“Lalu bagaimana dengan rakyat, Indok?”
“Itulah tugas kita. Lindungi mereka yang lemah, jangan sampai ada yang tersakiti, dan jangan sampai kita diketahui,”
“Oke siap, Indok”
Pertemuan dibubarkan, semua kembali ke rumah masing-masing. Tentara NICA seperti biasa, berkeliaran secara bergerombolan tak tahu arah. Yang paling membuat resah adalah tindakannya yang sewenang-wenang kepada rakyat. Mereka memalak, memerintah bahkan memaksa melakukan tindakan yang tidak manusiawi. Bahkan karena mereka kekurangan senjata, mereka sampai menggeledah rumah Risadju karena tahu bahwa Risadju yang selalu mengawali perlawanan pasti memiliki senjata.
“Bongkar semua, jangan sampai terlewat. Pasti ada yang tersembunyi,” perintah para tentara NICA.
“Hei! Apa yang kalian lakukan di rumah Indok kami?!!” teriak salah seorang pemuda.
Tindakan tentara Belanda itu memicu amarah masyarakat. Bukan apa-apa, rumah tersebut rumah yang paling berharga bagi mereka. Rumah orang yang senantiasa membela dan membantu mereka. Penggeledahan yang dilakukan tanpa kejelasan itu berbuah kericuhan. Tentara Belanda didorong mundur dari rumah Opu Risadju. Memang nihil usaha Belanda karena tak ada senjata yang disimpan, namun kerusakan di rumah itu yang paling memicu amarah. Barang-barang berjatuhan seolah sengaja ingin mengobrak-abrik seluruh rumah ketimbang mencari senjata.
Kabar rumahnya digeledah oleh NICA sampai di telinga Risadju. Beliau hanya tersenyum mendengar kabar itu.
“Tidak apa-apa, biarkan saja apa mau mereka, kita sedang menunggu waktu yang pas untuk membalas. Rumahku tidak seberapa berharganya dibanding keberadaan kalian semua,” tenang Risadju.
“Kau benar-benar ibu bagi kami, apapun yang terjadi tak akan pernah kami biarkan begitu saja, Indok,” jawab mereka.
Baru saja selesai urusan di rumah Risadju, ternyata tentara Belanda tak pergi begitu saja. Mereka merasa tidak puas dan pergi ke masjid untuk mencari jawaban di mana keberadaan Risadju dan persenjataannya. Mereka datang ke masjid dengan membawa senjata lengkap, masuk tanpa membuka alas kaki, dan berteriak tanpa tahu diri. Hingga salah satu penjaga masjid menegur kedatangan mereka.