Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) Pelaksanaan program bimbingan dan konseling di sekolah dasar; 2)
Hambatan guru berlatar belakang pendidikan non bimbingan konseling sebagai pelaksana program bimbingan dan
konseling di sekolah dasar; 3) Solusi guru berlatar pendidikan non bimbingan konseling dalam melaksanakan program
bimbingan dan konseling di sekolah dasar. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Teknik
pengumpulan yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi serta validitas data dilakukan dengan
triangulasi sumber dan teknik. Hasil penelitian ini adalah: 1) Pelaksanaan program bimbingan dan konseling dilaksanakan
oleh guru kelas dalam bimbingan pribadi, karier, dan belajar; 2) Hambatan yang dialami guru kelas lulusan non bimbingan
konseling adalah belum mampu menguasai kompetensi profesional, pengalaman yang masih kurang, pemberian layanan
kepada peserta didik masih secara instan tidak menggunakan mekanisme yang sesuai, serta program bimbingan konseling
yang belum terstruktur dan terorganisir; 3) Solusi yang didapatkan dari guru kelas lulusan non bimbingan konseling adalah
harus diberikan pembelakan kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki sebagai seorang pelaksana program bimbingan
konseling dari tenaga ahli profesional, selalu berkomunikasi dengan orang tua untuk bekerja sama terkait perkembangan
dan masalah anak, serta kemampuan guru kelas yang masih kurang akan bertambah dari hasil pengalaman yang dilalui.
Kata Kunci: bimbingan konseling, hambatan guru, pelaksana program
Abstract
This research aims to describe: 1) Implementation of the guidance and counseling program at elementary school; 2) Nonguidance and counseling educational teacher's barriers in implementing guidance and counseling programs at elementary
school; 3) Solutions for non-guidance and counseling education teachers in implementing the guidance and counseling
program at elementary school. This research types is qualitative with descriptive design. The collection techniques used
are documentation, observation, interview and the data's validity is done by triangulation of sources and techniques. The
results of this study are: 1) Guidance and counseling program implemetation's done by classroom teachers in personal,
career, and study guidance; 2) Obstacles experienced by non-counseling graduate teachers are unable to master
professional competence, lack of experience, instant service delivery to students does not using appropriate mechanisms,
and counseling guidance programs are not structured and organized; 3) The solution is that they must be given defense of
the competencies that must be possessed as an executor of the counseling guidance program from professional experts,
always communicate with parents regarding to the development and problems of children, and the lack ability of the
teachers will increase from the results of the experience they passed.
Keywords: counseling guidance, teacher barriers, program implementers
PENDAHULUAN
Menurut keberadaan seorang konselor di dalam tatanan sistem pendidikan sama-sama memiliki
pekerjaan yang sama halnya dengan fasilitator, instruktur, tutor, widyaiswara, pamong belajar, konselor,
dosen, guru, maupun istilah lainnya yang atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6. Pada dasarnya seorang guru pada bidang bimbingan
dan konseling adalah guru yang memiliki kemahiran serta kompetensi khusus yang tidak dimiliki guru lain.
Menjadi guru bimbingan dan konseling sudah pasti harus mahir dalam beberapa kemampuan dasar tahapan
belajar serta pengaplikasian aktivitas pendukung, metode, serta pendekatan dalam layanan konseling
(Nurrahmi, 46:2015). Keahlian professional konselor mencakup kapabilitas tingkah laku profesi, kapabilitas
keterampilan/keahlian, serta kapabilitas pengetahuan. Sesuai dengan pernyataan Permendiknas No. 27 tahun
2008 bisa ditarik kesimpulan bahwa seseorang yang berprofesi sebagai konselor wajib mempunyai 4 (empat)
kemampuan yakni, kompetensi pedagogik, professional, sosial, serta kepribadian pada saat melakukan proses
bimbingan dan konseling. Pada lingkup konseling terdapat 2 individu yang terlibat yaitu konselor dan konseli.
Kesenjangan yang terjadi adalah kegiatan pelaksanaan program layanan konseling maupun bimbingan
di sekolah dasar belumlah ditangani oleh tenaga profesional lulusan pendidikan bimbingan dan konseling.
Kemudian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia juga belum memberikan peraturan
yang berisi kewajiban setiap sekolah dasar harus ditangani oleh tenaga profesional lulusan Sarjana Pendidikan
(S-1) dari jurusan Bimbingan dan Konseling dalam pelayanan program terkait. Hal ini dijelaskan pada
Permendiknas Nomor 111 Tahun 2014 Pasal 11 Ayat 1, dimana konselor pada peranan yang tidak mempunyai
kapabilitas dari segi akademis (S1) di jurusan bimbingan serta konseling serta kemampuan konselor, dengan
berkala akan dimaksimalkan kemampuannya seturut dengan kebijakan undang-undang. Maka dari itu
pemberian bimbingan konseling di SD yang masih ditangani oleh guru kelas akan menjadi tidak optimal
terutama dalam kompetensi profesional, apabila mengacu pada Permendiknas Nomor 111 Tahun 2014 Pasal
11 Ayat 1 dapat disimpulkan bahwa guru kelas yang memberikan pelayanan program bimbingan konseling
akan mendapatkan kompetensi secara bertahap dari pengalaman selama menjadi guru kelas dan menjadi guru
bimbingan dan konseling di sekolah dasar.
Permasalahan yang terjadi pada tenaga pendidik berlatar belakang lulusan non bimbingan konseling
adalah rendahnya wawasan pengetahuan yang tidak dibekali sewaktu menempuh pendidikan. Sehingga ketika
pendidik berlatar belakang non bimbingan konseling tersebut membantu memecahkan masalah dari konseli
hasilnya tidak akan maksimal, bahkan tidak jarang ditemukan saat membantu memecahkan masalah pendidik
tersebut mengalami kesulitan dan tidak menemukan karakteristik sebagai seorang konselor. Menurut
(Sapriandi 2018) Perbuatan itu tidak menggambarkan individu seorang guru bimbingan konseling dimana ciri
khas dirinya tidak maksimal yang bisa memunculkan masalah baru seperti kurangnya minat siswa dalam
menggunakan atau memanfaatkan fasilitas layanan bimbingan konseling tersebut. Pemerintah mengeluarkan
peraturan dan kebijakan dan perlu untuk menyediakan konselor untuk sekolah dasar dan membantu dengan
fasilitas yang dibutuhkan dalam melangsungkan pembinaan sekolah serta layanan dari konselor (Fathoni
2021).
Kemampuan yang wajib individu konselor miliki yakni kemampuan professional serta akademis yang
menjadi sebuah kesatuan. Kemampuan akademis akan menjadi sebuah acuan ilmiah dari tujuan
dilaksanakannya layanan professional konseling serta bimbingan tersebut. Kemampuan akademis tersebut
dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu: 1) Pengembangan professionalitas serta kepribadian pembimbing
dengan berkesinambungan, 2) Penyelenggaraan layanan bimbingan serta konseling yang membuat mandiri, 3)
Penguasaan dasar serta rangka teoritis bimbingan serta konseling, serta 4) Pemahaman yang menyeluruh atas
individu yang dibimbingÂ
Menurut (Zuchdi. 3: 2014) menyatakan, tingkatan pendidikan di Indonesia memiliki 3 (tiga) kategori
utama yakni informal, nonformal, serta formal dan tingkatan yakni anak usia dini, dasar, menengah, serta
tinggi yang meliputi yang meliputi pendidikan dasar (SD dan SMP) dan pendidikan menengah (SMA dan
SMK). Namun dari 4 (empat) jenjang tersebut hal yang paling banyak menemui kendala atau masalah dalam
bidang bimbingan dan konseling terdapat di tahap sekolah dasar (SD/MI). Hal tersebut bisa terjadi
dikarenakan bimbingan dan konseling yang dilakukan pada jenjang tersebut dilakukan oleh guru mata
pelajaran atau guru pamong. Pada jenjang sekolah dasar masih banyak bidang bimbingan yang tidak diatasi
atau dikelola oleh tenaga lulusan murni dari pendidikan bimbingan dan konseling.
Pada saat ini, banyak penelitian tentang "Perbandingan Kompetensi Kepribadian Guru Bk Antara
Lulusan Pendidikan Bimbingan Konseling dengan Non Bimbingan Konseling", Studi Riska Amelia dan Abu
Bakar (2018) menjelaskan, dimana penanggungjawab Bimbingan dan Konseling (BK) yang mempunyai latar
belakang lulusan jurusan BK memiliki keunggulan pada kemampuan sikap dan perilaku daripada pembimbing
bimbingan konseling yang latar belakang Lulusan Pendidikan Non Bimbingan Konseling. Dari hasil tersebut,
ada beberapa permasalahan yaitu diidentifikasi bahwsanya SDN di daerah itu tidak mempunyai pembimbing
khusus dalam mendukung wali kelas untuk mengatasi persoalan murid-murid.
Pada saat ini, banyak penelitian tentang "Tata laksana pelayanan BK Oleh Guru Kelas Di Sekolah
Dasar Negeri Kecamatan Pecalungan Kabupaten Batang", Penelitian Pranoto (2015) menjelaskan, guru kelas
sebaiknya senantiasa mengoptimalkan mutu tata laksana pelayanan Bimbingan dan Konselng (BK) untuk
murid-murid yang dibimbingnya dengan memaksimalkan kemampuan diri melalui metode memperkaya
wawasan tentang tata laksana BK di SD. Dari hasil tersebut, ada beberapa permasalahan yaitu bagaimana guru
lulusan non bimbingan konseling yang tidak memiliki kompetensi khusus dalam menghadapi masalahmasalah siswa sehari-hari.
Kebaruan dari penelitian ini yaitu untuk memperluas dan mengkolaborasikan dengan studi yang sudah
dilangsungkan terdahulu. Pada studi terdahulu lebih mengarah terhadap aspek pelayanan, namun penelitian ini
mengarah pada aspek hambatan yang dialami oleh guru lulusan non bimbingan konseling dan penelitian yang
sebelumnya mengarah pada jenjang pendidikan yang luas, namun penelitian ini hanya tertuju pada jenjang
Sekolah Dasar (SD).
Dari banyaknya sekolah dasar yang tidak memiliki tenaga pendidik dari lulusan pendidikan bimbingan
konseling (non Bimbingan Konseling) memberikan efek yang kurang maksimal pada saat memberikan
masukan kepada konseli sebagai individu yang membutuhkan perkaitan berkaitan dengan persoala yang
dialami serta memerlukan pertolongan dari konselor dalam menyelesaikannya. Maka cara alternatif yang bisa
dilaksanakan yakni melalui metode meningkatkan kompetensi dari guru tersebut dan menempatkan tenaga
profesional berlatar pendidikan bimbingan konseling agar dapat memberikan pelayanan bantuan dengan
maksimal.
METODE PENELITIAN
Studi ini memanfaatkan metode kualitatif. Sugiyono (9:2017) menyatakan, studi kualitatif merupakan
metode riset yang didasaro oleh konsep postpositivisme, dimanfaatkan dalam penelitian untuk keadaan objek
alami dimana penulis adalah selaku komponen utama. Metode perolehan data dilaksanakan dengan
gabungan/triangulasi, sementara analisa data memiliki sifat kualitatif/induktif, dimana hasil penelitian
kualitatif lebih mengutamakan arti dari pada asumsi. Desian studi yang dimanfaatkan yakni studi kasus.
Pendekatan kualitatif diharapkan bisa memberikan hasil penjelasan menyeluruh mengenai tingkah laku,
tulisan, maupun ucapan yang bisa ditinjau dari seseorang, komunitas, penduduk, hingga instansi tertentu.
Peneliti mengedepankan pencatatan dengan penjelasan yang menyeluruh, dalam, serta lengkap untuk
mengilustrasikan kondisi yang sesungguhnya demi memperkuat data yang ditampilkan (Nugrahani, 96:2014).
Lokasi riset ini di SDN 01 Dersono yang berlokasi di Dusun Dlisen, Desa Dersono, Kecamatan
Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Sasaran penetian ini tertuju kepada kepala sekolah, guru kelas
bawah dan kelas atas, serta peserta didik SDN 01 Dersono. Metode perolehan yang dimanfaatkan yakni
dokumentasi, observasi, wawancara, dan analisis data yang dilaksanakan yaitu perolehan informasi, reduksi
informasi, penyajian informasi serta pengambilan simpulan. Keabsahan data yang memanfaatkan triangulasi
metode serta sumber. Kemudian untuk metode analisa data adalah mengumpulkan data, penyajian data,
reduksi data, serta pengambilan kesimpulan (verifikasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kehadiran konselor pada tatanan edukasi nasional disebut-sebut menjadi contoh alasan yang sejalan
dengan mutu pengajar, yang setara dengan persyaratan dosen, guru, instruktur, fasilitator, widyaiswara, tutor,
serta pamong belajar pada Undang-Undang nomor 20 Pasal 1 Ayat 6 Tahun 2003. Tetapi terdapat berbagai
tantangan yang konselor hadapi saat memberikan pelayanan BK (Nurrahmi, 2015). Pada dasarnya di sekolah
dasar, guru bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga menjadi seorang konselor. Hasil pengamatan yang
diperoleh dari dokumentasi, observasi, maupun wawancara. Hasil penelitian diperoleh dari wawancara dengan
kepala sekolah, satu guru kelas atas, dan satu guru kelas bawah.
Pelaksanaan program Bimbingan dan Konseling (BK) di Sekolah Dasar
1. Guru lulusan non bimbingan konseling sebagai pelaksana program BK
Pada dasarnya, semua sekolahan dasar di Indonesia mayoritas yang melakukan program BK adalah wali
kelas yang sudah pasti bukan tenaga ahli profesional lulusan bimbingan konseling. Berdasarkan pada hasil
observasi, wawancara serta dokumentasi di SDN 01 Dersono, guru kelas selain menjadi pendidik juga turut
adil sebagai pelaksana dalam pemberian pelayanan BK bagi murid-murid di sekolah terkait. Hal itu
dikarenakan belum adanya guru murni lulusan bimbingan konseling. Pengajar yang juga berperan menjadi
guru BK itu mengatakan belum pernah menempuh pendidikan mengenai tata laksana program bimbingan
dan konseling, maka dari itu akan berdampak atas kualitas pelayanan BK (Batubara & Ariani 2018).
2. Bidang pelayanan yang diberi guru lulusan non Bimbingan Konseling (BK) untuk murid-murid
Menurut penelitian Nasution & Abdillah (65:2018) dan Handaka & Maulana (229:2017) menyatakan,
bahwa bidang layanan BK mencakup 4 macam layanan, yakni: bidang bimbingan konseling pribadi, bidang
bimbingan konseling sosial, bidang bimbingan konseling belajar, serta bidang bimbingan konseling karier.
Dari hasil wawancara yang diperoleh dari satu pendidik kelas atas, satu pendidik kelas bawah, dan kepala
sekolah, empat macam bidang layanan tersebut semuanya diberikan kepada peserta didik, yaitu: 1) Bidang
layanan pribadi yang bertujuan untuk menekankan pada pendidikan karakter dan kedisiplinan masingmasing peserta didik, 2) Bidang layanan sosial yang bertujuan untuk menekankan pembekalan kehidupan
bersosial yang sehat dan positif, sehingga anak memiliki bekal untuk mampu memilih kehidupan sosial yang
baik, 3) Bidang layanan belajar yang bertujuan untuk mendukung murid-murid supaya meraih pertumbuhan
yang pesat dalam perkembangan kognitif, agar tidak memberikan hambatan untuk tumbuh kembang siswa
untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan dari materi yang diberikan, dan 4) Bidang layanan karier yang
bertujuan guna mendukung pertumbuhan pengertian serta penerimaan atas individu pribadi dalam
menumbuhkan kesadaran akan dampak dari perbuatan, jadi anak dibiasakan untuk memikiran dengan baik
atas keputusan yang diambil. Contohnya seperti menentukan jenjang pendidikan setelah lulus dari sekolah
dasar, menentukan cita-cita, dan lain-lain
Hambatan guru dengan latar belakang edukasi non Bimbingan Konseling (BK) sebagai pelaksana
program BK di Sekolah Dasar
1. Program BK belum terstruktur serta terprogram
Dalam tahap program BK di SD Negeri 01 Dersono yang dilakukan oleh wali kelas (lulusan non
bimbingan konseling), diperoleh hasil bahwa pelaksanaan program tersebut kurang terprogram, terstruktur,
dan belum optimal. Sejalan dengan penelitian dari Amala & Kaltsum (2021) menyatakan bahwa, guru kelas
tidak melakukan tanggung jawabnya secara maksimal sebab banyaknya pekerjaan wali kelas serta
kurangnya durasi dalam tindak lanjut atas masalah siswa. Sedangkan menurut Djehaut (88:2013)
menyatakan, bahwa jenis program yang harus dibuat oleh guru bimbingan konseling yaitu ada lima macam,
dari kelima program tersebut saling terkait atau terikat, yaitu: 1) Program per hari, 2) Program per minggu,
3) Program per bulan, 4) Program per semester, dan 5) Program per tahun. Sejalan dengan penelitian
Penelitian Agustin, Setiyadi, dan Puspita (2020) menyatakan, sebaiknya segera ditindak lanjuti dalam
merancang program program BK yang tepat untuk murid SD.
2. Mekanisme pemberian layanan BK belum mumpuni
Dalam sebuah pelaksanaan kegiatan pasti akan menggunakan mekanisme kegiatan agar tujuan yang
direncakan dan diinginkan akan dapat tercapai. Dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling juga ada
mekanisme pelaksanaan kegiatan. Menurut Saring Marsudi (102-1172018) dan Murfiah D. Wulandari
(2018) menyatakan, bahwa tata laksana dilangsungkannya program BK mencakup enam macam, yaitu:
analisa keperluan, perancangan, tata laksana, penilaian, pelaporan, serta penindaklanjutan. Akan tetapi, hasil
pengamatan yang diperoleh menyimpulkan bahwasanya wali kelas lulusan non bimbingan konseling tidak
menggunakan mekanisme yang tepat saat memberikan pelayanan kepada peserta didik, melainkan hanya
menggunakan cara instan saja. Hal tersebut dikarenakan minimnya pengalaman yang dimiliki.
3. Kompetensi yang wali kelas lulusan non bimbingan konseling miliki masih kurang
Kompetensi yang wali kelas lulusan non bimbingan konseling miliki masih kurang. Kembali lagi bahwa
guru kelas bukanlah tenaga profesional atau guru yang murni lulus dari pendidikan bimbingan konseling.
Berdsarkan hasil wawancara dua guru kelas atas dan bawah disekolah tersebut, kurangnya kompetensi yang
dimiliki dikarenakan tidak adanya pembekalan sewaktu pendidikan dan beliau juga mengakui bahwa
dulunya hanya lulusan dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG), kecuali kepala sekolah. Sekolah Pendidikan
Guru (SPG) adalah sekolah menengah kejuruan yang melatih calon guru untuk memenuhi kebutuhan guru di
sekolah yang didirikan baik oleh pemerintah maupun yayasan. Kemudian kompetensi yang wajib dimiliki
oleh tenaga ahli bimbingan konseling adalah aspek tingkah laku profesi, aspek keterampilan/kemahiran,
aspek ilmu pengetahuan (Nurrahmi, 46:2015).
Solusi guru berlatar pendidikan non bimbingan konseling dalam melaksanakan program BK di
Sekolah Dasar
1. Membenahi pelaksanaan program BK secara terstruktur dan terprogram
Solusi pertama yang menjadi solusi adalah dengan membenahi manajemen tata laksana layanan BK
dengan terstruktur serta terprogram. Penjelasannya adalah walaupun tata laksana program BK di SDN 01
Dersono masih dilakukan oleh wali kelas lulusan non bimbingan konseling, setidaknya program ini
mendapatkan perhatian khusus dengan cara membuat program-program per hari, per minggu, per bulan, per
semester, hingga per tahun. Agar perencanaan pemberian layanan BK bisa terjadwal serta terstruktur dengan
baik sejalan dengan hal yang diperlukan oleh murid-murid. Selain itu, walaupun telah membuat program
kegiatan serta mampu memanajemen dengan baik seharusnya tetap ada evaluasi kegiatan agar
mengidentifikasi efektivitas pelayanan dari pelaksanaanya, mengidentifikasi efektivitas pelayanan dari hasil,
dan mengetahui program tersebut memberikan hasil yang menjanjikan atau tidak ada perbedaan. Hal
tersebut sejalan dengan opini (Wihyanti, Subiyantoro, dan Fadhilah et al (2019) yang menjelaskan. bahwasanya program pelayanan BK haruslah terstruktur dan berurutan agar tata laksananya berlangsung
dengan sesuai dan teratur.
2. Menggunakan mekanisme yang benar pada pengadaan program BK
Berikutnya yakni dengan menggunakan mekanisme yang benar dalam memberikan bimbingan kepada
peserta didik. Mekanisme yang semestinya yaitu menganalisis keperluan, perancangan, tata laksana,
penilaian, pelaporan, serta penindaklanjutan. Dengan kekurangan yang ada, setidaknya jika melakukan
program sesuai dengan teori yang ada maka bisa mempermudah menemukan jalan keluar dari persoalan
yang dialami oleh murid. Agar pemberian program BK kepada murid-murid bisa mewujudkan target serta
fungsi bimbingan konseling yang semestinya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Ngalimun
(140:2014) menyatakan, bahwa layanan BK mengharapkan agar instansi pengelola dapat mengusahakan
pencapaian keefektivan serta keefisienan target yang sudah ditentukan.
3. Meningkatkan kompetensi guru lulusan non bimbingan konseling
Sebagai salah satu cara peningkatan kompetensi guru kelas (lulusan non bimbingan konseling) yaitu,
dengan mengikuti pelatihan, workshop, penelitian, dan lain-lain. Menurut penelitian Finishia (2020)
menyatakan, diadakan pelatihan bagi guru kelas yang mengikuti pelatihan untuk melaksanakan program BK
di SD dan memiliki sertifikat guna memaksimalkan keterampilan menghadapi permasalahan siswa. Dengan
tujuan, guru mampu memiliki pengalaman dan komptensi dari hasil ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Sesuai dengan pendapat Widodo (2019) menjelaskan bahwasanya layanan BK adalah aspek kesatuan dengan
edukasi, selaku sistem pendukung dalam membantu siswa mencapai keberhasilan belajarnya di sekolah,
menyelesaikan perkembangan, serta mempersiapkan masa depan dan kariernya sehingga para peserta didik
bisa mencapai keberhasilan hidup yang bermakna.
4. Bekerjasama serta melakukan komunikasi dengan orang tua murid
Menurut Djehaut (2013) menyatakan, bahwa program BK merupakan subsistem edukasi (Guidance as
a sub system of education) yang memiliki kaitan satu sama lain serta berlangsung simultan dalam
mewujudkan target edukasi yang lebih menyeluruh. Dalam pelaksanaanya guru tidak hanya melaksanakan
tugas sendiri, melainkan melibatkan pihak lain. Contohnya di sekolah, kepala sekolah juga menyatakan
bahwa beliau juga turut serta membatu guru kelas memberikan pelayanan bimbingan konseling kepada
peserta didik. Kemudian agar bimbingan lebih efektif, maka bimbingan tidak hanya dilakukan di lingkup
sekolah saja, saat di rumah mereka juga harus mendapat bimbingan dari masalah yang sedang dialami
melalui bantuan dan peranan aktif dari orangtua atau perwakilan murid. Pada hal ini guru kelas wajib
senantiasa melakukan komunikasi serta koordinasi dengan wali dari peserta didik, berkonsultasi atas
masalah yang dialami, dan saling bertukar pendapat agar masalah terselesaikan.
KESIMPULAN
Menurut hasil penjabaran mengenai hambatan guru berlatar pendidikan non bimbingan konseling
sebagai pelaksana program BK di Sekolah Dasar Negeri 01 Dersono, dapat ditarik kesimpulan bahwa masih
perlu diperhatikan dan direncanakan dengan dengan baik agar program BK mampu memberikan hasil yang
optimal untuk pelaksanaan program tersebut dan juga untuk peserta didik. Dari bermacam rintangan serta
permasalahan yang dialami guru kelas lulusan non bimbingan konseling saat memberikan layanan BK, seperti
bimbingan konseling yang belum terstruktur serta terprogram, mekanisme pelaksanaan program BK kepada
peserta didik yang belum mumpuni, dan kompetensi yang dimiliki guru belum mumpuni dapat diselesaikan
dengan meningkatkan kompetensi guru, merencanakan program dengan matang, serta selalu berkoordinasi
melalui bantuan orang tua. Selain itu guru yang berlatar belakang lulusan non bimbingan konseling
melakukan kerja sama untuk menyukseskan program bimbingan konseling di Sekolah Dasar Negeri 01
Dersono. Solusi lainnya adalah dengan mengadakan sosialisasi dengan tenaga ahli untuk menambahkanÂ
pengalaman, pembekalan, dan kemampuan kepada guru kelas lulusan non bimbingan konseling. Dengan
tujuan akhir guna mewujudkan target pendidikan serta target program BK yang telah direncanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, M., Setiyadi, R., & Puspita, R. D. (2020). Burnout Profile of Elementary School Teacher Education
Students (Estes): Factors and Implication of Guidance and Counseling Services. PrimaryEdu - Journal
of Primary Education, 4(1), 38. https://doi.org/10.22460/pej.v4i1.1640
Amala, A. K., & Kaltsum, H. U. (2021). Peran Guru sebagai Pelaksana Layanan Bimbingan dan Konseling
dalam Menanamkan Kedisiplinan Bagi Peserta Didik di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 5(6), 5213--
5220. https://doi.org/https://doi.org/10.31004/basicedu.v5i6.1579
Djehaut, S. H. (2013). Pengantar Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar (Asnawan (ed.); Cetakan II).
Absolute Media.
Fathoni, A., Muhibbin, A., Arifin, Z., Habiby, W. N., & Ismail, M. E. (2021). Implementation of guidance and
counselling services to Muhammadiyah elementary schools, Surakarta, provincial central Java,
Indonesia.
Kasetsart Journal of Social Sciences,
42(1), 177--184.
https://doi.org/10.34044/j.kjss.2021.42.1.28
Finishia, F. T., Hidayah, N., & Rahman, D. H. (2020). The Urgency of Guidance and Counseling at the
Elementary School. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 501(Icet), 162--
166. https://doi.org/10.2991/assehr.k.201204.028
Hamdan Husein Batubara, D. N. A. (2018). Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar.
Jurnal Bimbingan Dan Konseling Sekolah Dasar,
3(April 2018), 447--452.
https://doi.org/10.17977/jptpp.v3i4.10744
Henni Syafriana Nasution, A. (2018). Bimbingan Dan Konseling. Konsep,Teori, dan Aplikasinya (M. Dr.
Rahmat Hidayat (ed.)). Lembaga Peduli Pengembangan Pendidikan Indonesia (LPPPI).
Irvan Budhi Handaka, C. M. (2017). Peran Guru Bimbingan dan Konseling dalam Implementasi Gerakan
Literasi Nasional. Prosiding Seminar Bimbingan Dan Konseling, 1, 227--237. https://doi.org/Tersedia
Online di http://pasca.um.ac.id/conferences/index.php/snbk ISSN 2579-9908
Murfiah D. Wulandari, S. M. (2018). Layanan Konseling SD (Cetakan I). Surakarta Muhammadiyah
University Press.
Ngalimun. (2014). Bimbingan Konseling di SD/MI Suatu Pendekatan Proses (Juairiah (ed.)). CV. Aswaja
Pressindo.
Nugrahani, F. (2014). Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa (Vol. 1, Issue 1).
Nurrahmi, H. (2015). Kompetensi Profesional Guru Bimbingan dan Konseling. Jurnal Dakwah Alhikmah, 45--
55.
Pranoto, W. H. (2015). Pelaksanaan Layanan Bimbingan Dan Konseling Oleh Guru Kelas Di Sekolah Dasar
Negeri Kecamatan Pecalungan Kabupaten Batang. Universitas Negeri Semarang.
http://lib.unnes.ac.id/21724/1/1401411583-s.pdf
Riska Amelia, Abu Bakar, F. (2018). Perbandingan Kompetensi Kepribadian Guru Bk Antara Lulusan
Pendidikan Bimbingan Konseling dengan Non Bimbingan Konseling (Suatu Penelitian di SMA Negeri
Kota Banda Aceh). (JIMBK) Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling), 3(April), 105--112.
http://www.jim.unsyiah.ac.id/pbk/article/view/3594
Sapriandi, Amri, A., & Nurdin, S. (2018). Kesulitan yang Dihadapi Guru BK Berlatar Pendidikan Non BK
dalam Menangani Masalah Siswa. (JIMBK) Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling, 3, 8--
15. http://www.jim.unsyiah.ac.id/pbk/article/view/361