Penguatan lembaga adat. Lembaga adat perlu diberikan ruang yang lebih luas untuk berperan dalam penyelesaian sengketa dan pengelolaan sumber daya alam.
Kemitraan dengan pemerintah dan swasta. Masyarakat adat perlu menjalin kemitraan dengan pemerintah dan sektor swasta untuk mengembangkan program-program pembangunan yang berkelanjutan dan berbasis pada nilai-nilai adat.
Dampak
Pelanggaran hukum adat memiliki dampak yang sangat luas dan kompleks. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, menjaga kelestarian budaya dan lingkungan, serta membangun masyarakat yang adil dan bermartabat.
Unsur identitas, dalam masyarakat hukum adat, seperti silsilah/tarombo diteruskan atau diwariskan dari satu generasi ke generasi. Merubah silsilah pada generasi pertama dari suatu kumpulan marga atau toga yang telah berusia sekitar 450 tahun yang lalu dengan asumsi 1 generasi 25 tahun misalnya, tentu haruslah didukung dengan bukti-bukti yang kuat, terutama yang memiliki titik persesuaian satu sama lain, bukan dibangun atau disusun di atas pondasi yang rapuh.
Kalau ada kumpulan marga atau toga, yang berusia sekitar 450 tahun, kalau pun disusun kembali atau dilakukan reformulasi mulai dari generasi I, sudah sebaiknya disusun dengan beberapa prinsip utama.
Pertama, berangkat dari masyarakat hukum adat. Wujud dari masyarakat hukum adat pada Batak Toba, berangkat dari huta atau perkampungan induk dari sebuah marga atau kumpulan marga sebagai episentrum. Sebuah marga yang asli atau memiliki hubungan darah dengan generasi I sebuah marga atau silsilah, harus bisa mempertahankan dan meneruskan huta atau masyarakat hukum adatnya. Kalau ada suatu marga tidak memiliki huta atau tempat pamoparan, maka biasanya ada petunjuk yang perlu diverifikasi, misalnya apakah marga tersebut merupakan pendatang pada sistem sosial masyarakat hukum adat, atau pernah diusir atau dipabali dari sebuah masyarakat hukum adat.
Pada komunitas masyarakat hukum adat Raja Sonang di Kecamatan Onan Runggu, Samosir, diduga ada 4 pendatang dan perlu diverifikasi lebih mendalam, yaitu 1) diduga Hutabalian pada Toga Gultom; 2) diduga Sirahut Hole pada Toga Samosir; 3) diduga Silakkitang Jauh atau sebutan lain pada Toga Pakpahan; 3) diduga Sihapit Saong pada Toga Sitinjak. Pada Dokumen 18 September 1936, didepankan tentang acara adat Raja Bius Toga Gultom, di Onan Runggu, Samosir tentang acara penegasan Hutabalian sebagai marga yang "dirajakan" atau diain pada Toga Gultom (2016 : 9), sehingga Toga atau kumpulan marga Gultom yang keturunannya di awal ada 3 marga menjadi 4, yaitu : a) Gultom Huta Toruan atau Tujuan Laut; b) Gultom Huta Pea; c) Gultom Huta Bagot; d) Gultom Hutabalian.
Penggunaan atau penguasaan bagian dari tanah ulayat (golat) atau tanah parripean, dari suatu marga, diduga anak yang diain atau diangkat pada suatu kumpulan marga adalah dalam status saudara pemukim bersama (dongan parripe pangisi ni golat), tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah ulayat.
Kedua, menjalankan prinsip dalihan na tolu (tunggu nan tiga). Reformulasi susunan Toga atau kumpulan marga, sebaiknya tidak hanya terjadi melului informasi atau bukti dari dongan tubu (saudara), tetapi juga dari sisi Hula-hula maupun Boru dari generasi awal sampai generasi terkini.
Ketiga, susunan dari kumpulan marga yang diubah, dari generasi I sampai dengan generasi terakhir, sudah bisa diverifikasi dan disusun, dengan bukti pendukung. Pada setiap generasi, generasi awal atau pertama, hula-hula sudah jelas. Sebaiknya, dihindari mengubah atau reformulasi struktur kumpulan kalau masih belum terstruktur secara lengkap, karena diduga terbuka mengemuka masalah hukum, baik dalam lingkup perdata maupun pidana.