugat membuat struktur kumpulan marga adalah perbuatan melawan hukum; 2) menghukum. Para tergugat tidak diperkenankan menggunakan struktur kumpulan marga yang baru; 3) menghukum para tergugat untuk meminta maaf kepada penggugat pada halaman depan media massa nasional 7 hari berturut-turut; 4) menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi, baik meterial Rp......maupun ganti rugi immaterial Rp........; 5) supaya gugatan tidak sia-sia meletakkan sita jaminan atas aset-aset milik para tergugat (Vide : pasal 1233 KUHPer jo pasal 1131 KUHPer).
Berangkat dari hal tersebut, kalau sampai dilakukan penyusunan kumpulan marga atau toga, maka sebaiknya disusun secara cermat, dengan menjalankan prinsip utama dan memperhatikan potensi resiko hukum yang ada.
Bagaimana membaca dan menjelaskan hal ini terkait adanya schisma dalam clan Pakpahan yang semula Hutaraja-Hutanamora-Lumbanbosi menjadi Hutaraja-Lumbanbosi-Sigodangpouhul. Dapatkah kita menerapkan hukum adat terpapar di atas dalam pengadilan negeri.
Schisma atau perpecahan dalam clan Pakpahan merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor, antara lain perubahan sosial. Modernisasi, urbanisasi, dan pengaruh globalisasi dapat memicu perubahan nilai-nilai dan praktik adat dalam masyarakat hukum adat; konflik kepentingan. Perbedaan pandangan mengenai kepemimpinan, pengelolaan harta bersama, atau hak waris dapat memicu perselisihan; kurangnya dokumentasi. Kurangnya dokumentasi yang akurat dan lengkap mengenai silsilah dan sejarah clan dapat menjadi sumber perdebatan; intervensi pihak luar. Campur tangan pihak luar, seperti konspirasi petinggi pemerintah atau kelompok kepentingan lainnya, dapat memperumit masalah dan memperpanjang konflik.
Penerapan prinsip hukum adat dan hukum positif
Dalam upaya menyelesaikan schisma dalam clan Pakpahan, perlu dilakukan pendekatan yang integratif, yaitu dengan menggabungkan prinsip-prinsip hukum adat dan hukum positif.
Musyawarah-mufakat. Proses pengambilan keputusan harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan melalui musyawarah mufakat untuk mencapai kesepakatan bersama.
Dalihan na tolu. Hubungan sosial antara hula-hula, boru, dan dongan tubu harus menjadi landasan dalam penyelesaian konflik.
Adat parik. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui adat parik dapat menjadi alternatif yang efektif untuk menghindari proses peradilan yang panjang dan melelahkan.
KUHPer. Jika terjadi pelanggaran hukum pidana, seperti pemalsuandokumen atau pencemaran nama baik, maka dapat diajukan tuntutan pidana.
Gugatan perdata. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata untuk meminta ganti rugi.
Mediasi. Proses mediasi dapat difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan.
Contoh kasus dan solusi
Untuk lebih memahami penerapan prinsip-prinsip ini, mari kita tinjau contoh kasus berikut. Misalnya, dalam kasus schisma clan Pakpahan, terdapat perselisihan mengenai hak kepemilikan atas tanah ulayat. Salah satu solusi yang mungkin adalah : Formasi Tim Mediasi. Dibentuk tim mediasi yang terdiri dari tokoh masyarakat yang disegani, tokoh agama, dan ahli hukum adat; Musyawarah. Tim mediasi memfasilitasi musyawarah antara kedua belah pihak untuk mencari titik temu; verifikasi data. Tim mediasi melakukan verifikasi terhadap data-data yang diajukan oleh masing-masing pihak, seperti dokumen kepemilikan tanah, kesaksian para saksi, dan bukti-bukti fisik lainnya; putusan mediasi. Tim mediasi mengeluarkan keputusan mediasi yang mengikat bagi kedua belah pihak; penegakan Keputusan. Jika salah satu pihak tidak mematuhi keputusan mediasi, maka dapat ditempuh jalur hukum.
Dalam upaya menyelesaikan schisma dalam clan Pakpahan, terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi, yaitu kurangnya kesadaran hukum. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang hukum adat dan hukum positif; intervensi politik. Campur tangan pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik dapat memperumit masalah; biaya hukum. Proses hukum yang panjang dan melelahkan dapat menimbulkan biaya yang tinggi.
Solusi yang diperlukan antara lain pendidikan hukum. Melaksanakan program pendidikan hukum adat dan hukum positif bagi masyarakat, terutama generasi muda; penguatan lembaga adat. Memberikan dukungan kepada lembaga adat agar dapat berfungsi secara efektif dalam menyelesaikan sengketa; bantuan hukum. Menyediakan bantuan hukum bagi masyarakat yang tidak mampu untuk mengakses keadilan.
Schisma dalam clan Pakpahan dan clan-clan lainnya merupakan masalah yang kompleks dan membutuhkan solusi yang komprehensif. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip hukum adat dan hukum positif, serta melibatkan semua pihak yang berkepentingan, masalah ini dapat diselesaikan secara damai dan berkeadilan.
Saran tambahan yang per;lu disini antara lain pentingnya dokumentasi. Masyarakat hukum adat perlu membuat dokumentasi yang lengkap dan akurat mengenai sejarah, silsilah, dan adat istiadat; kerjasama antar Lembaga. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah, lembaga adat, dan masyarakat sipil dalam upaya menjaga keharmonisan dan keadilan dalam masyarakat hukum adat; penelitian lebih lanjut. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan schisma dalam masyarakat hukum adat dan upaya-upaya yang efektif untuk mencegahnya.
Kendala dalam menerapkan hukum adat dalam konteks modern
Penerapan hukum adat dalam konteks modern menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks dan saling berkaitan. Tantangan-tantangan ini muncul akibat dinamika sosial, budaya, dan hukum yang terus berubah.
Berikut adalah beberapa kendala utama yang sering dihadapi :
1. Perbedaan paradigma dengan hukum positif
Sumber hukum. Hukum adat umumnya bersifat tidak tertulis dan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, sedangkan hukum positif bersifat tertulis dan terkodifikasi dalam peraturan perundang-undangan. Perbedaan ini seringkali menimbulkan kesulitan dalam mengintegrasikan kedua sistem hukum tersebut.
Konsep keadilan. Konsep keadilan dalam hukum adat seringkali lebih bersifat restoratif dan menekankan pada rekonsiliasi, sementara hukum positif lebih berorientasi pada sanksi dan pembalasan.
Penerapan. Hukum adat seringkali lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang spesifik, sedangkan hukum positif cenderung lebih kaku dan universal.
Contoh konflik antara hak adat masyarakat adat atas tanah dengan peraturan perundang-undangan tentang kepemilikan tanah seringkali terjadi karena perbedaan paradigma dalam memandang hak atas tanah. Hukum adat seringkali mengakui hak kolektif atas tanah, sementara hukum positif lebih menekankan pada hak individu.
2. Perubahan sosial-budaya yang cepat
Modernisasi. Proses modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi telah membawa perubahan yang signifikan pada nilai-nilai, perilaku, dan cara hidup masyarakat adat. Hal ini berdampak pada melemahnya nilai-nilai tradisional yang menjadi dasar dari hukum adat.
Akulturasi. Kontak dengan budaya lain menyebabkan terjadinya akulturasi, sehingga hukum adat mengalami perubahan dan adaptasi.
Contoh, masuknya agama-agama besar ke dalam masyarakat adat seringkali mengubah sistem kepercayaan dan praktik adat yang berkaitan dengan hukum.
3. Kurangnya pengakuan dan perlindungan hukum
Status hukum. Di banyak negara, termasuk Indonesia, status hukum hukum adat masih belum jelas dan seringkali dianggap sebagai hukum yang lebih rendah dibandingkan dengan hukum positif.
Konflik hukum. Kurangnya pengakuan terhadap hukum adat dapat menimbulkan konflik hukum ketika terjadi pertentangan antara hukum adat dan hukum positif.
Contoh, banyak kasus sengketa tanah melibatkan konflik antara hak adat masyarakat adat dengan hak milik berdasarkan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
4. Dokumentasi dan pelestarian yang kurang
Hukum lisan. Sebagian besar hukum adat diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, sehingga sulit untuk didokumentasikan secara tertulis.
Perubahan sosial. Perubahan sosial yang cepat dapat menyebabkan hilangnya pengetahuan tentang hukum adat.
Contoh, banyak hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam telah hilang seiring dengan perubahan cara hidup masyarakat.
5. Kelemahan kelembagaan adat
Kapasitas. Lembaga adat seringkali kekurangan kapasitas untuk menjalankan fungsinya, terutama dalam menghadapi tantangan modern.
Intervensi pihak luar: Lembaga adat seringkali menghadapi tekanan dari pihak luar, seperti pemerintah atau perusahaan swasta, yang dapat mengganggu otonomi mereka. Contoh, banyak kepala desa adat yang tidak memiliki pendidikan formal yang memadai untuk menghadapi permasalahan hukum yang kompleks.
Konsekuensi
Pelemahan identitas budaya. Hilangnya hukum adat dapat menyebabkan melemahnya identitas budaya suatu komunitas.
Konflik sosial. Perbedaan antara hukum adat dan hukum positif dapat memicu konflik di dalam masyarakat.
Eksploitasi sumberdaya alam. Tanpa perlindungan hukum adat yang kuat, sumberdaya alam dapat dieksploitasi secara berlebihan.
Ketidakadilan. Masyarakat adat seringkali menjadi korban ketidakadilan karena hukum adat mereka tidak diakui dan dilindungi.
Upaya mengatasi kendala
Dokumentasi dan digitalisasi. Melakukan dokumentasi dan digitalisasi hukum adat untuk mempermudah pelestarian dan akses.
Pendidikan hukum adat. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hukum adat dan memberikan pendidikan hukum adat kepada generasi muda.
Sinergi antara hukum adat dan hukum positif. Mencari titik temu antara hukum adat dan hukum positif untuk menciptakan sistem hukum yang lebih harmonis.
Penguatan lembaga adat. Memberikan dukungan kepada lembaga adat agar dapat berfungsi secara efektif dalam menjalankan fungsinya.
Perlindungan hukum. Memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap hukum adat dan masyarakat adat.
Penerapan hukum adat dalam konteks modern merupakan tantangan yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Melalui upaya bersama dari berbagai pihak, seperti pemerintah, masyarakat adat, akademisi, dan LSM, kita dapat menemukan solusi yang tepat untuk mengatasi kendala tersebut dan menjaga kelestarian hukum adat.
Lihat :
Joyogrand, Malang, Mon', August 26, 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H