Mohon tunggu...
Muhibbuddin Abdulmuid Yassin Marthabi
Muhibbuddin Abdulmuid Yassin Marthabi Mohon Tunggu... lainnya -

Saya manusia biasa yang makan dan minum...bisa lapar dan haus..yang bisa senyum dan sakit...bisa gembira dan luka hati...bisa tertawa dan meneteskan air mata...seperti teman-teman semua...saya manusia...\r\nTapi hamba ini berdo'a..jika hamba mati..darah hamba mengalir di bumi dan menulis kalimat الله\r\n\r\nwww.suaramuhibbuddin.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Download Gratis Book Report "Filsafat Ilmu Dalam Pendidikan Tinggi"

17 Oktober 2011   05:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:51 14355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Zaman Renaisans, pada abad 16. Zaman ini juga disebut sebagai zaman kebangkitan, dengan munculnya peristiwa sebagai berikut; 1) adanya usaha menghidupkan kembali karya-karya seni rupa dan sastra, filsafat dan pelbagai aspek lain dari kebudayaan Yunani-Romawi kuno, 2) banyaknya ilmu modern dan penemuan dunia baru yang mengindikasikan kemampuan manusia menguasai alam semakin besar, menguatkan gerakan humanisme baru yang mempengaruhi eropa, 3) berseminya gerakan reformasi dan kontra reformasi. Kalau Renaisans kembali pada keaslian ilham kebudayaan kuno dan humanisme kepada keistimewaan dan kebesaran manusia, memperbaharui kepercayaan kristiani yang dianggap merosot. Pada zaman ini, muncul Nicolo Machiavelli (1469-1527 M) dan Giordano Bruno, yang berbicara banyak tentang kuasa dan manajemen politik manusia dan memperoleh suatu filsafat politik yang relevan dan ditata secara moralis. Bruno mengajarkan suatu Pantheisme yang mengungkap keinginan untuk memperhatikan dan menyatukan diri dengan alam/kosmos.

  • Filsafat Barat Modern, dimulai dengan Rene Descrates di Perancis dan Francis Bacon di Inggris, dengan karakteristik sebagai berikut; 1) tumbuh dalam konteks faktor-faktor kultural dan nasional modern, 2) secara intensif menggunakan bahasa-bahasa daerah setempat dan mengembangkan vokabuler teknis filosofis dalam tiap wilayah linguistik, 3) sangat kuat dipengaruhi oleh metode, konsep, dan persoalan-persoalan yang nampak dalam ilmu-ilmu fisis dan biologis, 4) pelan-pelan memisahkan diri dari kerangka teologis, 5) kesadaran historis dengan meminati pada persoalan genetika dan historisitas manusia. Sebagai perbandingan saja, zaman klasik diisi filsuf yang mencari prinsip-prinsip dasar kosmos (cosmosentris), abad pertengahan berkutat pada filsafat ketuhanan (teosentris), maka pada masa ini konsentrasi pada antroposentris, yaitu segala sesuatu berpusat dan bermuara dari dalam diri manusia sendiri. Penampakan manusia sebagai subyek aktif yang menjadi aktor penguasa utama dalam perjalanan hidup di alam semesta ini merupakan tema pemikiran filsuf zaman ini.

  • Filsafat Kontemporer atau Filsafat Abad 20, ditandai dengan munculnya berbagai aliran berpikir dan madzab filsafat, sehingga sering timbul persilangan pendapat. Filsuf pada adab ini dipenuhi personil profesionalis dalam bidang matematika, fisika, sosiologi, ekonomi, psikologi dan lain-lain. Ciri khusus filsafat zaman ini adalah desentralisasi manusia, di mana manusia ditempatkan menjadi bahasa sebagai subyek kenyataan. Manusia diambil alih perannya oleh bahasa, sehingga manusia tidak lagi berbicara sendiri tetapi dibicarakan melalui bahasa politik, ekonomi dan sosial.

    a. Filsafat abad 20 di Perancis, ditandai adanya peristiwa di mana filsafat dipelajari mulai sejak sekolah menengah atas, tidak di universitas seperti negara-negara lain, sehingga banyak filsuf dan ilmuwan terkemuka berasal dari negara ini. Keadaan ini berubah sejak tahun 1970, di mana filsafat mulai kurang diperhatikan dan jam pelajarannya semakin dikurangi. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa filsafat dianggap idealistis-rasionalistis, dan lain sebagianya.

    b. Filsafat abad 20 di Inggris dan Jerman. Pada abad ini, filsafat idealisme berkembang pesat di Inggris. Filsafat Hegel berkembang kuat di Inggris, sementara pada saat yang sama mulai pudar di Jerman, sehingga disebut sebagai filsafat Neo-Hegelisme. Filsafat Idealisme muncul sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang sangat menguasai eropa pada saat itu. Filsuf yang berpengaruh di Inggris saat itu, Ludwig Wittgenstein (1889-1951 M) dikenal sebagai penemu permainan bahasa dan Alfred Jules (1910-1989) memunculkan filsafat bahasa atau filsafat analitik dengan ajarannya tentang positivisme logis. Di Jerman, muncul ajaran filsafat Neo-kantianisme, fenomenologi, filsafat eksistensi, positivisme, historisisme, dan filsafat dialogis. Neo-kantianisme mengarahkan manusia untuk selalu mengkritisi pengetahuan, dengan mengutamakan akal praktis daripada akal teoretis. Di samping itu, di Jerman juga tumbuh subur filsafat yang menekankan tentang hidup, dikembangkan oleh Wilhelm Ditlhey (1833-1911 M). Pada masa ini juga lahir suatu aliran filsafat dinamakan Fenemenologi yang didasari oleh Edmund Husserl (1859-1938 M), yang menegaskan peran realitas dan bagaimana kita membiarkan gejala dalam realitas membuka diri kepada subyek atau manipulasi data inderawi yang kita peroleh dari realitas. Filsafat Eksistensialisme menjadi populer pada abad 20. Muncul juga Frans Rosenzweig (1886-1929 M) yang melahirkan filsafat dialogis yang menekankan peran pengalaman bukan inderawi, yaitu pengalaman bertemu dengan Allah, dengan dunia dan sesama manusia. Warna filsafat neopositivisme kental menguasai Jerman pada abad 20 ini, dipelopori oleh tokoh-tokoh di antaranya Rudolp Carnap, Otto Neurath, Moritz Schlick, Hans Han dan Karl Popper. Filsafat lain yang mengakar adalah analisis-logis menyangkut filsafat bahasa.

    c. Filsafat di Amerika Utara, muncul bersamaan dengan pengaruh pemikiran evolusioner. Pada zaman ini muncul aliran pragmatisme yang menekankan kebenaran pada aspek praktis dan aspek guna, dipopulerkan oleh William James (1842-1910) yang mengklaim bahwa universum yang pluralistik dan milioristik lengkap dengan suatu Allah yang sedang dalam proses perkembangan, tidak hanya lebih merangsang bagi perasaan moral manusia, tetapi juga lebih dekat pada kebenaran tentang adanya. Kesulitan mempertemukan pemuasan dengan pembenaran ide-ide tanpa kembali kepada kemutlakan idealistik dari James, memunculkan aliran naturalisme. Pandangan ini disampaikan oleh George Santayana, bahwa segala sesuatu yang ideal memiliki basis yang riil dalam dunia material yang natural dan segala sesuatu yang riil memiliki suatu modus ideal pemenuhan dalam tata imaginasi. Santayana memandang bahwa roh manusia sebagai suatu tindakan yang tetap, suatu transisi dari materi kepada imaginasi dan kembali lagi kepada materi, dan mereduksikan agama sebagai suatu saringan pelbagai aspirasi lewat permainan imaginasi. Tokoh lain, John Dewey mengajarkan naturalisme yang anti-dualistik dalam hubungan dengan distingsi jiwa-badan, Allah-dunia. Ernest Nagel memasukkan naturalisme ke dalam suatu filsafat ilmu, John Randall Jr. menerapkannya ke dalam filsafat sejarah dan agama, dan Stephen Pepper dalam filsafat tentang ilahi. Gerakan filsafat lain di Amerika adalah filsafat realisme yang mengungkapkan bahwa segala sesuatu tidak tergantung pada pengalaman manusia tentang mereka, tetapi harus dilihat sebagaimana adanya tanpa adanya spekulasi dan idealisasi. Filsafat realisme ini membelah menjadi dua, realisme kritis dan realisme baru. Realisme baru menegaskan bahwa segala sesuatu dapat diinderai secara langsung, di mana dunia ini adalah riil dan obyektif yang tidak akan berubah karena perubahan pengetahuan manusia tentang obyek tersebut. Menurutnya, dunia di sekeliling kita tidak berada dalam kesadaran kita sendiri, sedangkan kita hanya memiliki data rasa dan gambaran-gambaran mental tentang dunia ini. Data rasa ini menunjukkan watak dari obyek luar, dan akal yang mempersepsinya. Setelah Perang Dunia II, di Amerika filsafat berkembang melalui pelbagai bidang ilmu dan teknologi berbarengan dengan pelbagai gejolak dan perkembangan sosial di dalamnya.

    Bab ini menjelaskan juga tentang manfaat filsafat, yaitu sebagai berikut :

    1. Filsafat memperluas wawasan. Secara alamiah, manusia memiliki rasa ingin tahu, yang rasa ingin tahu itu melahirkan berbagai macam pertanyaan yang menuntut diperolehnya jawaban. Sebuah jawaban dari pertanyaan bukan jawaban akhir, tetapi memunculkan jenis pertanyaan baru dan lain daripada yang lain. Pada saat lain, jawaban yang sudah berbentuk pengetahuan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lain, yang nantinya juga menerbitkan pertanyaan lain, karena pengetahuan itu sendiri memiliki sfat praktis atau pragmatis. Untuk pengetahuan tersebut, filsafat yang terobjekkan menyediakan lapangan filsafat yang sangat luas tanpa batas, yang memancar dari realitas dan non-realitas.

    2. Filsafat mengarahkan kepada kebenaran. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Filsafat, Plato, bahwa secara teoretis kebijaksanaan dapat disamakan dengan kebenaran yang merupakan obyek pengetahuan pertama dan utama bagi manusia. Segala bidang disiplin ilmu dan mata pelajaran di dunia pendidikan selalu diajarkan untuk mencapai kebenaran. Jalur untuk mencapai kebenaran adalah pemikiran, kecermatan memperhatikan dan refleksi tentang hidup itu sendiri, dalam mengkorelasikan dirinya dengan peristiwa realitas di dunia ini. Filsafat memberi patokan dan kaidah untuk berpikir bijaksana dan kritis serta bagaimana kita bisa hidup harmonis dengan manusia lainnya. Filsafat mematangkan intelek dan daya pikir. Menurut John Henry Newmann (1801-1890), orang yang pernah belajar filsafat cenderung lebih kuat dan siap untuk mempelajari pengetahuan yang abstrak dan rumit.

    3. Filsafat dan Pembentukan Sikap. Mempelajari sesuatu ilmu terkait dengan penerapan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata. Tanpa itu, bisa saja pengetahuan ataupun ilmu itu akan tersimpan dalam khayal dan bisa hilang karena lupa. Filsafat hanya dan akan berkembang melalui refleksi terus menerus dalam hidup sehari-hari, dengan mengedepankan sikap kerendahan hati, keluhuran budi, kebajikan pekerti, kesiapan berdialog, dan yang sejenisnya.

    4. Filsafat dan Perwujudan diri. Seluruh perjalanan filsuf dalam berfilsafat selalu mendambakan akhir kajian berupa perwujudan diri, dengan pribadi yang lebih matang dan bijak. Filsafat harus dilihat sebagai karya seni, suatu estetika dalam upaya pembentukan diri manusia.

    HALAMAN :
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
    Lihat Pendidikan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun