Bagaiamana aku menjelaskannya? Apa? Aku harus bilang kalau aku hanyalah korban disini? Aku harus bilang kalau aku dikambinghitamkan? Sungguh, Reva, bukan aku yang mengkorupsi dana untuk korban bencana alam itu. Orang orang diatasku lah yang menggunakan uang itu untuk kebahagiaan mereka, mereka lah penjahatnya. Tapi, aku sudah tak bisa mengatakan ini. Sudah cukup pembelaan ku di awal kasus ini muncul, pembelaan tak akan bisa didengar lagi. Mereka telah menyuap berbagai media dan pihak berwajib agar memberitakan bahwasanya seorang Aria Nasika lah orang yang dengan kejam mengambil uang yang seharusnya bisa digunakan untuk menyelamatkan ribuan orang orang yang terkena musibah itu.
“Padahal kamu bisa menyelamatkan banyak orang. Bukankah itu cita-cita kamu? Menyelamatkan banyak orang.” Suara Reva semakin gemetar, mungkin karena fisiknya harus menampung kekecewaan dan kesedihan ditambah dengan hawa dingin.
“Ah, kamu masih ingat ya.” Iya Reva, seharusnya aku menyelamatkan mereka. Seharusnya aku yang menang karena bisa menyelamatkan ribuan nyawa. Jika saja aku melakukannya, mungkin bisa menyobongkan diriku di depan mu.
“Kamu tahu? Setidaknya ada 300 korban luka luka yang bisa saja terselamatkan. Tapi karena dana untuk obat-obatan di korupsi, mereka menderita hingga akhir hayatnya. Kamu tahu itu kan? Apa kamu tidak tahu sebesar itu efek dari perbuatanmu? Aku mohon setidaknya aku ingin tahu mengapa kamu melakukan ini semua?”
“Reva, bukan aku yang melakukannya.”
“LALU SIAPA?” Suara dia menggelegar, bahkan suara petir tadi kalah kerasnya dengan suara polwan ini.
“Lalu siapa? Tim penyidik sudah mengumpulkan segala barang bukti dan itu semua merujuk padamu ... Oke, oke jika kamu tidak mau jujur padaku. Aku sudah tidak peduli. Aku akan menangkapmu sekarang.” Reva menurunkan pistolnya dan dia perlahan mendekatiku.
Aku ... Aku tidak mau dipenjara, membusuk disana, atau bahkan dijatuhi hukuman mati oleh hakim-hakim korup itu. Aku tidak mau. Apa? Apa yang harus aku lakukan? Aku ... Aku lebih baik mati disini, mati di tanganmu, Reva. Aku lebih baik mati di tangan orang yang kucintai, ketimbang tangan tangan kotor yang memegang “keadilan.” Tapi, bagaimana caranya agar kamu membunuhku sekarang?
“Aku kecewa padamu, Iyan.” Reva semakin mendekat. Kata kata itu keluar dengan dingin terkontaminasi benci, kekecewaan yang sangat dalam.
“Maafkan aku, Reva.” Aku mengambil pistolku yang tergeletak di tanah dan mengarahkannya pada Reva.
Darrr