"Ya, iyalah. Kamu kan gundiknya diplomat Perancis!"
Tawa berderai memenuhi kamar luas dan nyaman bernuansa merah muda itu. Namun kehangatan itu lenyap segera. Arin kembali terdiam. Berderai airmata.
Wening panik. "Piye tho?"
"Aku capek, Ning..."
Wening mendekap lembut Arin. Mengalirlah segala isi hati Arin.
"Jadi anakmu masih bersama mantan suamimu yang minta rujuk itu?" simpul Wening. "Eh, mantan suamimu yang pengusaha batubara itu kan?"
"Ya. Dia merasa bisa membeli segalanya. Termasuk diriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa," keluh Arin. "Dengan kelihaian pengacaranya, dia bisa beli putusan pengadilan untuk rebut hak pengasuhan anak dariku. Dan dia pindahkan putriku bersekolah ke Singapura. Sudah dua bulan aku tidak ketemu putriku, Ning!"
Tangis Arin meledak di dada hangat Wening. Gaun tidur Wening basah dengan airmata.
"Padahal setelah bercerai aku sampai jual diri untuk membiayai sekolahnya. Setahun kemudian lelaki itu datang dan merebut segalanya!"
"Yo wis, sing sabar wae," bisik Wening lembut sambil terus membelai.
"Dia gunakan putriku agar aku mau rujuk dengannya. Aku tahu dia sudah tidak cinta aku. Sejak dia selingkuh, aku sudah tahu itu. Apalagi sekarang. Dia pasti jijik padaku.Tapi Nia tak mungkin dimilikinya tanpa memaksaku kembali. Nia sangat dekat denganku,"Arin terus bertutur. "Ning, aku harus bagaimana?"