“KATAKAN!!!”
Wanita berseragam polisi yang berteriak kepadaku itu menodong sebuah pistol ke arahku.
“Iyan, tolong ... Katakan.”
Lagi. Suara tenang itu menarik ku.
Sorot matanya yang dengan emosional memangsa jiwa ku. Wanita itu menodongkan pistolnya ke arahku dengan postur yang sempurna. Kuda-kuda nya absolut, seperti saat ingin meloncat ke genangan air di saat itu.
Suasana malam ini sama persis seperti saat itu—saat bermain hujan 20 tahun yang lalu, berisiknya rintik hujan yang menghantam tanah, serta wangi petrikor yang mencuat dari fenomena itu. Namun bedanya, kami tidak sedang mandi hujan dengan sengaja atau bahkan bermain lompat genangan. Kondisi kami berdua saat ini sangat kacau, bahkan sepertinya kami sudah tidak berteman. Hawa dingin yang mencekam meliputi kami, anginnya pun terasa sangat cepat seakan akan ingin membawa kami pergi.
“Iyan, aku tak percaya ini dan aku juga tak ingin memercayainya. Namun, mengapa ... Mengapa kamu melakukan ini?” Tanya wanita dengan papan nama di dadanya bertuliskan Revalina Adiputri.
Aku, dengan tangan diatas kepala, memilih diam.
“Kenapa ... Tak menjawab? Bukankah kamu ingin menjadi pahlawan? Kamu ... Kamu akan menyelamatkan banyak orang ... Itu ucapmu.” Air hujan berusaha menyamarkan air matanya, tapi aku masih melihat sedihnya ... Dan kekecewaan.
“Maafkan aku, Reva.” Mungkin ini saatnya aku membalas pertanyaannya.
“Jangan hanya minta maaf. Jelaskan, Aria Nasika.”