......
Fajar menyingsing. Kabut pelan menyingkir. Dari baliknya Dyah tegak melangkah. Di hadapannya membentang satu desa yang nampak masih sepi. Belum terlihat kegiatan apapun.
Gadis itu melangkah ke sana. Bajunya kotor. Robek di sana-sini. Tapi sinar wajahnya lebih terang dari sebelumnya. Seolah peristiwa semalam telah menempanya. Menjadi sesuatu yang berbeda.
Sekonyong-konyong dia berhenti.
Dilihatnya mulai ada pergerakan di desa. Satu-dua bayangan terlihat. Dan terus bertambah. Sekilas mereka seperti penduduk desa. Mungkin memang penduduk desa. Lelaki, perempuan, anak kecil. Keluar dari gubuk-gubuk mereka.
Tapi ada sesuatu yang janggal. Gerakan mereka terhuyung-huyung. Dan saat bayang-bayang tak lagi menutupi, terlihat wujud mereka yang menjijikkan. Tinggal tulang berbalut kulit dan daging yang membusuk.
Mereka pun melihat Dyah.
Seketika mayat-mayat hidup itu berubah gesit. Semua mendadak berlari kencang, saling mendahului. Mulut-mulut tanpa bibir terbuka. Seolah tak sabar untuk menggigit sekujur tubuh Dyah.
Dyah tetap berdiri. Tidak ketakutan. Apalagi menjerit. Dia merogoh kantong celananya. Mengeluarkan tabung keperakan. Senjata makhluk raksasa semalam. Sekarang tangannya tak lagi gemetar saat memegang benda tersebut.
Ketika jarinya menekan kuat, tabung kecil itu memanjang dan berubah menjadi tombak sekaligus pedang. Bilahnya yang transparan diselimuti energi yang panas membara.
Dyah tersenyum. Dia beralih menatap mayat-mayat hidup yang semakin mendekat. Sepasang mata gadis itu bukanlah mata seorang calon korban tanpa daya. Justru sebaliknya.