Pada pasal 27 ayat 3 UU ITE jo pasal 45 ayat 3 UU ITE dikedepankan :"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)".
Jika seseorang atau sekelompok orang membuat struktur kumpulan marga baru diduga mengakibatkan permusuhan atau rasa kebencian, terbuka juga diproses sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat 2 UU ITE jo pasal 45a ayat 2 UU ITE, yang menyatakan :"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
Pada Upaya hukum secara perdata atas penyusunan struktur baru kumpulan marga atau toga yang diduga disusun menggunakan keterangan palsu/bukan keterangan yang sebenarnya, dan merugikan pihak lain, maka pihak yang berada di posisi yang dirugikan dapat melakukan gugatan kepada pihak-pihak yang menyusun susunan struktur kumpulan marga tersebut dengan gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur pada pasal 1365 KUHPer. Pada pasal 1365 KUHPer disebutkan :"Setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul dari kesalahannya tersebut".
Menurut Prof Rosa Agutina, SH, suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat, yaitu 1) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2) bertentangan dengan hak subyektif orang lain; 3) bertentangan dengan kesusilaan; 4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Angka 1 dan 2 bersumber pada hukum terulis, sedangkan angka 3 dan 4 bersumber dari hukum tidak terulis. Dalam hukum Indonesia, melawan hukum atau onrechtmatige diartikan sebagai melanggar hukum tertulis dan melanggar hukum tidak tertulis, seperti hukum adat.
Menurut pasal 1372 KUHPer, tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Jika para tergugat, yang membuat struktur kumpulan marga yang baru, yang diduga menggunakan keterangan palsu, berdomilisi di beberapa wilayah hukum, maka berdasarkan pasal 118 HIR/pasal 142 RBg, gugatan dapat diajukan ke salah satu pengadilan negeri tempat tinggal dari para tergugat.
Disamping perlu menyusun dasar gugatan yang kuat, maka arah tuntutan dalam gugatan, antara lain namun tidak terbatas pada : 1) menyatakan perbuatan Para Tergugat membuat struktur kumpulan marga adalah perbuatan melawan hukum; 2) menghukum. Para tergugat tidak diperkenankan menggunakan struktur kumpulan marga yang baru; 3) menghukum para tergugat untuk meminta maaf kepada penggugat pada halaman depan media massa nasional 7 hari berturut-turut; 4) menghukum para tergugat untuk membayar ganti rugi, baik meterial Rp......maupun ganti rugi immaterial Rp........; 5) supaya gugatan tidak sia-sia meletakkan sita jaminan atas aset-aset milik para tergugat (Vide : pasal 1233 KUHPer jo pasal 1131 KUHPer).
Berangkat dari hal tersebut, kalau sampai dilakukan penyusunan kumpulan marga atau toga, maka sebaiknya disusun secara cermat, dengan menjalankan prinsip utama dan memperhatikan potensi resiko hukum yang ada.
Bagaimana membaca dan menjelaskan hal ini terkait adanya schisma dalam clan Pakpahan yang semula Hutaraja-Hutanamora-Lumbanbosi menjadi Hutaraja-Lumbanbosi-Sigodangpouhul. Dapatkah kita menerapkan hukum adat terpapar di atas dalam pengadilan negeri.
Schisma atau perpecahan dalam clan Pakpahan merupakan fenomena kompleks yang melibatkan berbagai faktor, antara lain perubahan sosial. Modernisasi, urbanisasi, dan pengaruh globalisasi dapat memicu perubahan nilai-nilai dan praktik adat dalam masyarakat hukum adat; konflik kepentingan. Perbedaan pandangan mengenai kepemimpinan, pengelolaan harta bersama, atau hak waris dapat memicu perselisihan; kurangnya dokumentasi. Kurangnya dokumentasi yang akurat dan lengkap mengenai silsilah dan sejarah clan dapat menjadi sumber perdebatan; intervensi pihak luar. Campur tangan pihak luar, seperti konspirasi petinggi pemerintah atau kelompok kepentingan lainnya, dapat memperumit masalah dan memperpanjang konflik.
Penerapan prinsip hukum adat dan hukum positif