Dyah tersenyum pahit mendengar percakapan mereka. Ditepuknya pundak Tedjo seraya berkata, "Sepertinya bukan kamu pengkhianat itu."
"Karena aku terlalu alim?"
"Karena kamu terlalu goblok," sambar Lukman terkekeh.
Pembicaraan ketiga anak buahnya membuat Aryo kembali bermuram-durja. Seolah kehilangan tenaga, lelaki itu duduk di lantai. Bersandar di dinding.
Dyah merasa khawatir melihatnya. "Kau tidak apa-apa?"
Aryo menatap Dyah. Lalu berganti menatap Lukman dan Tedjo. Akhirnya dia menghela nafas sebelum berkata, "Akulah pengkhianat itu. Akulah yang selama ini memberi informasi kepada tentara Belanda."
Bisa dibayangkan betapa terkejut ketiga bawahannya.
Dengan wajah mendadak gusar, Lukman mau menembak Aryo. Tapi Dyah buru-buru mencegahnya.
"Kenapa?" tanya gadis itu pada Aryo. "Mengapa kau melakukannya?"
Aryo menunduk. Pasrah. "Istriku kena malaria. Parah. Kau tahu sendiri, kita tak punya obatnya. Tapi Belanda-Belanda itu punya. Aku tak punya pilihan lain. Maaf."
"Maaf?" bentak Lukman. "Gara-gara kau, teman-teman kita mati semua. Dan kau cuma bilang maaf?"