Mohon tunggu...
Muhibbuddin Abdulmuid Yassin Marthabi
Muhibbuddin Abdulmuid Yassin Marthabi Mohon Tunggu... lainnya -

Saya manusia biasa yang makan dan minum...bisa lapar dan haus..yang bisa senyum dan sakit...bisa gembira dan luka hati...bisa tertawa dan meneteskan air mata...seperti teman-teman semua...saya manusia...\r\nTapi hamba ini berdo'a..jika hamba mati..darah hamba mengalir di bumi dan menulis kalimat الله\r\n\r\nwww.suaramuhibbuddin.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Download Gratis Book Report "Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan Tinggi"

17 Oktober 2011   05:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51 14355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di halaman ini, saya lampirkan file book report "FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN TINGGI", yang saya susun sebagai menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat Ilmu di Pascasarjana IKIP PGRI Semarang 2011. Silakan bisa download, bebas gratis. Ini murni karya saya sendiri, "Hak cipta" laporan buku milik saya, tetapi tidak saya jual dan saya serahkah kepada publik untuk koreksi dan dikembangkan. Ada 2 file, satu file berekstension ODT (standard file sesuai SNI) dan PDF. Selamat membaca dan dikembangkan...mks. Download di sini - muhibbuddin - book report file ODT Download di sini - muhibbuddin - book report file PDF

LAPORAN BUKU

FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN TINGGI

Disusun dalam rangka memenuhi tugas

Mata kuliah Filsafat Ilmu

Dosen :

Prof. Dr. Abu Su'ud

Oleh :

Muhibbuddin

NPM : 11510044

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

IKIP PGRI SEMARANG

TAHUN 2011

IDENTITAS BUKU

Judul Buku

FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN TINGGI

Pengarang

Prof.Dr.SINGGIH ISWARA, SH., MM

Dr.HADI SRIWIYANA, MM

Edisi Revisi

Tebal 164 halaman

Penerbit

CINTYA PRESS

JAKARTA

Tahun Penerbitan

2010

BAB I

PENDAHULUAN

Buku berjudul "Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan Tinggi" edisi revisi cetakan ketiga, ditulis oleh Prof.Dr.Singgih Iswara, SH., MM dan Dr.Hadi Sriwiyana, MM yang diterbitkan oleh Cintya Press Jakarta tahun 2010 setebal 164 halaman. Ada empat bagian pembahasan utama di dalam buku ini, yaitu :

  1. Presage, yang berisi paparan arti dan ruang lingkup kefilsafatan. Hal berikutnya yang dibahas dalam bagian ini adalah sejarah perkembangan filsafat pada masa awal lahirnya dunia filsafat, sejak zaman klasik, era pertengahan, modern dan kontemporer. Pembahasan ketiga dalam bagian pertama ini adalah manfaat filsafat yang berhubungan dengan wawasan manusia, kebenaran, pembentukan sikap dan perilaku manusia serta bentuk perwujudan diri manusia di tengah kehidupan pribadi dan sosialnya.
  2. Process, berisi paparan tentang orientasi ilmu dan filsafat, garis hubungan antara filsafat dengan ilmu, Obyek filsafat sebagai ilmu, filsafat ilmu, sejarah filsafat ilmu dan klasifikasi ilmu pengetahuan.
  3. Product, berisi paparan indentifikasi dan arti filsafat pendidikan, fenomena pemikiran para filsuf klasik tentang filsafat pendidikan. Dalam bagian ini juga dipaparkan tentang lingkup filsafat pendidikan pada zaman modern, dan paparan aliran filsafat modern dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan. Dalam bagian ini juga dipaparkan indikator kebenaran di pendidikan tinggi dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Lingkup dan aktivitas pendidikan tinggi, sejarah pendidikan tinggi sejak zaman klasik sampai dengan zaman kontemporer abad terkini, bentuk perguruan tinggi, Perguruan tinggi tertua di dunia dan di Indonesia, landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan tinggi, refleksi filosofi kebenaran akademik dan otonomi kelimuan di perguruan tinggi.
  4. Programming, berisi paparan tentang norma-norma di tengah masyarakat, lembaga kemasyarakatan yang formal dan tidak formal dalam proses pengendalan sosial, program pengembangan filsafat ilmu di dunia pendidikan tinggi untuk mencari jalan keluar terhadap pelanggaran dan penyelewengan terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat saat ini.

BAB II

DESKRIPSI ISI BUKU

BAGIAN 1 : PRESAGE Dalam bagian ini memaparkan arti dan ruang lingkup kefilsafatan. Hal berikutnya yang dibahas dalam bagian ini adalah sejarah perkembangan filsafat pada masa awal lahirnya dunia filsafat, sejak zaman klasik, era pertengahan, modern dan kontemporer. Pembahasan ketiga dalam bagian pertama ini adalah manfaat filsafat yang berhubungan dengan wawasan manusia, kebenaran, pembentukan sikap dan perilaku manusia serta bentuk perwujudan diri manusia di tengah kehidupan pribadi dan sosialnya. . BAB I: Pendahuluan

Pada bab ini dijelaskan bahwa manusia memiliki kebutuhan mendasar yang tertanam dalam lingkaran nafsu yang memerlukan pemuasan. Rasa lapar dan haus ada dalam diri manusia, bersamaan dengan kebutuhan akan rumah, baju, pendidikan dan keinginan seksual. Hawa nafsu bertindak berdasarkan prinsip kesenangan. Sementra pengenalan akan baik dan buruk banyak ditentukan oleh hati nurani berdasarkan struktur kepribadiannya, yang unsurnya terdiri kepribadian perilaku, ego dan super ego.

Perilaku yang baik sesuai dengan norma moral atau memenuhi tuntutan "etika" yang bersifat etis. Ego atau keakuan berkembang melalui kesadaran atas lingkungan aktivitasnya yang dapat terbentuk pada kondisi prasadar, sadar dan tidak sadar.

Super ego merupakan pelaku yang melakukan sensor terhadap tindakan, perasaan, dorongan keinginan dan lain sebagainya, serta sering berhadapan dengan ego, yang kadangkala menganggap ego sebagai obyek yang keras. Super ego juga kadangkala lembut dan halus dalam menyesuaikan dengan persepsi ego yang mengakibatkan keseimbangan batin. Super ego ini lebih cenderung diistilahkan sebagai hati nurani. Akan tetapi, super ego yang berlebihan bisa menimbulkan penyakit dan kekurangseimbangan batin itu sendiri.

Dari kondisi yang demikian kompleks dalam diri manusia, maka filsuf meyakini perlunya pendidikan guna mengarahkan manusia agar memiliki kesadaran moral yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain secara lebih luas.

Dengan demikian, karena tingkat pendidikan manusia berpengaruh terhadap persepsinya tentang rasionalitas dan pemikiran dengan kesadarn moral yang penuh rasa tanggungjawab dan kemandirian, maka kematangan diri manusia menjadi landasan dalam pengembangan pengetahuan dan kesadaran filsafat dalam akal budinya. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat pendidikan manusia semakin sesuai untuk menerima siraman filsafat dikarenakan adanya kecintaan hatinya yang mendorongnya berjalan kepada mencari kebenaran yang belum maupun sudah tersingkap, dengan tetap menegaskan bahwa manusia berpendidikan rendah juga kadangkala mampu berfikir rasional dan jujur.

Dengan akal budi, rasionalitas dan kejujurannya tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk merefleksi hasil olah pikirnya dengan lingkup dan batasan, pelembagaan, kesepakatan, pemanfaatan dan dinamika terkait pemenuhan kehidupannya yang melahirkan ilmu dan pengetahuan, yang salah satunya disebut sebagai Filsafat.

Filsafat merupakan ilmu yang paling tua, disebabkan ilmu filsafat merupakan dasar dari segala dasar berpikir yang membutuhkan pemecahan dari pertanyaan dan persoalan hidup di dalam olah pikir manusia, di mana lantas melahirkan berbagai cabang ilmu.

Bertentangan dengan kondisi pasca zaman keemasan ilmuwan bidang kefilsafatan, pada zaman 1000 tahun sebelum Masehi, pada saat ini filsafat kurang mendapat perhatian. Bahkan pada berbagai program studi di pendidikan tinggi, filsafat tidak mendapat alokasi jam pembelajaran. Di Indonesia sendiri, sejak kemerdekaan sehingga saat ini, tidak melibatkan filsafat dalam proses penjaringan mahasiswa sarjana, pascasarjana dan doktor.

Pentingnya pengenalan filsafat pada semua program studi pada suatu penyelenggaraan pendidikan tinggi, setidaknya akan memberikan kontrbusi agar peserta didik maupun pendidik terjebak menjadikan dirinya sebagai kaum intelektual yang tidak mengenal etika dan menyimpang dari perwujudan peradaban kemanusiaan.

Filsafat menyentuh berbagai dimensi hidup manusia, keterbukaan total terhadap realitas hidup, kejujuran hati dan merefleksikan suasana jiwa yang tentram dan damai atas dasar gerak hidup berdasarkan perilaku hukum Tuhan dan hukum horizontal yang disusun oleh dan atas kesepakatan universal umat manusia. Hukum ciptaan Tuhan dan hukum ciptaan manusia tidak dipertentangkan, tetapi diselaraskan melalui renungan filsafat dan pendamaian multi dimensi dalam keluhuran budi pekerti, serta mampu menghubungkan akar masalah manusia dengan jembatan penyelesaiannya secara rasional dan jujur.

BAB II

SEKILAS TENTANG FILSAFAT

Pada bab ini dijabarkan bahwa filsafat berasal dari bahasa Arab "falsafat".Sedangkan menurut bahasa Yunani "philosophia" daei bahasa Yunani terurai dua kata istilah "philo" berarti cinta dan "sophia" berarti hikmah atau kebijaksanaan. Jadi "philosophia" berarti cinta akan kebijaksanaan. Karena filsafat itu sendiri sesuatu yang melambangkan wujud abstrak, maka arti dan pemahaman terhadap filsafat juga beraneka ragam sesuai latar belakang dan pendalamannya.

Dengan begitu, maka filsafat memiliki karakteristik khusus, yaitu 1) berfilsafat berarti mencari kebenaran, untuk kebenaran, dalam kebenaran dan melalui jalan penghayatan akan kebenaran, semata-mata karena para filsuf itu suka dan cinta akan kebenaran,tanpa pengharapan pujian, kedudukan dan kemuliaan apapun bentuknya. 2) Berpikir, bahkan secara radikal memikirkan sesuatu yang fundamental dengan membongkar segala sesuatu yang telah ada dan kokoh terbangun, namun tetap sistematis dalam penyusunan langkah pemikiran-pemikirannya, serta menjunjung tinggi universalitas dan integralitas fenomena di alam semesta ini, tidak berpikir parsial dan terperangkap hanya pada bagian tertentu saja.

Di sini juga dipaparkan tentang ruang lingkup filsafat bahwa dengan "bentuk" filsafat yang tidak memiliki bentuk itu, serta proses pemikiran manusia yang tidak akan berhenti dan terus bertanya, baik tentang Tuhan, dirinya dan alam sekitarnya sehingga jawaban-jawaban yang ada juga tidak mampu menghentikan perjalanan pemikiran filsafat, maka diperlukan suatu batasan dan ruang lingkup agar manusia tetap terarah dan memiliki jalur berpikir jelas.

Ruang lingkup filsafat dibagi menjadi 5 macam; 1) logika, yaitu suatu studi mengenai metode-metode ideal mengenai berpikir dan meneliti dalam melakukan observasi, introspeksi, deduksi dan induksi serta hipotesa yang merupakan bentuk aktivitas manusia melalui upaya logika agar bisa dipahami, 2) estetika, yaitu studi tentang bentuk dan keindahan atau kecantikan yang sesungguhnya dan merupakan mengenai kesenian; 3) etika, yaitu studi mengenai tingkah laku yang terpuji yang dianggap sebagai ilmu pengetahuan yang nilainya tinggi; 4) politik, yaitu studi mengenai organisasi sosial yang utama dan bukan berdasarkan perkiraan orang tetapi sebagai seni dan pengetahuan dalam melaksanakan pekerjaan kantor, seperti monarki, aristokrasi, demokrasi, sosialisme, marksisme, feminisme dan lain sebagainya; dan 5) metafisika. Yaitu suatu studi tentang realita tertinggi dari hakikat semua benda materi, nyata dari benda dan dari akal pikiran manusia dan hubungan antara pikiran manusia dan benda dalam proses pengamatan dan pengetahuan.

BAB III

PERKEMBANGAN FILSAFAT DAN MANFAATNYA

Pada bab ini dijelaskan hubungan filsafat dan manusia, bahwa kehidupan manusia dipenuhi dengan berbagai macam permasalahan, baik yang umum dan harus segera di atasi karena kesibukan manusia dalam pekerjaan sehari-hari maupun yang bersifat azasi dalam diri manusia terkait dengan hakikat dirinya sendiri dan proses interaksi dirinya dengan Tuhan dan alam sekitarnya. Dari beranekaragam permasalahan itu, yang terbesar mendasar dihadapi oleh manusia adalah permasalahan tentang dirinya sendiri. Pertanyaan yang fundamental tentang manusia ialah

  • Bagaimana manusia itu

  • Apa sebabnya demikian

  • Apa itu sesungguhnya manusia

  • Dari mana awalnya dan

  • Ke mana akhirnya

Dari kelima pertanyaan di atas, dua yang depan dijawab oleh ilmu, sedangkan tiga yang terakhir dijawab dan dibahas oleh filsafat. Kemudian pertanyaan mengenai diri manusia itu sendiri mengantarkan kepada bias kontemplasi dalam pertanyaan tentang hakikat alam semesta. Maka muncul pertanyaan sebagai berikut :

  • Kapankah alam semesta terjadi

  • Bagaimana terjadinya alam semesta ini

  • Dari sumber apa alam semesta ini memperoleh hidupnya

  • Dan apakah akhir yang dituju dalam gerakan ini

Selanjutnya, pertanyaan tentang alam semesta ini membawa kepada pemikiran tentang Sang Pencipta manusia dan alam semesta, misalnya :

  • Apa Ia suatu pribadi atau bukan pribadi

  • Apa Ia suatu pribadi, apakah hakikat dan konstitusi sang pribadi itu

  • Apakah Ia satu pribadi seperti kita secara fisik

  • Apakah Ia sesuatu proses kerusakan dan kematian atau apakah Ia itu kekal

  • Apakah Ia itu satu, dua, tiga,, ataukah lebih dari itu

Pertanyaan tentang dirinya sendiri, alam semesta dan Tuhan akan hadir saat manusia dibebani oleh suatu permasalahan rumit dan memerlukan pemecahan, yang tentunya agar tercapai kefahaman benar yang diharapkan bisa menjawab dan memberi permufakatan internal atas pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya, sehingga filsafat mampu mendorong manusia untuk :

  • berusaha mengetahui apa yang telah dketahui dan apa yang belum diketahui

  • berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahuinya dalam kesemestaan yang seakan tak terbatas ini

  • mengoreksi diri, berani melihat sejauh mana kebenaran yang dicari telah dijangkaunya

  • tidak apatis terhadap lingkungan dan nilai yang berkembang di tengah masyarakatnya

  • selalu memberikan makna dalam setiap amal perbuatannya

Meskipun jawaban dari para filsuf tidak terjamin sempurna mampu menjadi jawaban atas pertanyaan yang sama oleh manusia lain, tetapi filsuf sangat berguna dalam mengantarkan pada pemecahan permasalahan hidup manusia.

Filsafat lahir dalam diri setiap manusia yang memandang kehidupannya, sehingga wujud filsafat itu selalu ada, hidup dan memberi kehidupan bagi manusia. Dalam tiap jawaban terhadap sebuah pertanyaan, bagi filsuf akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru seterusnya yang tidak akan berhenti sampai kapanpun jua. Selain itu, pembahasan untuk menyelesaikan persoalan sehari-hari, manusia selalu dekat dengan pemikiran kaum filsuf, di mana keterbukaan berpikir dan prosesnya akan selalu terjadi seiring wujudnya manusia-manusia baru yang lahir pada suatu masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula. Filsafat tidak berhenti meskipun dari kajian ilmu tertentu sebuah permasalahan dianggap sudah selesai dan terjawab melalui karya seseorang dengan penemuannya. Seorang filsuf selalu bersifat terbuka, profesional dalam bidangnya serta harus cerdas menghadapi masyarakat, mampu melihat segala situasi secara tuntas dan penuh kebijaksanaan.

Dikarenakan filsafat ini membahas sesuatu secara mendasar dan radikal, maka filsafat ini menjadi sumber dari segala pemikiran dalam bidang-bidang tertentu yang pada suatu waktu mengemuka adanya filsafat bahasa, filsafat sejarah, filsafat pendidikan dan filsafat kebudayaan dan lain-lain. Masing-masing konsentrasi pembahasan filsafat membentuk sebuah atau beberapa cabang ilmu yang dapat diterapkan dalam hidup manusia, baik untuk menyelesaikan permasalahan hidup sehari-harinya, maupun untuk mengembangkan proses perjalanan keilmuan baru.

Sebagai contoh, filsafat bahasa memperhatikan tentang bahasa dan untuk mewujudkan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis, ringkas dan terbaik yang sesuai dengan fakta dan arti yang disajikan.

Pada bab ini juga dijabarkan tentang sejarah perkembangan filsafat yang merupakan studi kritis tentang pembentukan dan perkembangan filsafat dari sejak mula sampai sekarang, dan melintasi masa depan.

Bentuk filsafat yang "tidak memiliki bentuk" ini menjadikan sejarah tentang filsafat merupakan filsafat itu sendiri, bukan dalam arti pengetahuan yang sudah ada, tetapi lebih dalam arti pengetahuan itu sendiri dalam proses menjadi. Dari pengertian ini, bermula perkembangan para ilmuwan sejarah filsafat lebih mengacu kepada perubahan dan perkembangan-perkembangan temporal filsafat daripada isi dan makna filsafat.

Filsafat merupakan percaturan dan pergulatan manusia dengan masa-masa sebuah sejarah hidup, baik manusia maupun proses alam semesta ini, maka sejarah filsafat "tidak memikiki sejarah" dalam arti selalu berkembang sesuai zaman, dan tidak ada kesempurnaan jawaban dari pertanyaan filsafat. "Jawaban yang merupakan pertanyaan" filsafat pada masa tertentu bukan sebuah bentuk kebenaran dan kepastian, akan dijadikan sebagai landasan berpikir kemudian hari. Selama masih ada manusia di alam semesta ini, selama itu sejarah filsafat bersemi dan berkembang tanpa henti.

Dalam diskusi kritis tentang sejarah filsafat, tidak diperbolehkan membahas apa yang diungkap manusia pada masa lalu, tetapi kebenaran apa yang sudah diungkap, untuk dijadikan sebagai topik pembahasan berikutnya.

Perkembangan filsafat tidak memiliki masa lalu, masa sekarang dan masa depan, tetapi memiliki fase-fase perkembangan yang dapat dipetakan berdasarkan belahan masa tertentu, yaitu :

  1. Filsafat Klasik atau Kuno, berkembang mulai dari permulaan antara orang-orang Yunani di pantai Ionia di Asia kecil sampai pada perwujudan akhirnya dalam Neo-platonisme, termasuk semua bentuk pemikiran India dan China yang memiliki unsur-unsur berpikir filosofis di bawah suatu pandangan moralistik atau religius.

  2. Zaman Pra-Sokrates, berkembang sebelum masa Sokrates. Ditandai oleh upaya menemukan prinsip (arche) yang menjadi dasar dari segala sesuatu yang ada. Meraba prinsip tersebut, Thales (624-562 SM) menyebut air sebagai azas segala yang ada, Anaximander menyebut yang tak terbatas, Anaximenes menyebut udara, Heraklitus menyebut api, Pythagoras dan para pengikutnya membuat studi tentang alam dalam kaitan dengan angka.

  3. Zaman para Sofis, berkembang pada masa Protagoras (480-410 SM) sebagai pendiri. Tampil juga Sokrates, Plato, Aristoteles dan semua pengikut mereka dikenal sebagai neoplatonisme, di mana pada saat itu pikiran manusia sudah mulai terarah pada manusia, relasi antar manusia dan relasi manusia dengan alam dan manusia lain.

  4. Abad Pertengahan dan Skolastisisme, dimulai pada sekitar 500 M sampai 1500 M. Pada masa Agustinus (354-430 M) sampai tahun 1000 M dikenal dalam sejarah filsafat sebagai periode transisi. Kemudian pada abad 11 ditandai tumbuhnya pendidikan dan perguruan-perguruan khusus. Pada abad 12 ditandai oleh tumbuhnya universitas-universitas. Puncak perkembangan sejarah filsafat abad pertengahan bersinar pada abad 13, ditandai oleh karya-karya besar para filsuf seperti Roger Bacon (1214-1293 M), Bonaventura (1217-1274 M), Albertus Agung (1206-1280 M), dan Thomas Aquinas (1224-1274 M). Zaman ini juga disebut Skolastisisme puncak. Salah satu perbedaan filsafat Yunani-Romawi dengan abad pertengahan ialah para pemikir Kristen abad pertengahan percaya akan suatu relevasi Ilahi yang definitif. Relevasi Ilahi ini terkutip dalam kitab suci dan diyakini sebagai kebenaran yang pasti. Ciri khas pada masa ini adalah relasi iman dan akal budi manusia.

  5. Zaman Renaisans, pada abad 16. Zaman ini juga disebut sebagai zaman kebangkitan, dengan munculnya peristiwa sebagai berikut; 1) adanya usaha menghidupkan kembali karya-karya seni rupa dan sastra, filsafat dan pelbagai aspek lain dari kebudayaan Yunani-Romawi kuno, 2) banyaknya ilmu modern dan penemuan dunia baru yang mengindikasikan kemampuan manusia menguasai alam semakin besar, menguatkan gerakan humanisme baru yang mempengaruhi eropa, 3) berseminya gerakan reformasi dan kontra reformasi. Kalau Renaisans kembali pada keaslian ilham kebudayaan kuno dan humanisme kepada keistimewaan dan kebesaran manusia, memperbaharui kepercayaan kristiani yang dianggap merosot. Pada zaman ini, muncul Nicolo Machiavelli (1469-1527 M) dan Giordano Bruno, yang berbicara banyak tentang kuasa dan manajemen politik manusia dan memperoleh suatu filsafat politik yang relevan dan ditata secara moralis. Bruno mengajarkan suatu Pantheisme yang mengungkap keinginan untuk memperhatikan dan menyatukan diri dengan alam/kosmos.

  6. Filsafat Barat Modern, dimulai dengan Rene Descrates di Perancis dan Francis Bacon di Inggris, dengan karakteristik sebagai berikut; 1) tumbuh dalam konteks faktor-faktor kultural dan nasional modern, 2) secara intensif menggunakan bahasa-bahasa daerah setempat dan mengembangkan vokabuler teknis filosofis dalam tiap wilayah linguistik, 3) sangat kuat dipengaruhi oleh metode, konsep, dan persoalan-persoalan yang nampak dalam ilmu-ilmu fisis dan biologis, 4) pelan-pelan memisahkan diri dari kerangka teologis, 5) kesadaran historis dengan meminati pada persoalan genetika dan historisitas manusia. Sebagai perbandingan saja, zaman klasik diisi filsuf yang mencari prinsip-prinsip dasar kosmos (cosmosentris), abad pertengahan berkutat pada filsafat ketuhanan (teosentris), maka pada masa ini konsentrasi pada antroposentris, yaitu segala sesuatu berpusat dan bermuara dari dalam diri manusia sendiri. Penampakan manusia sebagai subyek aktif yang menjadi aktor penguasa utama dalam perjalanan hidup di alam semesta ini merupakan tema pemikiran filsuf zaman ini.

  7. Filsafat Kontemporer atau Filsafat Abad 20, ditandai dengan munculnya berbagai aliran berpikir dan madzab filsafat, sehingga sering timbul persilangan pendapat. Filsuf pada adab ini dipenuhi personil profesionalis dalam bidang matematika, fisika, sosiologi, ekonomi, psikologi dan lain-lain. Ciri khusus filsafat zaman ini adalah desentralisasi manusia, di mana manusia ditempatkan menjadi bahasa sebagai subyek kenyataan. Manusia diambil alih perannya oleh bahasa, sehingga manusia tidak lagi berbicara sendiri tetapi dibicarakan melalui bahasa politik, ekonomi dan sosial.

    a. Filsafat abad 20 di Perancis, ditandai adanya peristiwa di mana filsafat dipelajari mulai sejak sekolah menengah atas, tidak di universitas seperti negara-negara lain, sehingga banyak filsuf dan ilmuwan terkemuka berasal dari negara ini. Keadaan ini berubah sejak tahun 1970, di mana filsafat mulai kurang diperhatikan dan jam pelajarannya semakin dikurangi. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa filsafat dianggap idealistis-rasionalistis, dan lain sebagianya.

    b. Filsafat abad 20 di Inggris dan Jerman. Pada abad ini, filsafat idealisme berkembang pesat di Inggris. Filsafat Hegel berkembang kuat di Inggris, sementara pada saat yang sama mulai pudar di Jerman, sehingga disebut sebagai filsafat Neo-Hegelisme. Filsafat Idealisme muncul sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang sangat menguasai eropa pada saat itu. Filsuf yang berpengaruh di Inggris saat itu, Ludwig Wittgenstein (1889-1951 M) dikenal sebagai penemu permainan bahasa dan Alfred Jules (1910-1989) memunculkan filsafat bahasa atau filsafat analitik dengan ajarannya tentang positivisme logis. Di Jerman, muncul ajaran filsafat Neo-kantianisme, fenomenologi, filsafat eksistensi, positivisme, historisisme, dan filsafat dialogis. Neo-kantianisme mengarahkan manusia untuk selalu mengkritisi pengetahuan, dengan mengutamakan akal praktis daripada akal teoretis. Di samping itu, di Jerman juga tumbuh subur filsafat yang menekankan tentang hidup, dikembangkan oleh Wilhelm Ditlhey (1833-1911 M). Pada masa ini juga lahir suatu aliran filsafat dinamakan Fenemenologi yang didasari oleh Edmund Husserl (1859-1938 M), yang menegaskan peran realitas dan bagaimana kita membiarkan gejala dalam realitas membuka diri kepada subyek atau manipulasi data inderawi yang kita peroleh dari realitas. Filsafat Eksistensialisme menjadi populer pada abad 20. Muncul juga Frans Rosenzweig (1886-1929 M) yang melahirkan filsafat dialogis yang menekankan peran pengalaman bukan inderawi, yaitu pengalaman bertemu dengan Allah, dengan dunia dan sesama manusia. Warna filsafat neopositivisme kental menguasai Jerman pada abad 20 ini, dipelopori oleh tokoh-tokoh di antaranya Rudolp Carnap, Otto Neurath, Moritz Schlick, Hans Han dan Karl Popper. Filsafat lain yang mengakar adalah analisis-logis menyangkut filsafat bahasa.

    c. Filsafat di Amerika Utara, muncul bersamaan dengan pengaruh pemikiran evolusioner. Pada zaman ini muncul aliran pragmatisme yang menekankan kebenaran pada aspek praktis dan aspek guna, dipopulerkan oleh William James (1842-1910) yang mengklaim bahwa universum yang pluralistik dan milioristik lengkap dengan suatu Allah yang sedang dalam proses perkembangan, tidak hanya lebih merangsang bagi perasaan moral manusia, tetapi juga lebih dekat pada kebenaran tentang adanya. Kesulitan mempertemukan pemuasan dengan pembenaran ide-ide tanpa kembali kepada kemutlakan idealistik dari James, memunculkan aliran naturalisme. Pandangan ini disampaikan oleh George Santayana, bahwa segala sesuatu yang ideal memiliki basis yang riil dalam dunia material yang natural dan segala sesuatu yang riil memiliki suatu modus ideal pemenuhan dalam tata imaginasi. Santayana memandang bahwa roh manusia sebagai suatu tindakan yang tetap, suatu transisi dari materi kepada imaginasi dan kembali lagi kepada materi, dan mereduksikan agama sebagai suatu saringan pelbagai aspirasi lewat permainan imaginasi. Tokoh lain, John Dewey mengajarkan naturalisme yang anti-dualistik dalam hubungan dengan distingsi jiwa-badan, Allah-dunia. Ernest Nagel memasukkan naturalisme ke dalam suatu filsafat ilmu, John Randall Jr. menerapkannya ke dalam filsafat sejarah dan agama, dan Stephen Pepper dalam filsafat tentang ilahi. Gerakan filsafat lain di Amerika adalah filsafat realisme yang mengungkapkan bahwa segala sesuatu tidak tergantung pada pengalaman manusia tentang mereka, tetapi harus dilihat sebagaimana adanya tanpa adanya spekulasi dan idealisasi. Filsafat realisme ini membelah menjadi dua, realisme kritis dan realisme baru. Realisme baru menegaskan bahwa segala sesuatu dapat diinderai secara langsung, di mana dunia ini adalah riil dan obyektif yang tidak akan berubah karena perubahan pengetahuan manusia tentang obyek tersebut. Menurutnya, dunia di sekeliling kita tidak berada dalam kesadaran kita sendiri, sedangkan kita hanya memiliki data rasa dan gambaran-gambaran mental tentang dunia ini. Data rasa ini menunjukkan watak dari obyek luar, dan akal yang mempersepsinya. Setelah Perang Dunia II, di Amerika filsafat berkembang melalui pelbagai bidang ilmu dan teknologi berbarengan dengan pelbagai gejolak dan perkembangan sosial di dalamnya.

    Bab ini menjelaskan juga tentang manfaat filsafat, yaitu sebagai berikut :

  1. Filsafat memperluas wawasan. Secara alamiah, manusia memiliki rasa ingin tahu, yang rasa ingin tahu itu melahirkan berbagai macam pertanyaan yang menuntut diperolehnya jawaban. Sebuah jawaban dari pertanyaan bukan jawaban akhir, tetapi memunculkan jenis pertanyaan baru dan lain daripada yang lain. Pada saat lain, jawaban yang sudah berbentuk pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain, yang nantinya juga menerbitkan pertanyaan lain, karena pengetahuan itu sendiri memiliki sfat praktis atau pragmatis. Untuk pengetahuan tersebut, filsafat yang terobjekkan menyediakan lapangan filsafat yang sangat luas tanpa batas, yang memancar dari realitas dan non-realitas.

  2. Filsafat mengarahkan kepada kebenaran. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Filsafat, Plato, bahwa secara teoretis kebijaksanaan dapat disamakan dengan kebenaran yang merupakan obyek pengetahuan pertama dan utama bagi manusia. Segala bidang disiplin ilmu dan mata pelajaran di dunia pendidikan selalu diajarkan untuk mencapai kebenaran. Jalur untuk mencapai kebenaran adalah pemikiran, kecermatan memperhatikan dan refleksi tentang hidup itu sendiri, dalam mengkorelasikan dirinya dengan peristiwa realitas di dunia ini. Filsafat memberi patokan dan kaidah untuk berpikir bijaksana dan kritis serta bagaimana kita bisa hidup harmonis dengan manusia lainnya. Filsafat mematangkan intelek dan daya pikir. Menurut John Henry Newmann (1801-1890), orang yang pernah belajar filsafat cenderung lebih kuat dan siap untuk mempelajari pengetahuan yang abstrak dan rumit.

  3. Filsafat dan Pembentukan Sikap. Mempelajari sesuatu ilmu terkait dengan penerapan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata. Tanpa itu, bisa saja pengetahuan ataupun ilmu itu akan tersimpan dalam khayal dan bisa hilang karena lupa. Filsafat hanya dan akan berkembang melalui refleksi terus menerus dalam hidup sehari-hari, dengan mengedepankan sikap kerendahan hati, keluhuran budi, kebajikan pekerti, kesiapan berdialog, dan yang sejenisnya.

  4. Filsafat dan Perwujudan diri. Seluruh perjalanan filsuf dalam berfilsafat selalu mendambakan akhir kajian berupa perwujudan diri, dengan pribadi yang lebih matang dan bijak. Filsafat harus dilihat sebagai karya seni, suatu estetika dalam upaya pembentukan diri manusia.

BAGIAN 2 : PROCESS Bagian ini memaparkan tentang orientasi ilmu dan filsafat, garis hubungan antara filsafat dengan ilmu, Obyek filsafat sebagai ilmu, filsafat ilmu, sejarah filsafat ilmu dan klasifikasi ilmu pengetahuan.

BAB IV

FILSAFAT ILMU DAN PENDIDIKAN TINGGI

Pada bab ini dijelaskan bahwa bahwa filsafat tidak menggunakan fakta maupun data empiris dalam bentuk apapun dalam segala penelaahannya. Akan tetapi bukan berarti, filsafat itu liar dan tanpa metode baku. Sebagai ilmu, filsafat memiliki obyek dan metode serta sistematika tersendiri. Proses yang mengantarkan filsafat menuju ilmu akademis dijelaskan dalam bab ini, sebagai berikut :

  1. Filsafat menjadi disiplin ilmu karena mengarahkan segala usaha menuju kebijaksanaan, sehingga membuat banyak refleksi untuk menemukan akar atau kriteria membedakan kebenaran dari kesalahan, kebaikan dari keburukan, ilusif dari riil.

  2. Dari pelbagai refleksi, filsafat juga memahami dirinya sebagai satu bentuk dari cinta, yang membawa manusia melintasi batas-batas pengetahuan tentang sesuatu yang belum atau tidak diketahui sebelumnya. Filsafat menyempurnakan manusia dalam memahami sesuatu dengan lebih mendalam.

Sejarah awal kelahiran Filsafat sebagai ilmu adalah di kota Miletus, di Ionia, wilayah Asia Kecil sekaligus melahirkan para filsuf pertama dikenal filsuf-filsuf dari Miletus aau Ionia, di antaranya Thales dan beberapa pemikir Eleatik (dari Elea). Namun, meskipun Thales merupakan tokoh filsuf yang ledendaris, tidak ada tulisan tangannya yang tersisa sebagai bukti kefilsafatannya. Pemberitaan tentang Thales disampaikan oleh para filsuf yang muncul setelahnya. Dari Thales ini, menginspirasi orang Khaldea untuk melakukan studi benda-benda angkasa dan menyusun koridor ramalan perbintangan horoskopis. Sejak awal sehingga sekarang, filsafat diidentikkan dengan ilmu pengetahuan.

Dijabarkan juga dalam bab ini bahwa filsafat dan ilmu jika dikaji memiliki hubungan kesamaan orientasi, yaitu pada subyek dan obyek yang serupa. Ini disebabkan filsafat bersifat ilmiah dan terdiri dari ilmu-ilmu meskipun ada ilmu yang tidak bersifat filosofis. Francis Bacon menyebut teologi dan filsafat sebagai sains. Descrates menggunakan istilah filsafat dan sains bergantian. Hume menggunakan kata filsafat sebagai nama umum untuk sains-sains khusus.

Hakikat filsafat merupakan usaha menelaah tanpa henti, sehingga artinya kita memperdalam ketidatahuan kita. Semua ilmu untuk mencapai kebenaran dengan menolak kepalsuan. Secara umum, ilmu pengetahuan dan filsafat memiliki kesamaan obyek yang sama yaitu segala sesuatu yang dapat diketahui. Perbedaan terletak pada tujuannya, di mana filsafat terarah pada totalitas sedangkan ilmu-ilmu menyelidiki bagian tertentu sesuai maksud dan tujuan penelitian dalam bidang ilmu bersangkutan. Secara tradisional, filsafat merupakan prinsip dan dasar dari segala ilmu.

Sementara itu, fungsi filsafat dalam hubungannya dengan ilmu adalah sebagai berikut:

  1. Secara tradisional-historis, filsafat dilihat sebagai ratu segala ilmu, meskipun saat ilmu memisahkan diri dari filsafat, filsafat itu sendiri tidak diakui

  2. Terdapat beberapa fungsi urgen filsafat bagi dunia ilmu, antara lain; 1) Filsafat merangsang hipotesa baru, 2) Sebagai pendasar, filsafat menyelidiki mekanisme mencari pengetahuan dari ilmu tertentu, 3) Fungsi sintetis untuk membuat sintesis dari hasil dan pandangan dunia ilmu, 4) Fungsi kritis, mengeritik ajaran-ajaran ideologis dan pansofis, teknik, ekonomi, dan lainnya, 5) Fungsi sosial-konstruktif kritik terhadap situasi masyarakat demi kebaikan dan kemanusiaan, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, relasi antar manusia, antropologi, sosiologi, dan etnologi, 6) Fungsi Pedagogis berpikir, untuk berpikir jelas, disiplin berpikir dan berbicara.

Dalam penerapannya, ilmu pengetahuan hanya menjawab pertanyaan "bagaimana?", tetapi tidak bisa menjawab pertanyaan "mengapa?" dan "untuk apa?". Pertanyaan kedua terakhir merupakan bidang kompetensi filsafat.

Filsafat, selain sebagai pandangan hidup, juga merupakan ilmu pengetahuan yang merumuskan hakikat realitas secara sistematis-metodis. Dari aspek merumuskan sesuatu itu, menjadi kekuatan filsafat sebagai ilmu tersendiri dan mandiri, sehingga keterlibatan filsuf dengan ilmu yang diemban akan melahirkan variasi aliran dan sistem, dan sebagai akibatnya kita akan menemukan variasi metode yang luas. Pembangunan sosial, ekonomi dan politik membutuhkan etika khusus yang berfungsi kritis-analisis yang semuanya ini sebenarnya menunjukkan suatu lapangan yang luas bagi etika dan filsafat moral, yang menjadi bagian dari filsafat ilmu.

Filsafat ilmu pengetahuan atau filsafat ilmu mengkaji pelbagai masalah filosofis yang berhubungan dengan ilmu-ilmu modern, seperti makna dan interpretasi tentang konsep-konsep ilmiah, hukum-hukum dan teori-teori, struktur logis ilmu, dan metodologi berpikir guna mencapai tujuannya. Filsafat ilmu membahas mengenai konsep-konsep metodologis seperti hipotesis, hukum, teori, faham tentang sifat dan sikap ilmiah, paradigma dalam ilmu, serta mengenai ilmu-ilmu alam-fisis dan pelbagai problem di dalamnya, ilmu-ilmu tentang hidup seperti biologi, evolusi, genetika. Selain itu juga membahas teknologi dan penerapan ilmu dan akibat-akibat teknologi serta pengembangan ilmiah bagi pembangunan dan pengembangan masyarakat sosial, dan sebagainya.

Kedudukan filsafat menyoroti berbagai hal tentang pengetahuan manusia berdasarkan sebab akibat, dengan pokok bahasannya antara lain ; apakah suatu pengetahuan itu benar dan tetap terpercaya, tidak berubah atau berubah-ubah terus, bergerak dan berkembang, dan jika berkembang, ke manakah perkembangannya.

Sebagai contoh, pada istilah ilmu pengetahuan, kita perlu membedakan ilmu dan pengetahuan. Ilmu, berasal dari bahasa Arab "Ilm", artinya suatu aktivitas manusia yang dengan melakukannya manusia memperoleh pengetahuan dan pengalaman tertentu di masa lampau, sekarang dan akan datang, serta sesuatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya dan atau mengubah lingkungannya serta mengubah sifatnya sendiri. Ada juga yang mengartikan Ilm adalah proses yang membuat pengetahuan.

Sedangkan pengetahuan adalah hasil tahu yang diperoleh dari perjalanan melaksanakan Ilm tersebut. Akan tetapi, karena keduanya tidak dapat dipisahkan, maka terhadap Ilm dan pengetahuan, kaum cendekiawan seringkali menggabungkannya.

Filsafat membicarakan tentang dasar-dasar sesuatu mengenai keberadaannya, sedangkan ilmu membicarakan tentang gejala-gejalanya sehingga disebut sebagai filsafat ilmu. Filsafat bertugas menggali dan meneliti sebab musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan, sehingga tampak adanya subyek dan obyek dalam proses pengetahuan. Sehingga kesadaran subyek pengenal tentang obyek yang dikenalnya dinamakan pengetahuan.

Sementara itu, cara kerja ilmu dijabarkan sebagai berikut:

  1. Ilmu-ilmu kemanusiaan humaniora; budaya, ekonomi, bahasa, hukum dan sebagainya. Ciri khas ilmu kemanusiaan adalah manusia sebagai subyek dan obyek ilmu.

  2. Ilmu-ilmu alam; melalui pengamatan, percobaan dan penemuan. Ciri khasnya adalah manusia sebagai subyek dan obyeknya adalah hukum alam.

Sedangkan cara kerja filsafat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Periode masa Yunani Purba

  2. Periode alam lingkungan Yahudi, Kristen, dan Islam sampai masa Skolastik

  3. Periode masa modern, yaitu tidak mempedulikan teologi berdasarkan iman, pembelokan ke arah subyek pengetahuan

Filsafat periode modern dapat dibedakan pada lima tahap sebagai berikut :

  1. Tahap pertama, Periode Descrates, Spinoza, dan Pascal. Pemahaman adanya kepastian "aku sadar maka aku ada".

  2. Tahap kedua berlangsung sama dengan tahap awal. Masa jayanya aliran rasionalisme dan empirisme. Muncul Descrates, Hobbes, John Locke, Berkley, dan David Home

  3. Tahap ketiga, pada abad ke-9 s.d 13 M. Muncul filsuf muslim, Al-Khindi (806-873 M), Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), dan sebagainya. Juga hadir Immanuel Kant yang berpendapat bahwa obyek pengetahuan pada dirinya sendiri ada, tetapi tidak dapat dikenal. Yang dikenal hanya pada diri subyek, sehingga muncul Idealisme-Hegelisme.

  4. Tahap keempat dikenal Marks, Hussel. Tahap ini pada umumnya tidak peduli pada mantra agama. Aliran ini meneguhkan kebebasan manusia secara berdaulat.

  5. Tahap kelima ditandai dengan neo-positivisme dan strukturalisme. Neo-positivisme mencita-citakan perpaduan antara ilmu empiris dengan ilmu pasti. Strukturalisme diterapkan pada ilmu kemanusiaan lainnya.

Pada bab ini juga dipaparkan tentang sejarah periode perkembangan filsafat ilmu sebagai berikut :

  • Abad ke-5 s.d ke-4 SM, ilmu pengetahuan antik dan filsafat mulai tumbuh atas dukungan kebudayaan Yunani. Pemikiran rasional dalam bentuk pertanyaan "mengapa" sudah diungkapkan di zaman Aristoteles. Hal itu menunjukkan sebab akibat sehingga muncul hakikat.

  • Abad ke-5 s.d ke-4 SM, alam pemikiran mistik

  • Abad ke-9 s.d ke-13 M, filsafat timur (Islam).

  • Abad ke-14 s.d ke-16 M, pengaruh agama sangat kuat. Ini sebelum masa renaisans.

  • Abad ke-16 s.d ke-17 M, terjadi reformasi ilmu pengetahuan klasik. Pada abad ke-16 s.d ke-17 M, di eropa disebut zaman modern. Pada abad ini hukum mulai dipandang dalam hubungannya dengan kebebasan manusia yang kemudian melahirkan negara-negara nasional.

  • Abad ke-20. Zaman teknologi, yang memandang hukum sebagai faktor dalam perkembangan kebudayaan dan sebagai obyek penyelidikan ilmiah. Pada masa ini terjadi pengelompokan ilmu-ilmu pengetahuan menjadi ilmu alam, ilmu kelompok manusia (sosial), dan ilmu kemanusiaan.

2. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan

Asal usul ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan sebagai pencipta ilmu, dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis. Tertulis dalam rupa kitab suci agama samawi termasuk Al Qur'an. Tidak tertulis berupa alam semesta.

Ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui metodologi ilmiah yang berarti setiap masalah yang dapat dijawab oleh manusia dengan menggunakan metodologi ilmu tersebut disebut masalah ilmiah. Metodologi ilmiah adalah metode yang mempunyai urutan tindakan yang harus dilakukan oleh seseorang untuk memecahkan persoalan ilmiah. Urutan tersebut adalah 1) pengamatan, 2) menyusun permasalahan dari data hasil pengamatan, 3) membuat asumsi atau hipotesis, 4) menguji hipotesis dengan penelitian, dan 5) menyusun teori. Dalam ilmu-ilmu sosial ada yang hanya mengajukan asumsi tanpa hipotesis.

PART 3 : PRODUCT Dalam bagian ini dipaparkan tentang indentifikasi dan arti filsafat pendidikan, fenomena pemikiran para filsuf klasik tentang filsafat pendidikan. Dalam bagian ini juga dipaparkan tentang lingkup filsafat pendidikan pada zaman modern, dan paparan aliran filsafat modern dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan. Dalam bagian ini juga dipaparkan indikator kebenaran di pendidikan tinggi dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Lingkup dan aktivitas pendidikan tinggi, sejarah pendidikan tinggi sejak zaman klasik sampai dengan zaman kontemporer abad terkini, bentuk perguruan tinggi, Perguruan tinggi tertua di dunia dan di Indonesia, landasan filosofis penyelenggaraan pendidikan tinggi, refleksi filosofi kebenaran akademik dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi.

Pada bab ini dijabarkan tentang filsafat pendidikan yang merupakan suatu studi tentang prinsip-prinsip mendasar dari teori pendidikan. Secara pragmatisme, filsafat pendidikan membahas tentang nilai-nilai atau tujuan-tujuan pendidikan. Beberapa teori pendidikan klasik yang sudah mengembangkan filsafat pendidikan antara lain; humanisme yang melihat pelayanan terhadap komunitas manusia sebagai tujuan esensi pendidikan; naturalisme yang melihat manusia secara natural baik sehingga pendidikan bertugas menyiapkannya menuju kenaturalitasnya yang polos; scientisme untuk menerapkan metode-metode sains terutama psikologi dalam proses praktik pendidikan; nasionalisme yang menempatkan individu di bawah kepentingan negara atau umum; progresivisme yang menilai tinggi makna kebebasan dan melih at pendidikan sebagai proses berterusan demi pengarahan di masa depan; rekonstruksionisme sosial yang melihat tugas utama pendidikan yaitu reformasi sosial dan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial manusia; tradisionalisme yang berpandangan bahwa institusi pendidikan dan perguruan tinggi harus mengasingkan diri dari keterlibatan dengan kegiatan sosial yang umum demi merencanakan masa depan dan mengembangkan kapasitas intelektual.

Manusia dan pendidika tidak dapat dipisahkan. Konsep filsafat tentang pendidikan diharapkan bisa mengantarkan manusia sebagai individu, masyarakat maupun bangsa dan negara, berkembang sesuai dengan hakikat asal, tujuan dan eksistensi kehidupan manusia untuk menjadikannya lebih beradab.

Tentang arti filsafat ilmu, Al-Syaibani menjelaskan bahwa filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Filsafat pendidikan juga dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah filosofis dalam bidang pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Imam Barnadib, yaitu bahwa pendidikan merupakan ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Pendapat lain disampaikan oleh filsuf John Dewey yang menyatakan bahwa filsafat pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir maupun daya perasaan, menuju tabiat manusia. Sementara itu, menurut filsuf Amerika, Brubachen, filsafat pendidikan berdiri secara bebas dengan memperoleh keuntungan karena memiliki kaitan dengan filsafat secara umum, yang mengaitkan pandangan filosofis dan filsafat pendidikan.

Hubungan antara filsafat (umum) dengan filsafat pendidikan adalah sebagai berikut :

  • Filsafat pendidikan merupakan pelaksana pandangan dari filsafat (umum) dan kaidah filsafat dalam pengalaman kemanusiaan yang disebut pendidikan

  • Kajian filsafat sangat mendukung dalam upaya untuk mengembangkan padangan dalam rangka memperbaiki keadaan pendidikan.

  • Filsafat pendidikan memiliki prinsip-prinsip, kepercayaan, konsep, andaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang saling terpadu satu sama lainnya.

    Sumber-sumber filsafat pendidikan ada yang jelas dan ada yang tidak nampak jelas, sebagai berikut :

    a. Manusia

    b. Institusi, berisi pengalaman pendidikan, jenis institusi pendidikan dan pengajar di dalamnya.

    c. Lingkungan

Pada bab ini juga dijelaskan pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles tentang filsafat pendidikan, yaitu:

a. Socrates (470-399 SM), yang menjelaskan bahwa prinsip dasar pendidikan adalah metode dialektis. Seorang pendidik tidak boleh memaksakan gagasan-gagasan apapun kepada siswa, karena siswa seorang siswa dituntut untuk bisa mengembangkan sendiri dengan berpikir secara kritis, dalam rangka meneruskan intelektualitas, mengembangkan kebiasaan dan kekuatan mental siswa. Dalam pendidikan Socrates menggunakan sistem atau cara berpikir yang bersifat induksi, dengan menyimpan pengetahuan yang bersifat umum dengan berpangkal dari banyak pengetahuan tentang hal khusus.

b. Plato (427-347 SM), yang menjelaskan bahwa negara wajib memberikan wahana kesempatan pendidikan bagi semua warga negaranya. Pendidikan merupakan sarana pembebasan manusia dari katidaktahuan dan ketidakbenaran. Plato mengungkapkan, tujuan pendidikan adalah untuk menemukan kemampuan-kemampuan ilmiah setiap individu dan melatihnya, sehingga pendidikan harus diprogramkan dan direncanakan dengan baik. Plato menyusun tahapan pendidikan, yaitu umur sampai 20 tahun, 20 tahun sampai dengan 30 tahun, dan 30 tahun sampai 40 tahun.

c. Aristoteles (367-345 SM), bahwa pendidikan bukan saja persoalan akal, tetapi menyangkut proses pembimbingan pada perasaan-perasaan yang lebih tinggi, guna mengatur nafsu-nafsu.

Dalam bab ini menjabarkan pula tentang lingkup dan aliran filsafat pendidikan modern, sebagai berikut :

1. Lingkup filsafat pendidikan

Secara makro, lingkup filsafat pendidikan adalah permasalahan kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya. Secara mikro, lingkupnya adalah sebagai berikut :

a. Merumuskan sifat hakikat pendidikan

b. Merumuskan sifat hakikat manusia

c. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan

d. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan

e. Merumuskan hubungan antara filsafat negara, filsafat pendidikan dan politik pendidikan

f. Merumuskan sistem nilai norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan

Aliran filsafat modern juga dijelaskan dengan gamblang, yaitu :

a. Aliran-aliran filsafat pendidikan modern

  • Progresivisme, yang berintikan aliran instrumentalisme, eksperimentalisme, serta environmentalisme, yaitu agar melalui daya intelegensia dan otaknya, manusia mampu melangsungkan hidup dan kehidupannya ke arah masa depan. Filsafat progresivisme tidak mengakui adanya kemutlakan hidup, menolak otoritarianisme, yang mendukung sikap dinamis dan selalu mengalami perubahan. Filsafat ini mendukung hak azasi manusia yang mendasar, dalam bentuk apapun harus diupayakan berkembang bebas dan demokratis, konstruktif, reformatif, inovatif, aktif dan dinamis, karena setiap manusia memiliki kemampuan alamiah untuk selalu dalam posisi maju dan berkembang otomatis.

  • Esensialisme, merupakan penggabungan realisme dan idealisme, di mana dinyatakan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama, yang menjaga kestabilan dan nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Nilai-nilai yang dapat memenuhinya berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama empat abad ke belakang, sejak zaman renaisans yang melahirkan aliran esensialisme. Realisme modern berakar pada materi dan wujud fisik, sedangkan idealisme berakar pada nilai spiritualitas.

    Sifat yang menonjol pada ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela, sehingga bentuk, sifat, kehendak, dan cita-cita manusia harus disesuaikan dengan tata alam yang ada.Epistemologi esensialisme dapat diketahui melalui pengenalan kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan. Untuk pengenalan kepribadian manusia maka melalui banyak pendekatan, di antaranya; teori asosiasionisme yang menyatakan bahwa ide-ide sebagai asosiasi unsur-unsur pengindraan dan pengamatan; teori behaviorisme yang menjalaskan bahwa wujud mental terefleksi pada perilaku; teori koneksionisme yang menyatakan bahwa perilaku semua makhluk termasuk manusia terbentuk atas dasar pola-pola hubungan antara stimulus dan respons.

    Esensialisme (idealisme) memandang bahwa pada tahap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk memahami dunia obyektif.

    Terhadap kurikulum, esensialisme memandang bahwa landasan kurikulum harus idiil dan organisasi yang kuat, berpangkal pada sendi-sendi watak manusia ideal dan kondisi masyarakat ideal.

  • Perenialisme, yang menjelaskan bahwa pendidikan harus bersandar pada pendidikan masa lampau yang cukup ideal dan sudah teruji tangguh. Terhadap kondisi pendidikan yang bermaslaah, perenialisme menawarkan dilaksanakannya kebudayaan masa lalu. Perenilisme melihat bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan di zaman sekarang. Kebudayaan masa lampau ini bisa berupa teologi kristiani maupun sekuler-nya plato dan aristoteles. Krisis masa sekarang, diselesaikan dengan kembali menggunakan kebudayaan masa lalu.

  • Rekonstruksionisme, yang merombak susunan tata yang lama dengan susunan tata yang baru dan modern. Krisis kebudayaan diselesaikan dengan perombakan tata susun. Aliran ini meyakini, tugas penyelamatan dunia merupakan tanggungjawab semua umat manusia.

Sepanjang masa, ilmu tidak dapat dilepaskan dari pendidikan, dan pendidikan tinggi merupakan salah satu sarana untuk mencapai kebenaran, mengarahkan manusia untuk menjawab persoalan hidupnya sebagai subyek maupun obyek bersama lingkungan alam semesta yang diciptakan Tuhan.

Dijelaskan tentang kaitan ilmu dengan perguruan tinggi, maka ditinjau dari aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi, sebagai berikut :

a. Ontologi

Konsep ontologi adalah hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada di bumi dengan tenaga-tenaga yang di langit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga, serta aturan-aturan yang bersifat sakral. Realitas dalam ontologi melahirkan pertanyaan; apakah sesungguhnya hakikat dari realitas; apakah realitas yang tampak hanya realitas materi saja; adakah sesuatu di balik realitas itu; apakah realitas terdiri dari satu unsur, dua unsur, atau serba banyak, dan seterusnya.

Menurut Bramel, interpretasi tentang sesuatu itu pasti berbeda-beda, meskipun satu obyek kursi berbahan satu yaitu kayu misalnya.Dalam aktivitas di dunia pendidikan, pandangan ontologi secara praktis akan menjadi masalah yang utama.

b. Epistemologi

Pada abad 19, istilah epistemologi pertama dipergunakan oleh L.E.Ferier di Institut of Metaphisics (1854), didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dari ruang lingkup pengetahuan pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta kenyataan umum dari keharusan pengetahuan sebenarnya. Epistemologi membahas isi pikiran manusia berupa pengetahuan, studi tentang pengetahuan bagaimana kita mengetahui benda-benda. Brameld bahkan menyebutkan bahwa Epistemologi ini sebagai jaminan bahwa seorang guru memberikan ilmu yang benar kepada murid-muridnya.

c. Aksiologi

Aksiologi ialah bidang ilmu yang menyelidiki nilai-nilai. Brameld membagi tiga bagian aksiologi; 1) moral conduct, yaitu tindakan moral, yang membentuk disiplin ilmu khusus yaitu etika; 2) esthetic expession, yaitu ekspresi keindahan, yang memformulaskan disiplin ilmu estetika; 3) socio-political life, kehidupan sosio-politik, yang melahirkan filsafat sosio-politik. Nilai hasil perenungan aksiologis itu kemudian diuji dan diintegrasikan dalam pengalaman hidup di tengan masyarakat, lantas diturunkan dalam kepribadian siswa.

Mengenai lingkup dan aktivitas perguruan tinggi, dipaparkan bahwa perguruan tinggi merupakan strata tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan, yang memiliki perangkat yang lengkap secara metodologis dalam penyajian serta kajian ilmu dan pengetahuan yang berbasis moral, etika, estetika, serta religius guna memunculkan dan memutuskan jawaban dalam rangka memperoleh kebenaran, dengan memberdayakan akal pikiran dan naluri kemartabatan insaniyah sebagai sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia.

Sepanjang sejarah perkembangannya, metode pendidikan tinggi sangat beragam. Pethagoras membatasi pengikutnya sebagai kelompok yang merahasiakan berbagai segi dari pelajarannya; Plato memilih model dialog; Aristoteles lebih suka mengajak murid-muridnya berjalan-jalan sambil mengamati berbagai gejala alam di sekelilingnya.

Pada awal Masehi, gereja menjadi pusat pendidikan tingkat tinggi sebagai penghasil kebenaran yang sah yang berpedoman pada keyakinan di atas rasio. Pada abad ke-12 muncul berbagai pemikiran yang kadang bersimpangan dengan pihak gereja. Sejarah perpecahannya mencuat sejak munculnya pendapat tentang geosentris dan heleosentris.

Seiring perjalanan waktu, perjuangan ilmuwan berhasil dengan terbitnya restu dari gereja untuk berdirinya wibawa mimbar ilmiah, yang melalui sarana ini, maka perkembangan dunia ilmiah semakin luas dan membentuk kelompok-kelompok yang banyak menyebar. Dengan kemajuan perguruan tinggi, maka berlaku adat dan kebiasaan dalam lingkungan pendidikan tinggi.

Sebagai lembaga ilmu pengetahuan, perguruan tinggi terus menerus meningkatkan proses pendidikannya guna tercapai tingkat seoptimal dan seunggul mungkin. Ada empat perguruan tinggi paling tua di dunia; Al-Azhar University berdiri tahun 988 M, University of Bologna (kira-kira tahun 1088), University of Paris tahun 1150 M, dan university of Oxford pada tahun 1167 M.

Semua sivitas akademika memiliki kebebasan akademis, dan juga memiliki kaidah-kaidah susila, kaidah perilaku yang berlaku ketat, yang memunculkan kaidah profesionalitas.

Pada bab ini juga mengupas bahwa ketika ikhtiar menjadi upaya mencapai pengetahuan ilmiah, maka terjadi tuntutan sebagai ikhitiar yang terbuka. Oleh sebab itu, maka langkah pertama agar pendidikan diakui sebagai sesuatu yang ilmiah, maka sifatnya harus terbuka untuk umum. Tidak mungkin sebuah ilmu yang masih diliputi kerahasiaan dengan alasan tabu ataupun bertuah, bisa disebut ilmu. Apa yang dinamakan ilmu harus bisa dipindahkan ke pikiran orang lain. Tokoh-tokoh filsuf yang memberikan banyak kontribusi dlam sejarah munculnya pendidikan tinggi, adalah :

a. Socrates. Menggunakan metode dialektika, berupa "menjawab pertanyaan dengan pertanyaan", disebut disebut "Metode Socrates"

b. Plato (427-347 SM), murid Socrates, mendirikan Taman Akademos di Athena, lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia barat. Plato mengajarkan filsafat, logika, retorika, matematika, dan lainnya kepada muridnya, sampai berbentuk sebuah buku bernama The Dialogues of Plato.

c. Aristoteles (384-322 SM), murid Plato. Dia menulis di bidang fisika, biologi, zoologi, logika, retorika, politik, ilmu pemerintahan, dan etika. Dia mengajarkan metode peripatetika, yaitu dengan cara berjalan-jalan dan melakukan pengamatan terhadap apa di sekelilingnya, kemudian mengklasifikasikannya dalam beberapa bagian gejala alam.

d. Ibnu Sina (980-1037 M). Nama latinnya Avicenna, seorang dokter, ilmuwan dan filsuf muslim dari Persia, yang mengarang buku sejumlah 450 judul buku dalam berbagai subyek, dan yang paling sering adalah filsafat dan kedokteran. Salah satu buku karangannya berjudul The Canon of Medicine digunakan secara formal sebagai buku teks standart pada universitas-universitas di Eropa selama 7 abad.

e. Al Ghazali (1058-1111 M). Seorang teolog dan filsuf muslim dari Persia. Karyanya The Incoherence of the philosophers yang berisi penolakan terhadap filsafat Aristoteles, Plato dan Socrates, sebab dianggap bertentangan dengan keyakinan Islam. Al Ghazali juga tidak setuju dengan filsuf muslim yang mengambil metode dan ide-ide filsuf barat.

f. Ibnu Khaldun (1332-1406 M), berasal dari Tunisia. Karyanya berjudul Muqaddimah Prolegomena merupakan karya pertama dalam ilmu sosiologi.

f. Wilhelm Von Humboldt (1767-1835 M). Negarawan Jerman yang sekaligus seorang filsuf dan ahli bahasa. Pemikirannya adalah neo-humanisme yang menganggap keberadaan manusia ditentukan dari perkembangan kemampuannya.

Kemudian, atas jasa-jasa tokoh-tokoh tersebut, pelembagaan pendidikan tinggi menemukan wujud yang jelas. Pada awal abad ke-12 M, di Paris terbentuk perhimpunan bernama universitas magistrorum et scholarium yang berhasil mendorong pimpinan tertinggi gereja (Paus) untuk menerbitkan dekrit yang mengukuhkan otonominya sebagai lingkungan keilmuan, sehingga terjamin kebebasan ilmiah dan belajar. Pada tahap berikutnya, universitas magistrorum et scholarium berubah menjadi universitas literarum yang secara harfiah berarti universitas kesusastraan. Akan tetapi, lembaga tersebut juga mencakup studi filsafat dan perkembangan pemikiran yang juga meliputi aspek yang pada zaman sekarang disebut sebagai humaniora. Seiring perkembangan permasalahan dalam pengelolaan universitas, maka berdasarkan minat-minat pelajar, dibentuk pengelompokan bidang studi, yang dinamakan collegium, yang berfungsi sebagai wadah pembelajaran khusus bidang studi tertentu. Pada saat itu, perkuliahan dilakukan pada pagi dan petang. Pagi untuk kuliah yang diberikan oleh lecture, sedangkan petang diisi dengan pembahasan atau diskursus. Dari kuliah dan diskursus muncul pertanyaan yang akhirnya muncul budaya kampus metode pembelajaran dialogis dan pembahasan secara bersama-sama.

Tentang bentuk-bentuk perguruan tinggi, dijelaskan bahwa pendidikan tinggi meliputi pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor, yang segala sesuatunya diatur oleh perundang-undangan. Di Indonesia, pendidikan tinggi bisa berupa; akademi, yaitu pendidikan keahlian dalam satu cabang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang umumnya bersifat terapan; politeknik, yang menyelenggarakan pendidikan keahlian dan jumlah bidang pengetahuan khusus; sekolah tinggi, yang merupakan pendidikan akademik dan atau dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu dan jika memenuhi syarat bisa menyelenggarakan pendidikan profesi; institut, yang merupakan pendidikan akademik dan atau pendidikan keahlian dalam sekelompok disiplin ilmu tertentu, teknologi dan atau seni dan jika memenuhi syarat bisa mengadakan pendidika n profesi; dan universitas, yaitu yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan atau keahlian dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni dan jika memenuhi syarat bisa mengadakan pendidikan profesi. Setiap bentuk perguruan tinggi berhak mengeluarkan gelar akademik dan gelar keahlian tertentu sesuai dengan bentuk dan persyaratan yang berlaku. Akademi dan Politeknik memberikan gelar Ahli Pertama (DI), Ahli Muda (DII) dan Ahli Madya (DIII). Gelar sarjana oleh sekolah tinggi, institut dan universitas. Gelar magister dan doktor oleh sekolah tinggi, institut dan universitas dengan persyaratan tertentu. Sekolah tinggi, institut dan universitas yang memiliki program doktor dan sudah memenuhi syarat-syarat khusus bisa mengeluarkan gelar doktor kehormatan (Doctor honoris Causa).

Sementara itu, pada bab ini dijabarkan tentang perguruan tertua di dunia adalah

a. Universitas al Azhar (tahun 988 M)

b. Universita Paris (1150 M)

c. Universitas Oxford (sebelum tahun 1167 M). Ketiga universitas sudah mengeluarkan gelar bagi lulusannya. Selain itu ada Shangyang (21 SM) di China, Nanjing (258 SM), dan Universitas Nalanda (5 SM) di India. Universitas Bologna (1088 M) di Italia merupakan yang tertua di Eropa.

Sedangkan di Indonesia, sebelum merdeka ada Technische Hogesschool (THS), embrio ITB, mendirikan Bandung Study Club tahun 1920. Universitas Indonesia yang secara resmi berdiri pada 2 Februari 1950 merupakan kelanjutan dari Universiteit van Indonesie yang didirikan Belanda pada tahun 1946, yang setelah kemerdekaan diserahkan ke Indonesia pada tahun 1950. Kemudian Universitas Gajah Mada pada 19 Desember 1949, Universitas Islam Indonesia (kelanjutan dari Sekolah Tinggi Islam) di Yogyakarta pada 8 Juli 1945 serta Universitas Nasional pada 15 Oktober 1949.

Mengenai landasan penyelenggaraan pendidikan tinggi dijelaskan bahwa landasan penyelenggaraan pendidikan bisa berpangkal dari aspek logika dan etika. Perkembangan ilmu pengetahuan berdasarkan pada proses logika penalaran dan pengalaman. Logika mengandalkan pada keberhasilan proses pemikiran dan penalaran. Aristoteles mengenalkan silogisme sebagai salah satu azas logika, misalnya "Semua manusia mati, mahmud adalah manusia, maka mahmud akan mati". Kesimpulan "Mahmud akan mati" diperoleh melalui urutan proses logika tadi. Azas logika juga terjadi dari adanya perkaitan antara sebab dan akibat atau determinisme kausal. Berdasarkan logika, maka proses pemikiran berlangsung tertib dan terarah. Usaha mempelajari alam melalui pemikiran diperlukan pengaturan agar sistemik dan terarah. Etika sebagai azas pengaturan (ethos) merupakan azas pengaturan yang mengatur susila. Dalam bahasa Yunani, etika disebut ethos yang secara harfiah artinya tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bahasa Inggris dikenal Ethics yang berarti ukuran-ukuran perilaku yang baik dan tepat pada umumnya.

Baik logika maupun etika, semuanya berkaitan dengan dunia manusia, sehingga keduanya tentu saling berkaitan.

Mengenai filsafat moral dijabarkan bahwa ada beberapa teori normatif sebagai berikut :

  • Hedonisme, berarti kesenangan, termasuk dalam filsafat moral yang tertua dan pertama dikupas, yang dicetuskan oleh Aristippos (murid Socrates), mengajarkan bahwa suatu tindakan manusia bertujuan akhir untuk mencapai kesenangan.

  • Eudemonisme, berarti kebahagiaan, termasuk filsafat moral yang diciptakan oleh Aristoteles, mengajarkan suatu tindakan manusia bertujuan akhir untuk mendapatkan kebahagiaan.

  • Deontologisme, artinya kewajiban atau apa yang harus dilakukan, yang mengajarkan bahwa suatu tindakan tidak dinilai dari hasil atau akibatnya, tetapi dinilai dari sifat-sifat tertentu atau tindakan serta peraturan yang mengatur itu sendiri. Dinilai dari boleh atau tidak, bukan dilihat dari akibatnya. Sebagai contoh, jujur adalah moral. Manusia harus jujur meskipun berakibat tidak baik, tidak menyenangkan dan tidak membahagiakan pelakunya. Deontologi terbagi menjadi dua; deontologi peraturan yang menekankan kepada peraturan moral yang umum berlaku, dan deontologi etika atau tindakan, yaitu keputusan manusia yang bertindak menurut situasi dan keadaan tertentu pada waktu tertentu juga, didasarkan pada pemahaman bahwa setiap situasi bersifat unik, dan tidak akan sama bagi setiap orang, sehingga keputusan yang diambil berbeda-beda juga.

  • Utilitarisme, dari bahasa latin utilis berarti berguna. Utilitarisme mengarisbawahi pada dialog dan analisa tentang mengapa sesuatu harus terjadi atau tidak, diperbolehkan atau tidak. Fahaman ini menuntut jawaban dan pertimbangan rasional. Karena Utilitarisme membahas masalah baik atau buruk, maka ini diartikan sebagai teori nilai, sehingga segala macam nilai dapat didekati melalui Utilitarisme. Utilitarisme juga memiliki kategori utilitarisme tindakan dan utilitarisme peraturan, di mana utilitarisme tindakan menekankan pada suatu tindakan yang menghasilkan kelebihan nilai baik dibandingkan nilai buruk dalam kesepakatan bermasyarakat, atas persetujuan masyarakat pula. Utilitarisme peraturan menekankan pada tindakan ditekankan pada peraturan yang berlaku, yang menghasilkan kelebihan nilai baik dibandingkan nilai buruk dalam masyarakat.

  • Teonom. Berasal dari kata Yunani Theos, berarti Tuhan dan Nomos berarti Hukum. Teonom bermakna hukum moral yang berlaku atas kehendak Tuhan, terbagi dua yaitu Teonom murni (murni ditentukam oleh Tuhan) dan Teonom Hukum Kodrat (ditentukan oleh manusia sendiri atau hukum kodrat).

Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan.

a. Kebebasan Akademik, merupakan kebebasan akademik yang secara bertangungjawab dan mandiri melakukan pengajaran ilmu kepada dan antara sesama warganya serta melakukan studi, penelitian, pembahasan, dan penerbitan ilmiah.

b. Kebebasan Mimbar Akademik, merupakan bagian dari kebebasan akademik di mana hak dan tanggungjawab seseorang yang memiliki wewenang untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya sebagai pernyataan ilmiah berdasarkan nalar dari mimbar akademik.

  1. Otonomi keilmuan, kebebasan studi, kebebasan menentukan bidang studi apa yang akan diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Interaksi aktif antara keilmuan dengan lingkungan sekitarnya pasti terjadi, mungkin dengan situasi keagamaan maupun kenyataan di masyarakat, yang membentuk garis perhubungan khusus. Hasil pemikiran di perguruan tinggi bisa bersingungngan dengan kebiasaan masyarakat sekitarnya, baik positif maupun negatif, sehingga perguruan tinggi tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan masyarakat sekitarnya.

PART 4 : PROGRAMMING Dalam bagian ini dijabarkan paparan tentang norma-norma di tengah masyarakat, lembaga kemasyarakatan yang formal dan tidak formal dalam proses pengendalan sosial, program pengembangan filsafat ilmu di dunia pendidikan tinggi untuk mencari jalan keluar terhadap pelanggaran dan penyelewengan terhadap norma-norma yang berlaku di masyarakat saat ini.

BAB V

NORMA, DEVIATION DAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN

Etika pergaulan sosial yang sudah melembaga di tengah masyarakat disebut Norma, bertujuan untuk mencapai situasi tata tertib, yang apabila terwujud dinamakan dengan organisasi sosial. Lembaga kemasyarakatan diartikan sebagai himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada satu kebutuhan pokok dalam masyarakat. Wujud konkrit lembaga kemasyarakatan adalah asosiasi. Universitas merupakan lembaga kemasyarakatan, sedangkan Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada adalah sebagai bentuk asosiasi. Fungsi lembaga kemasyarakatan sebagai berikut:

  1. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat

  2. Menjaga keutuhan masyarakat

  3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial.

Sebuah norma sudah melembaga apabila norma tersebut : Diketahui, Dipahami atau dimengerti, Ditaati, dan Dihargai.

Dalam proses melanggengkan ketentraman dan keharomonisan antar anggota masyarakat diperlukan pengendalian sosial yang merupakan cara pengawasan tanpa kekerasan oleh individu maupun kelompok dalam masyarakat tehadap individu atau kelompok lainnya dalam suatu susunan masyarakat. Pengendalian sosial terkadang kurang disadari, padahal proses tersebut terjadi alamiah dan tanpa diperintah. Apabila pengendalian sosial dicantumkan dalam bentuk tulisan, maka disebut pengendalian sosial formal, artinya berasal dari pihak yang memiliki wewenang secara formal.

Terhadap norma yang sudah berlaku di tengah masyarakat, ada beberapa respon sebagai landasan dibutuhkannya proses pengendalian sosial yaitu pihak Conformity dan pihak Deviation.

Conformity dan Deviation terkait erat dengan pengendalian sosial. Conformity berarti proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Deviation berarti penyimpangan terhadap kaidah tersebut. Kondisi kaidah di pedesaan dan perkotaan berbeda. Pedesaan cenderung tetap dan stabil. Sedangkan di perkotaan, kaidah selalu berubah sebab menjadi tempat bertemunya manusia dengan berbagai norma asal yang beranekaragam. Bahkan ada yang berpendapat bahwa conformity di perkotaan bisa mengambat kemajuan dan perkembangan responsif terhadap perubahan. Di bawah ini disebutkan beberapa pelanggaran terhadap Norma-norma Masyarakat, yaitu :

  1. Pelacuran, diartikan sebagai suatu pekerjaan bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan seksual dengan mendapatkan upah.

  2. Delinkuensi Anak-anak, berupa organisasi atau ikatan sosial anak-anak yang tidak disukai oleh anggota masyarakat pada umumnya. Peristiwanya bisa berupa pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obatan terlarang, pengedaran bahan-bahan pornografi, dan lain sebagainya.

  3. Alkoholisme, tindakan bermabuk-mabukan

  4. Homoseksualitas, diartikan sebagai tindakan yang menyukai orang yang sejenis kelamin dalam mitra seksualnya.

Dari telaah filsafat tentang lembaga kemasyarakatan, norma dan penyimpangan masyarakat, mengindikasikan relevansi kuat diperlukannya program-program filsafat ilmu guna memecahkan permasalahan tersebut, terutama berawal dari pergulatan ilmu di tingkat perguruan tinggi. Jika belum ditemukan jawabannya pada saat sekarang, filsuf pendidikan terus mencari jawabannya sepanjang masa tanpa henti.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun