Dyah tengah berkutat di depan papan kendali. Menyentuh di sana-sini seolah dia tahu persis apa yang dilakukannya.
"Makhluk itu memang datang dari planet lain," kata gadis itu. "Dia kemari untuk menyantap kaum lelaki dan menggagahi perempuannya. Rupanya terjadi kecelakaan dan pesawat ini terpaksa mendarat darurat. Kerusakannya tidak parah. Dan sekarang sudah siap mengudara kembali."
Lukman, yang sedari tadi memandangi Dyah dengan muka keheranan, lagi-lagi bertanya, "Bagaimana...dari mana kau tahu semua itu? Bagaimana kau tahu-tahu bisa menjalankan peralatan aneh ini?"
"Makhluk itu berkomunikasi lewat pikiran. Dia menggunakannya untuk mengontrol perempuan calon korbannya. Itulah yang dia lakukan tadi terhadapku. Beruntung Aryo bisa membunuhnya sebelum benar-benar bisa mengontrol diriku. Tapi sisa pikirannya masih ada di kepalaku. Aku sekarang mengetahui apa yang dia ketahui."
Lukman ternganga. "Dan mayat-mayat hidup itu?"
"Ada kebocoran tenaga saat pesawat ini mendarat darurat. Tenaga itu memancarkan gelombang yang mempengaruhi jazad yang sudah tak bernyawa. Merombak susunan dasarnya. Mengubah mereka menjadi makhluk setengah hidup yang haus darah."
Lukman kehabisan kata-kata. Sarkasmenya hilang musnah.
Tiba-tiba terdengar dengungan keras. Pesawat itu mulai bergetar dan semua peralatan avionik menyala seperti pohon natal.
Lukman makin tercengang. "Apa...apa yang kau lakukan?"
"Aku memberikan perintah kepada pesawat ini untuk terbang setinggi mungkin setelah kita keluar dari sini," jawab Dyah. "Dan setelah mencapai ketinggian aman, pesawat ini akan meledak dengan sendirinya - sesuai perintah yang baru kuberikan."
Lukman terkejab-kejab. "Kenapa kau lakukan itu?"