“Hati – hati! Nanti kamu jatuh.”
“Gaakan kok. Sini, Yan. Kamu jarang mandi hujan kan.”
“Kemarin udah, kok. Kalau keseringan nanti bisa bisa aku sakit.”
“Halah, aku udah mandi hujan tiga hari ini. Masih sehat aja”
Aku masih berdiam di bawah payungku yang menangkis air hujan serta ajakannya.
“Ayo!”
Ajakannya ...
“Ayo sini!”
Aku makin memegang erat gagang payungku.
“Yan ... “
Lucu. Suaranya melembut. Sial.
“Ayo Yan. Satu ... Dua ... “
Sebelum dia menyelesaikan perhitungannya itu, aku seketika melempar payung ku dan meloncat ke arahnya.
“Aduh.”
Dia terkena air becekan karena loncatanku.
“Yes. Akhirnya Iyan mandi hujan. Enak, kan?”
“Iya. Kayak lagi mandi.”
“Eh, lihat tuh!” Gadis kecil itu menunjuk ke sebuah genangan air.
“Ayo adu lompat. Siapa yang bisa lompat dari sini ke genangan itu, maka dia yang menang.” Berani sekali aku menantangnya. Mungkin karena dia perempuan, tapi dia lebih kuat dariku.
“Ayo!”
Tentu saja dia menerimanya.
“Aku dulu ya, Yan.”
“Iya, kamu dulu, Re.”
Gadis itu langsung memasang kuda-kuda nya. Kaki menekuk, posisinya absolut, dan mata nya memangsa ganas genangan itu.
“Oke .. Aaaaarrghhh.” Dia berlari sambil berteriak menuju genangan itu dan tak perlu menunggu lama ia langsung melompat dan terdengar suara benda berat yang menghantam air yang menandakan gadis itu berhasil mendarat di genangan.
“Yes. Aku berhasil, Yan.” Gadis itu berteriak dan loncat kegirangan dalam merayakan kemenangannya.
“Aku pasti bisa lebih jauh dari kamu.”
Aku menantangnya.
“Coba saja.”
“Lihat nih ya.”
“Iya ini aku lihat.” Gadis itu berjongkok sambil menampung pipi nya di dua genggaman tangannya. Wajahnya terlihat licik dan remeh.
“Oke ... “ Aku mencoba mengintimasi kuda kudanya. Namun sepertinya tidak bisa absolut sepertinya.
“Aku yang hitung ya.”
“Silakan.”
“Satu ... “
Aku merendahkan badan ku berharap agar larian dan loncatan ku makin kuat.
“Dua ... “
Posisi ku sudah mantap.
“Tiga!”
Aku berlari menembus meteor air ini. Berusaha membelahnya. Tak ada yang bisa menghentikanku.
Dan sampai di satu titik, titik pelompatan.
Aku akan melompat.
“Aduh!”
“Eh, Iyan. Kamu gapapa.”
Aku terpeleset.
“Hahahaha.” Gadis itu menghampiriku ... Tapi hanya menertawakanku.
“Eh, sakit tau!” Geram aku.
“Hahahaha. Lucu aja. Tadi kamu udah keren keren di awal, eh tapi malah kepeleset.”
Aku masih terduduk di tanah sambil menikmati sakit di sekitar pinggang ku dan gadis itu masih berdiri sambil tertawa.
“Hahahaha.”
“Udah ketawanya?”
“Hahaha ... Udah udah. Sini ku bantu.”
Gadis itu menjulurkan tangannya. Aku pun meraihnya.
Clap
Tangan kami pun saling mendekat dan menyatu.
Saat aku berhasil berdiri, tiba-tiba saja gadis ini bertanya, “Cita-cita mu apa, Iyan?” Dia sering sekali menanyakan ini, padahal dia tahu aku susah menjawab pertanyaan ini atau dia bertanya agar bisa memamerkan cita citanya.
“Aku mau menjadi orang yang menyelamatkan banyak orang. Aku ingin menjadi pahlawan.” Aku menjawab ini karena terlihat keren.
“Wah keren. Kalau aku ingin menjadi polwan.”
Iya, dia sudah menyatakan berkali-kali kalau ingin menjai polwan.
“Nanti kita bisa bekerjasama untuk menyelamatkan orang.” Ucap gadis itu sambil membuat bentuk pistol dengan tangannya dan membidik ke arahku.
“Iya, tapi aku yang akan menyelamatkan lebih banyak orang.” Ucap ku.
“Ihhh, aku.”
“Aku.”
“Pasti aku!”
“Aku.”
“Aku.”
“Akuuuuuuuuuuuu.”
Jedarrr
Aneh.
Apa yang sebenarnya terjadi tadi?
Kenapa?
Itu kan ... Kejadian saat kami berusia 6 ... Atau 7?
Aneh.
Itu sudah 20 tahun yang—
“KATAKAN!!!”
Wanita berseragam polisi yang berteriak kepadaku itu menodong sebuah pistol ke arahku.
“Iyan, tolong ... Katakan.”
Lagi. Suara tenang itu menarik ku.
Sorot matanya yang dengan emosional memangsa jiwa ku. Wanita itu menodongkan pistolnya ke arahku dengan postur yang sempurna. Kuda-kuda nya absolut, seperti saat ingin meloncat ke genangan air di saat itu.
Suasana malam ini sama persis seperti saat itu—saat bermain hujan 20 tahun yang lalu, berisiknya rintik hujan yang menghantam tanah, serta wangi petrikor yang mencuat dari fenomena itu. Namun bedanya, kami tidak sedang mandi hujan dengan sengaja atau bahkan bermain lompat genangan. Kondisi kami berdua saat ini sangat kacau, bahkan sepertinya kami sudah tidak berteman. Hawa dingin yang mencekam meliputi kami, anginnya pun terasa sangat cepat seakan akan ingin membawa kami pergi.
“Iyan, aku tak percaya ini dan aku juga tak ingin memercayainya. Namun, mengapa ... Mengapa kamu melakukan ini?” Tanya wanita dengan papan nama di dadanya bertuliskan Revalina Adiputri.
Aku, dengan tangan diatas kepala, memilih diam.
“Kenapa ... Tak menjawab? Bukankah kamu ingin menjadi pahlawan? Kamu ... Kamu akan menyelamatkan banyak orang ... Itu ucapmu.” Air hujan berusaha menyamarkan air matanya, tapi aku masih melihat sedihnya ... Dan kekecewaan.
“Maafkan aku, Reva.” Mungkin ini saatnya aku membalas pertanyaannya.
“Jangan hanya minta maaf. Jelaskan, Aria Nasika.”
Bagaiamana aku menjelaskannya? Apa? Aku harus bilang kalau aku hanyalah korban disini? Aku harus bilang kalau aku dikambinghitamkan? Sungguh, Reva, bukan aku yang mengkorupsi dana untuk korban bencana alam itu. Orang orang diatasku lah yang menggunakan uang itu untuk kebahagiaan mereka, mereka lah penjahatnya. Tapi, aku sudah tak bisa mengatakan ini. Sudah cukup pembelaan ku di awal kasus ini muncul, pembelaan tak akan bisa didengar lagi. Mereka telah menyuap berbagai media dan pihak berwajib agar memberitakan bahwasanya seorang Aria Nasika lah orang yang dengan kejam mengambil uang yang seharusnya bisa digunakan untuk menyelamatkan ribuan orang orang yang terkena musibah itu.
“Padahal kamu bisa menyelamatkan banyak orang. Bukankah itu cita-cita kamu? Menyelamatkan banyak orang.” Suara Reva semakin gemetar, mungkin karena fisiknya harus menampung kekecewaan dan kesedihan ditambah dengan hawa dingin.
“Ah, kamu masih ingat ya.” Iya Reva, seharusnya aku menyelamatkan mereka. Seharusnya aku yang menang karena bisa menyelamatkan ribuan nyawa. Jika saja aku melakukannya, mungkin bisa menyobongkan diriku di depan mu.
“Kamu tahu? Setidaknya ada 300 korban luka luka yang bisa saja terselamatkan. Tapi karena dana untuk obat-obatan di korupsi, mereka menderita hingga akhir hayatnya. Kamu tahu itu kan? Apa kamu tidak tahu sebesar itu efek dari perbuatanmu? Aku mohon setidaknya aku ingin tahu mengapa kamu melakukan ini semua?”
“Reva, bukan aku yang melakukannya.”
“LALU SIAPA?” Suara dia menggelegar, bahkan suara petir tadi kalah kerasnya dengan suara polwan ini.
“Lalu siapa? Tim penyidik sudah mengumpulkan segala barang bukti dan itu semua merujuk padamu ... Oke, oke jika kamu tidak mau jujur padaku. Aku sudah tidak peduli. Aku akan menangkapmu sekarang.” Reva menurunkan pistolnya dan dia perlahan mendekatiku.
Aku ... Aku tidak mau dipenjara, membusuk disana, atau bahkan dijatuhi hukuman mati oleh hakim-hakim korup itu. Aku tidak mau. Apa? Apa yang harus aku lakukan? Aku ... Aku lebih baik mati disini, mati di tanganmu, Reva. Aku lebih baik mati di tangan orang yang kucintai, ketimbang tangan tangan kotor yang memegang “keadilan.” Tapi, bagaimana caranya agar kamu membunuhku sekarang?
“Aku kecewa padamu, Iyan.” Reva semakin mendekat. Kata kata itu keluar dengan dingin terkontaminasi benci, kekecewaan yang sangat dalam.
“Maafkan aku, Reva.” Aku mengambil pistolku yang tergeletak di tanah dan mengarahkannya pada Reva.
Darrr
Aku menembaknya, tapi yang ku tembak ialah seorang polisi yang tentu mudah menghindarinya. Aku berusaha berdiri dan bersiap untuk tembakan kedua tapi sayangnya ...
Darrr
“Arghhhh.” Aku tertembak di bagian pundak. Pistol lepas dari genggamanku.
“Menyerahlah Aria Nasika.” Reva menodongkan pistolnya dengan posisi siaga.
Aku mengeluarkan pisau lipat dari sakuku dan berlari ke arahnya sambil berusaha menghunuskan pisau ini.
“Iyan, berhenti disana!!!”
Aku tetap berlari sekencang mungkin. Membelah hujan dan menebas tatapan kabur dari rintik air.
Reva ...
Bunuh aku.
Darrr
“Ahk ... “
Aku terjatuh.
Aku tak bisa bergerak.
Pandangan ku kabur, darah mengotori baju dan tanah tapi aku masih bisa melihat siluet Reva mendekatiku.
“Ahk ... Sakit.” Reva berusaha menyadarkan kepalaku di pahanya.
“Iyan ... Ke-kenapa? Kenapa kamu melakukan ini?” Dia menangis. Aku bisa melihatnya, melihat air matanya, karena hujan mulai mereda.
Darah terasa mengalir keluar mencari kebebasan dari tubuhku.
“M-maafkan aku, Iyan.” Suaranya tenggelam dalam kesedihan.
“Reva, ja-ja-jangan ... “ Reva, jangan minta maaf. Itulah yang ku ingin katakan.
“Ti-ti-ugh ... Tidak apa-apa.” Aku berusaha menjulurkan tanganku, apakah dia masih ingin menggapai tangan ku?
Clap
Dia meraih tanganku, dia memegang erat tanganku. Tangan kami pun menyatu.
“Kamu ... Kamu menang, Reva. Kamu menyelamatkan lebih ba-banyak orang.”
Wajah Reva semakin tidak jelas di pandanganku.
“Tapi, sungguh aku masih tidak bisa percaya kamu melakukan ini.”
“Ka-kamu mau tahu kenapa aku melakukan ini semua? Kamu lihat ... Ke mobilku.”
Sambil terisak-isak, Reva memalingkan wajahnya ke mobil sedan yang tidak jauh dari posisi kami. Dia tampak masih bingung.
“Reva, maaf. Kamu ... Ugh, jadi membenciku. Tapi, aku ingin kamu tahu kalau aku sangat Mencin ... “
“Iya ... Iya. Aku juga me-mencintaimu, Iyan. Aku ju-juga minta ma-maaf.” Dia masih menangis.
Aku senang mendengar kata kata itu darinya. Ah ... Wajahnya semakin memudar dari pandanganku ... Suaranya ... Aku tidak bisa mendnegarnya lagi. Reva ...
Reva ...
Reva ...
Selamat tinggal.
-
(Untuk lanjutan nya dapat dilihat pada bagian Respon, tepatnya di bawah bagian Tag. Terima kasih)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H