Ironisnya, di tahun kelima, ketika akhirnya mereka dianugerahi anak, sang suami minggat bersama perempuan lain saat usia Aman belum lagi empat puluh hari.
"Masa' dua puluh ribu aje ga ade sih, Mak?" tanya Aman lirih. "Kan katenye Emak udah nyariin dari minggu kemaren."
Matanya menatap penuh harap. "Aman kan malu ame temen-temen..."
Mpok Nasipe menghela nafas panjang.Â
Dua puluh ribu jumlah kecil buat yang berpunya. Tapi buat buruh cuci berpenghasilan dua ratus ribu sebulan, itu jumlah yang lumayan besar. Penghasilan yang seiprit itu pun harus lihai dibagi-bagi dengan kebutuhan sekolah dan kebutuhan rumah tangga yang saling berebut naik. Meski ia juga cari tambahan dengan menitipkan jualan kue di warung-warung sekitar, tetap saja gak kecandak, tidak tertutupi.
Hanya atas izin Allah ia dan Aman bisa tidak kelaparan meski harus sering berpuasa dan berutang kiri-kanan.
Aman luluh. Tak tega ia melihat emaknya tepekur diam. Berusaha tegar menahan tangis. Kendati ia tahu airmata Emak sudah meluber di pelupuk mata. Tinggal menunggu tumpah. Wajah manis Emak lebih sering mendung karenanya.
"Mak..."
"Maapin Aman," Aman mencium tangan emaknya. "Aman salah udah bikin Emak nangis. Padahal kan Ustaz Rahman bilang Aman kudu jagain Emak. Aman kan anak laki. Betul ye, Mak?"
Mpok Nasipe mengangguk haru. Di bibirnya tersaput senyum bangga.
"Besok Aman diajakin Mamat jualan koran. Mas Joko kan buka usaha agensi koran. Aman boleh jualan, Mak?"tanyanya. "Abis Subuh ame sore kok. Jadi bisa tetep sekolah."