Mohon tunggu...
nida fadhilah
nida fadhilah Mohon Tunggu... Akuntan - mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembaharuan PPN 11% Sejak Tahun 1 April 2022

5 Juli 2024   21:58 Diperbarui: 5 Juli 2024   22:29 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) (Pajak O. , 2023). Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah konsumen akhir.

Pajak  pertambahan  nilai  ialah  pajak  konsumsi,  dimana  pajak  pertambahan  nilai ditujukan kepada konsumen yang menggunakan barang kena pajak ataupun jasa kena pajak yang  menjadi  objek  pada  penelitian  ini.  Subjek  pajak  pertambahan  nilai  ialah  pengusaha kena  pajak  (PKP)  yaknipengusaha  yang  melakukan  penyerahan  barang  kena  pajak  serta jasa  kena  pajak  berdasarkan  peraturan  perundang-undangan.  pajak  pertambahan  nilai mengalami kenaikan dari 10% menjadi 11% per 01 April 2022. Kenaikan PPN memicu pro dan kontra, (Siahaan, 2023).

PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk menghindari penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean), baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa (Waluyo B. , 2022).. Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (daerah pabean), baik konsumsi BKP maupun JKP (Sunardi, S., Damayanti, TW, Supramono, S., & Hermanto, YB, 2022).

Apabila dilihat dari sejarahnya, pajak pertambahan nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan (Anindyajati, 2022). Alasan pengertian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.

Berdasarkan penjelasan (Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009) Tentang perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pada bagian umum, PPN adalah pajak konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.

Dasar hukum PPN terdapat dalam (Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009) tentang perubahan ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983, yang mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) barang dan jasa serta pajak penjualan atas barang mewah. PPN merupakan instrumen penting dalam meningkatkan penerimaan negara dan memastikan pemerataan pembebanan pajak di dalam negeri.

Pajak penjualan mempunyai kelemahan, yaitu (Mardiasmo, 2009):

Adanya pajak ganda.

Macam- macam tarif, sehingga menimbulkan kesulitan.

Tidak mendorong ekspor.

Belum dapat mengatasi penyelundupan.

Sedangkan pajak pertambahan nilai (PPN) memiliki kelebihan yaitu:

Menghilangkan pajak ganda.

Mengunakan tarif tungggal sehingga mudah pelaksanaannya.

Netral dalam pesaingan dalam negeri, perdagangan nasional.

Netral pola konsumsi dan mendorong ekspor.

2.1.2 Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Berlakunya UU No. 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 kemudian diubah menjadi UU No. 11 Tahun 1994, dan yang terakhir diubah lagi dengan UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah. aturan pelaksanaan terakhir diatur pada UU No. 42 Tahun 2009. Dengan UU No. 8 Tahun 1983 dipungut pajak pertambahan nilai dan penjualan atas barang mewah. Perbedaan utama pajak pertambahan nilai dari peredaran dan pajak penjualan 1951 adalah tidak adanya unsur pajak berganda.

Undang-Undang yang mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) barang dan jasa serta pajak penjualan atas barang mewah adalah undang- undang No. 8 Tahun 1983 kedua pajak ini merupakan sebagai pajak yang dipungut atas konsumsi dalam negeri. khususnya terhadap penjualan atau penyerahan barang mewah selain dikenakan pajak pertambahan nilai juga dikenalkan pajak penjualan atas barang mewah.

Dalam undang-undang ditemukan bahwa UU PPN diberlakukan 1 juli tahun 1984, dengan praturan pemerintah penganti UU (PERPEU) No. 1 Tahun 1984. Mulainya berlaku UU PPN ditangguhkan sampai tanggal 1 Juli 1986, dan ditetapkan peraturan pemerintah.

2.1.3 Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2.1.3.1 Subjek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan pajak tidak langsung, artinya pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga. pihak-pihak yang mempunyai kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terdiri atas:

Pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak didalam daerah pabean dan melakukan ekspor barang kena pajak berwujud/barang kena pajak tidak berwujud/jasa kena pajak.

Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusa kena pajak (PKP).

2.1.3.2 Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) selalu mengalami perubahan seiring dengan diberlakukannya UU baru. UU No. 42 Tahun 2009 yang berlaku mulai 1 April 2010. PPN dikenakan atas:

Penyerahan BKP didalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

Impor BKP.

Penyerahan JKP didalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Ekspor BKP Berwujud oleh PKP.

Ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP.

Ekspor JKP oleh PKP.

2.1.4 Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak

2.1.4.1 Barang Kena Pajak

Menurut UU No. 42 Tahun 2009 pasal 1 angka (3) barang kena pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU.

BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN (Agustina, 2020).

BKP adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN dan PPnBM (Putri V. G., 2022).

2.1.4.2 Jasa Kena Pajak

Menurut UU No. 18 Tahun 2000 dan No. 42 Tahun 2009 pasal 1 angka (6) PKP adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau memberi kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan dan bahan dan petunjuk pemesan.

UU PPN No. 42 Tahun 2009 menjelaskan bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) dan atau penyerahan jasa kena pajak (JKP) yang tergolong pengusaha kecil tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (Putri N. M., 2022).

2.1.5 Pengecualian Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak

2.1.5.1 Pengecualian Barang Kena Pajak

Pada dasarnya semua barang adalah barang kena pajak, kecuali Undang-undang menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan atas kelompok- kelompok barang sebagai berikut:

  • Barang hasil pertambangan, penggalian dan pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti minyak tanah, gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara, biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, biji perak,dll.
  • Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran.
  • Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak.
  • Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).

2.1.5.2 Pengecualian Jasa Kena Pajak

Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh UU PPN. Pada UU No. 42 Tahun 2009. Kelompok jasa yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa kesenian dan hiburan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parker, jasa telepon dengan uang logam, jasa penerimaan uang dengan wesel pos, jasa boga atau catering (Supadmi, 2009).

2.1.6 Pajak Pertambahan Nilai yang Tidak Dipungut

Pajak pertambahan nilai (PPN) yang tidak dipungut atas impor barang kena pajak (BKP) tertentu yang dibebaskan Bea masuk. Keputusan menteri keuangan No.231/PMK.03/2001 tanggal 30 april 2001 sebagaimana telah diubah dengan peraturan menteri keuangan No.616/PMK.03/2004 tanggal 30 desember 2004, yaitu:

Atas impor barang kena pajak yang dibebaskan dari pungutan bea masuk tetap dipungut.

Menyimpang dari ketentuan diatas sehingga barang kena pajak yang dibebaskan dari pungutan bea masuk, tidak dipungut bea masuk.

2.1.7 Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

Menurut  Undang-Undang  Pajak  Pertambahan  Nilai  No.7  Tahun  2021,  Direktorat Jendral  Bea  dan  Cukai.  Tarif    pengenaan  pajak  pertambahan  nilai  semula  10%  naik menjadi 11% per 01 April 2022. (Andika, 2022)

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah harga jual atau penggantian atau nilai impor atau nilai ekspor atau nilai lain yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang yaitu:

Harga Jual (DPP untuk BKP) adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Penggantian (DPP untuk penyerahan (JKP) adalah nilia berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut UU PPN dan PPnBM.

Nilai Impor yang menjadi dasar DPP adalah harga patokan impor atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar perhitungan bea masuk ditambah dengan semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Pabean.

Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir.

Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan. Nilai lain yang ditetapkan sebagai DPP adalah sebagai berikut :

Untuk pemakaian sendiri BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;

Untuk pemberian cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;

Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalaj perkiraan Harga Jual Rata-Rata.

Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;

Untuk persediaan BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;

Untuk asset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang PPN atas perolehan asset tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar;

Untuk kendaraan bermotor bekas adalah 10% (sepuluh persen) dari harga jual;

Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 11% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;

Untuk jasa pengiriman paket adalah 11% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;

Untuk jasa anak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon;

Untuk penyerahan BKP dan/atau JKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan/atau JKP antar cabang adalah harga jual atau pengganti setelah dikurangi laba kotor;

Untuk penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.

2.1.8 Faktur Pajak

Faktur Pajak adalah bukti pemunggutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan jasa kena pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bea cukai. (pasal 1 angka 23 UU PPN, pasal 1 butir 4 PMK No. 84/PMK/.03/2012 dan pasal 1 butir 4 per DJP No.24/PJ/2012).

Dengan pengertian ini dapat dianggap bahwa jika wajib-wajib baik orang pribadi maupun badan kalau sudah memiliki Faktur Pajak dianggap telah membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui pemungutan PKP penjual.

Faktur Pajak adalah bukti pungutan yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bea dan Cukai (Waluyo E. , 2009) P. Ada beberapa Faktur Pajak yang harus di buat yaitu:

  • Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.
  • Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelumnya penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan penyerahan /atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).
  • Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagai tahap perkerjaan.
  • Saat Pengusaha Kena Pajak (JKP) rekanan penyampaikan Tagihan kepada bendahara pemerintah sebagai pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Jenis Faktur Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan pasal 13 UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) No. 42 Tahun 2009 Faktur Pajak dapat berupa menjadi:

Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang bentuk isinya ditentukan oleh peraturan Undang-undang serta untuk mengkreditkan Pajak Keluran dan Pajak Masukan untuk bukti pajak tersebut. Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyarahan BKP atau penyerahan JKP meliputi:

  • Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP/JKP.
  • Nama, alamat dan NPWP pembeli BKP/JKP.
  • Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian serta potongan harga.
  • PPN yang dipungut.
  • PPnBm yang dipungut.
  • Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.
  • Nama dan jabatan serta tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
  • Dokumen tertentu yang ditetapkan Faktur Pajak standar, berdasarkan UU Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009 pasal 13 ayat (6) dengan keputusan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) No. KEP.522/PJ/2000 diubah menjadi No. KEP.312/PJ/2001 ditetapkan sebagai Faktur Pajak Standar:

Pemberian impor barang dilampirkan Surat Setoran Pajak (SSP) atau bukti pemungutan pemungutan pajak oleh Direktorat Jenderal bea cukai untuk impor Barang Kena Pajak (BKP).

Pemberitahuan ekspor barang yang dibuat oleh pejabat yang berkuasa Direktorat Jenderal bea cukai, yang dilampirkan dengan invoice merupakan kesatuan yang terpisah dari pemberitahuan ekspor barang.

Ciri-Ciri Faktur Pajak Pertambahan Nilai

Ciri-ciri faktur PPN diantaranya yaitu sebagai berikut:

  • Diisi dengan data yang tidak benar
  • Data yang tidak benar bisa berupa nomor seri Faktur Pajak yang salah, dan NPWP yang tidak benar.
  • Diisi tidak lengkap
  • Dalam pengisian Faktur Pajak yang tidak lengkap dimana baris atau kolom teryata tidak diisi kecuali kolom PPnBM yang di sediakan untuk diisi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Dalam pengisian tidak lengkap dapat berupa:
  • Baris Nomor Pokok Wajib Pajak, (NPWP) pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak.
  • Jabatan penandatangani Faktur Pajak diisi.
  • Pada baris jumlah Harga/Pengantian/Uang muka/Termin tidak dicoret pada bagian kalimat yang tidak perlu.
  • Tanda tangan mengunakan cap tanda tangan.
  • Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar. Faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha yang belum/tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).

Faktur Pajak yang Dianggap Tidak Sah

Berdasarkan ketentuan SE-132/PJ/2010, Faktur Pajak yang tidak sah sebagai berikut:

  • Faktur Pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya.
  • Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
  • Faktur pajak yang terbitkan oleh WP yang alamatnya tidak diketahui atau tidak dikenal.
  • Faktur pajak yang diterbitkan oleh WP yang mengunakan nama.
  • NPWP dan NPPKP memiliki orang pribadi atau badan lainya.

2.1.9 Perkreditan Pajak Masukan

Dalam menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam satu masa pajak, perlu diperhatikan Pajak Masukannya terlebih dahulu Berdasarkan Pasal 1 ayat (24) UU PPN, Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusahan Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.

Mekanisme pengkreditan Pajak Masukan menurut UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) No. 42 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

2.1.9.1 Prinsip Pengkreditan Pajak Masukan

Pajak Masukan dalam satu masa pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa pajak yang sama (Pasal 9 ayat 2 ).

Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu masa pajak, maka pajak masukan tetap dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat 2a).

Apabila dalam suatu masa pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah pajak masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak (pasal 9 ayat 3).

Apabila dalam suatu masa pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak Masukan yang dapat diminta kembali atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya (Pasal 9 ayat 4).

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (Pasal 9 ayat 5 jo ayat 8 huruf b).

  • Meskipun berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan penyerahan Kena Pajak, dalam hal-hal tertentu tidak kemungkinan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan (Pasal 9 ayat (8) dan Pasal 16 b ayat (3)).

Pengkreditan Pajak Masukan terdiri atas (Gustian, 2020):

Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk pajak yang sama (Pasal 9 ayat 2 Undang-undang PPN).

Bagi PKP yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terhutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.

Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).

Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.

Apabila dalam suatu masa pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

2.1.9.2 Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan

Kriteria umum bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan adalah apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

  • Memenuhi Persyaratan Formal
  • Tercantum dalam Faktur Pajak Standar atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  • Pajak Masukan dan Pajak keluaran dalam masa pajak yang sama atau dalam masa pajak yang tidak sama sepanjang belum melampaui bulan ketiga setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan dengan ketentuan belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
  • Memenuhi Persyaratan Materil
  • Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
  • Belum dikenakan biaya.

Pajak Masukan yang dimaksud pada UU No. 42 Pasal 9 (4) adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. dalam suatu Masa Pajak dapat terjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran. Kelebihan Pajak Masukan tersebut tidak dapat diminta kembali pada Masa Pajak yang bersangkutan, tetapi dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Contoh: 

Masa Pajak oktober 2012 Pajak keluaran

=

Rp 2.000.000,00

Pajak masukan yang dapat dikreditkan

=

Rp 4.500.000,00(-)

Pajak lebih dibayar

=

Rp 2.500.000,00

Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak November 2012.

Masa Pajak November 2012 Pajak keluaran

=

Rp 3.000.000,00

Pajak masukan yang dapat dikreditkan

=

Rp 2.000.000,00(-)

Pajak kurang dibayar

=

Rp 1.000.000,00

Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak oktober 2012 yang dikompensasikan ke Masa Pajak november 2012 = Rp 2.500.000. Jadi pajak yang lebih dibayar masa pajak november 2012 adalah:

Rp 2.500.000,00 -- Rp 1.000.000,00 = Rp 1.500.000,00

Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke masa pajak desember 2012.

2.1.9.3 Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan

Pajak Masukan (PM) bagi pengeluaran untuk perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai JKP.

Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan BKP/JKP yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.

Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk pembelian atau pemeliharaan kendaraan bermotor berbentuk sedan, jeep, station wagon, van dan komni kecuali sebagai barang dagangan atau disewakan ( Pasal 9 ayat (6) huruf c UU PPN).

Pajak Masukan atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.

Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana.

Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5).

Pajak Masukan yang pembayarannya ditagih menggunakan surat ketetapan pajak.

Pajak Masukan yang tidak dilaporkan SPT Masa PPN, yang ditentukan dalam pemeriksaan.

Pajak masukan atas perolehan BKP/JKP yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan penyerahaan yang dibebaskan dari penggenaan pajak (Pasal 16 b ayat 3).

Sesuai dengan sistem sel assessment, PKP wajib melaporkan seluruh kegiatan usahanya dalam SPT Masa PPN. Selain itu, kepada PKP juga telah diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN sehingga sudah selayaknya jika Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN tidak dapat dikreditkan.

Contoh: 

Dalam SPT Masa PPN dilaporkan:

Pajak keluaran = Rp. 10.000.000,00

Pajak masukan = Rp. 8.000.000,00

Dari hasil pemeriksaan diketahui:

Pajak keluaran = Rp. 15.000.000,00

Pajak masukan = Rp. 11.000.000,00

Hal ini, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tidak sebesar Rp. 11.000.000,00, tetapi tetap sebesar Rp. 8.000.000,00 sesuai dengan yang dilaporkan SPT Masa PPN. Dengan demikian, perhitungan hasil pemeriksaan adalah:

Pajak Keluaran -- Pajak Masukan

= Rp 15.000.000,00 - Rp 8.000.000,00

= Rp 7.000.000,00

Kurang Bayar menurut hasil pemeriksaan

=

Rp 7.000.000,00

Kurang Bayar menurut SPT Masa

=

Rp 2.000.000,00(-)

Masih kurang dibayar

=

Rp 5.000.000,00

2.1.10 Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Yang wajib menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah:

Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Pemungut PPN/PPnBM adalah:

Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.

Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pertamina.

BUMN/BUMD.

Bank Pemerintah.

2.1.11 Sistem Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Menurut (Putu Ayu Fitriani, 2022) Sistem pemungutan pajak merupakan sebuah mekanisme yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar wajib pajak ke negara di Indonesia, berlaku 3 jenis sistem pemungutan pajak, yakni:

Self Assessment System.

Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan penentuan besaran pajak yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Dengan kata lain, wajib pajak merupakan pihak yang berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan besaran pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui sistem administrasi online yang sudah dibuat oleh pemerintah.

Peran pemerintah dalam sistem pemungutan pajak ini adalah sebagai pengawas dari para wajib pajak. Self Assessment system diterapkan pada jenis pajak pusat. Contohnya adalah jenis pajak PPN dan PPh. Sistem pemungutan pajak yang satu ini mulai diberlakukan di Indonesia setelah masa reformasi pajak pada 1983 dan masih berlaku hingga saat ini.

Namun, terdapat konsekuensi dalam sistem pemungutan pajak ini. Karena wajib pajak memiliki wewenang menghitung sendiri besaran pajak terutang yang perlu dibayarkan, maka wajib pajak biasanya akan mengusahakan untuk menyetorkan pajak sekecil mungkin. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak Self Assessment yaitu:

Penentuan besaran pajak terutang dilakukan oleh wajib pajak itu sendiri.

Wajib pajak berperan aktif dalam menuntaskan kewajiban pajaknya mulai dari menghitung, membayar, hingga melaporkan pajak.

Pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak, kecuali  jika wajib pajak telat lapor, telat bayar pajak terutang, atau terdapat pajak yang seharusnya wajib pajak bayarkan namun tidak dibayarkan.

Official Assessment System.

Official Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang membebankan wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus atau aparat perpajakan sebagai pemungut pajak. Dalam sistem pemungutan pajak Official Assessment, wajib pajak bersifat pasif dan pajak terutang baru ada setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus.

Sistem pemungutan pajak ini bisa diterapkan dalam pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB) atau jenis pajak daerah lainnya. Dalam pembayaran PBB, KPP merupakan pihak yang mengeluarkan surat ketetapan pajak berisi besaran PBB terutang setiap tahunnya. Jadi, wajib pajak tidak perlu lagi menghitung pajak terutang melainkan cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP tempat objek pajak terdaftar. Ciri-ciri sistem perpajakan Official Assessment yaitu:

Besarnya pajak terutang dihitung oleh petugas pajak.

Wajib pajak sifatnya pasif dalam perhitungan pajak mereka.

Pajak terutang ada setelah petugas pajak menghitung pajak yang terutang dan menerbitkan surat ketetapan pajak.

Pemerintah memiliki hak penuh dalam menentukan besarnya pajak yang wajib dibayarkan.

Withholding Assessment System.

Pada Withholding System, besarnya pajak dihitung oleh pihak ketiga yang bukan wajib pajak dan bukan juga aparat pajak/fiskus. Contoh Witholding System adalah pemotongan penghasilan karyawan yang dilakukan oleh bendahara instansi terkait. Jadi, karyawan tidak perlu lagi pergi ke KPP untuk membayarkan pajak tersebut. Jenis pajak yang menggunakan withholding system di Indonesia adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan PPN.

Sebagai bukti atas pelunasan pajak dengan menggunakan sistem pemungutan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam beberapa kasus tertentu, bisa juga menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti potongan tersebut nantinya akan dilampirkan bersama SPT Tahunan PPh/SPT Masa PPN dari wajib pajak yang bersangkutan.

2.1.12 Sistem Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Salah satu kewajiban Wajib Pajak Badan sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dari konsumen atas barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang dihasilkan oleh Badan. Sebagai Pengusaha Kena Pajak, Anda diwajibkan untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas transaksi yang telah dilakukan baik sebagai penjual maupun pembeli.

Terdapat 2 jenis PPN, yaitu PPN Masukan dan PPN Keluaran. PPN Masukan dibayar ketika PKP membeli, memperoleh atau membuat produk. Sementara itu, PPN Keluaran dipungut ketika PKP menjual produk.

Tarif Pengenaan PPN

Tarif umum 11%, tarif khusus atas ekspor BKP = 0%. Tarif PPN ini bersifat proporsional atau sepadan, tidak progresif (berlapis) seperti tarif PPh.

Dasar Pengenaan PPN

Menurut  Undang-Undang  Pajak  Pertambahan  Nilai  No.7  Tahun  2021,  Direktorat Jendral  Bea  dan  Cukai.  Tarif    pengenaan  pajak  pertambahan  nilai  semula  10%  naik menjadi 11% per 01 April 2022. (Andika, 2022)

E-Faktur Sebagai Pra-syarat Pelaporan PPN atau SPT Masa PPN Oleh Wajib Pajak

SPT Masa PPN merupakan bentuk laporan PPN yang wajib diisi dan dilaporkan Pengusaha Kena Pajak setiap bulannya. Form pelaporan ini digunakan untuk melaporkan penghitungan jumlah pajak, baik untuk Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang.

Menggunakan Aplikasi e-Faktur (Membuat Faktur dan Pelaporan SPT Masa PPN)

Untuk memulai menggunakan eFaktur ada beberapa panduan penggunaannya. Beberapa langkah yang perlu Anda ketahui adalah:

Meminta Nomor Faktur Secara Online

Ajukan permintaan nomor faktur terlebih dahulu yang digunakan untuk faktur pajak. Bagi Anda yang baru pertama kali minta nomor faktur, lakukan persiapan dengan diawali memasukkan sertifikat elektronik ke browser yang akan Anda gunakan. Caranya mudah. Jika menggunakan browser Chrome/IE maka cukup Double Klik pada file sertifikat. Kalau ada tampilan pertanyaan cukup pilih Next -- Next, dan Anda akan diminta memasukkan Passphrase (Password yang diketik direktur waktu mengajukan sertifikat elektronik).

Merekam Nomor Seri Faktur Pajak yang Telah Didapat

Membuat Faktur Pajak Keluaran

Pembuatan e-Faktur Pajak jenis ini ketika Anda menjual Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang tergolong mewah.

Merekam Faktur Pajak Masukan

Faktur Pajak Masukan diterima saat Anda membeli Barang dan/atau Jasa dari PKP. Faktur Pajak ini Anda input untuk dikreditkan dan terdapat pengaturan khusus (Ada faktur yang direkam tapi tidak dikreditkan).

Membuat Surat Pemberitahuan (SPT)

Setelah selesai masa pajak, misalnya bulan Juni telah lewat, maka di bulan Juli sebelum akhir bulan, Anda Wajib Lapor SPT Masa PPN, jika tidak atau terlambat lapor, Anda akan dikenakan denda.

Peluang Perubahan Skema Pemungutan PPN

Kajian mengenai perubahan skema pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tengah dilakukan secara intensif di lingkungan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Pilihan akan peluang perubahan skema pungutan PPN ini, nantinya akan berlaku hanya kepada komoditas hasil bumi, seperti karet, kelapa, dan sebagainya, yang memiliki nilai strategis. Tindakan ini akan dimatangkan oleh instansi terkait dengan mempertimbangkan untung rugi mengingat PPN merupakan salah satu kontributor utama penerimaan pajak negara.

Beberapa opsi atau pilihan yang telah digenggam Kemenko Perekonomian dalam melakukan relaksasi pungutan PPN sebesar 11 %. Dua opsi kebijakan relaksasi tersebut di antaranya, pertama memberlakukan tarif PPN bersifat final. Opsi kedua adalah insentif dalam penghitungan pajak masukan dan pajak keluaran. Opsi tarif PPN bersifat final berfungsi untuk meringankan beban pelaku usaha untuk melakukan ekspansi pasar di dalam negeri. Selanjutnya opsi kedua memberlakukan insentif dalam penghitungan antar pajak masukan dan keluaran agar pelaku usaha mendapatkan tarif pajak yang lebih rendah dari 11%.

Lapor SPT PPN Menggunakan E-Filling 

Pembayaran dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) setiap bulannya dapat dilakukan melalui Klikpajak. Layanan Perpajakan e-Filing Klikpajak membantu para Pengusaha Kena Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara mudah, cepat, dan praktis.

2.1.13 Sistem Ketaatan Membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Sistem ketaatan membayar PPN melibatkan pemungutan, pelaporan, dan pembayaran yang diatur oleh perundang-undangan perpajakan di Indonesia. Semua ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan dan transparansi dalam pembayaran pajak.

Ketaatan membayar PPN adalah tanggung jawab untuk mematuhi ketentuan perpajakan dan berkontribusi pada pembangunan negara melalui pembayaran pajak yang tepat dan sesuai peraturan.

Tingkat  kepatuhan  Wajib  Pajak  dalam  memenuhi  kewajiban  perpajakannya  dapat  dilihat  dari pencapaian  target  penerimaan  berdasarkan  realisasi  penerimaan.  Jika  target  penerimaan  belum terealisasi, maka hal ini disebabkan karena masih ada Wajib Pajak yang belum mengetahui akan pemahaman   perpajakan   sehingga   mereka   masih   melalaikan   akan   kewajibannya   dalammembayar pajak dan kurangnya sosialisasi dari Kantor Pelayanan Pajak.Kepatuhan  wajib  pajak  yang  bersumber  dari  kesadaran  masyarakat  terhadap  kewajibannyauntuk membayar pajak tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakanyang  kerapmuncul,  baik  yang  bersumber  dari  wajib  pajak  orang  pribadi  maupun  badan,aparatur   pajak   (fiskus),   maupun   yang   bersumber   dari   perpajakan   itu   sendiri.   Kesadaranmasyarakat  untuk  membayar  pajak  sudah  patuh  namun  ada  sebagian  wajib  pajak  yang  masihmelalaikankewajibannya sehingga target penerimaan ada yang belum terealisasi.

Menurut  kamus  umum  bahasa  Indonesia  istilah  kepatuhan  berarti  tunduk  atau  patuh  padaajaran-ajaran  atau  aturan.  Dalam  perpajakan  kita  dapat  memberi  pengertian  bahwa  kepatuhan perpajakan    merupakan    ketaatan,    tunduk,    dan    patuh    serta    melaksanakan    ketentuan perpajakan. Jadi,  wajib  pajak  yang  patuh  adalah  wajib  pajak  yang  taat  dan  memenuhi  serta melaksanakan  kewajiban  perpajakan  sesuai  dengan  peraturan  perundang-undangan  perpajakan. Kepatuhan  wajib  pajak  sebagai  suatu  iklim  kepatuhan  dan  kesadaran pemenuhan  kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana :

1.Wajib   pajak   paham   atau   berusaha   untuk   memahami   semua  ketentuan   peraturan perundang-undangan perpajakan,

2.Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas,

3.Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar,

4.Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Pajak  didasarkan  pada  undang-undang  yang  berarti  bahwa  pemungutan  pajak  tersebut  sudahdisepakati  atau  disetujui  bersama  antara  pemerintah  dengan  masyarakat.Harapan  pemerintahterhadap  semua  wajib  pajak  mengenai  pembayaran  tanpa  adanya  kecurangan.  Maka  sudah seharusnya  masyarakat  sadar  akan  kewajibannya  untuk  membayar  pajak.Kriteria  Wajib  Pajak(Pengusaha Kena Pajak) untuk Pajak Pertambahan Nilai yaitu :

  • Kepatuhan untuk mendaftarkandiri;
  • Mengisi   dengan   jujur,   lengkap,   dan   benar   serta   tidak   melewati   batas   waktupenyampaian surat Pemberitahuan (SPT);
  • Kesadaran untuk mematuhi peraturan perundang-undangan;
  • Melaporkan kewajiban perpajakannya;
  • Membayar kewajibannya yaitu Pajak PertambahanNilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun